Aku tak mengizinkanmu menjadi penulis SepociKopi karena aku baru saja menenggak segelas kopi pahit tanpa gula. Aku tidak suka kopi, lagi.
Ya, dulu aku penikmat kopi bubuk panas di malam hari, dan tidurku langsung pulas setelahnya.
Tapi kini kamu dengan seenaknya memasuki dunia kopi pahit tanpa gula, apalagi creamer atau susu. Hanya satu sendok makan kopi bubuk dan segelas air panas. Pahit dan pekat hingga rasanya pun maut sangat akrab.
Aku tidak apa kamu tidak menjadi penulis SepociKopi. Aku tidak mau melihat kamu begadang tiap malam menulis artikel di tengah riuhnya makalah dan tugas kuliah kita yang menjengah. Aku tidak mau mendengar kamu terkunci di luar kost-an karena berada di warnet terlalu lama. Aku tidak mau kamu membawa laptop yang begitu berat di tas punggungmu yang talinya hampir putus itu. Tapi sungguh, aku tidak mau melihatnya.
Tapi ternyata yang kamu lihat adalah binar di mataku. Binar ketika melihat namamu, Sky. Namamu yang terpampang di internet. Namamu yang bersinar dan berkilauan. Lalu aku kesal sejadi-jadinya kesal. Kamu bahkan belum menulis sepatah katapun untuk sinopsis bukuku. Padahal kamu sudah janji padaku.
Okay, kamu menangis mendengarnya. Kamu bilang semua tulisan itu untukku. Demi melihat aku yang antusias membuka laptopmu dan membaca persatu kata-kata yang kamu tuliskan, kemudian tersenyum lebar kearahmu.
Ya, rasanya memang manis. Tapi tetap saja aku tak puas.
"Tutup saja semua email-nya. Blog-nya. Aku tidak akan menulis lagi di sepocikopi."Katamu, di sela bulir yang mengaliri kita.
Aku tadinya ingin mengangguk, setuju.
Tapi masih terlintas di benakku. Ada seseorang juga yang berloncatan di ujung telepon saat mendengar ceritaku. Ada seseorang yang mengantarkan kami pada sebuah meja tunggu dengan sepocikopi di tangannya. Dan dia menuang kopi tersebut dengan penuh kehati-hatian.
Sky, itu orang yang pernah kamu genggam tangannya dulu.
Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Karena kamu menyayanginya
Aku ajarkan kamu lagi untuk tidak egois. Ruang di hati kita kupikir cukup besar untuk menampung beberapa orang sekaligus. Tapi kamu menggeleng lemah. Dan dalam isakanmu yang tersembunyi di balik bantal kamarku, kamu bicara padaku :
Aku tadinya ingin mengangguk, setuju.
Tapi masih terlintas di benakku. Ada seseorang juga yang berloncatan di ujung telepon saat mendengar ceritaku. Ada seseorang yang mengantarkan kami pada sebuah meja tunggu dengan sepocikopi di tangannya. Dan dia menuang kopi tersebut dengan penuh kehati-hatian.
Sky, itu orang yang pernah kamu genggam tangannya dulu.
Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Karena kamu menyayanginya
Aku ajarkan kamu lagi untuk tidak egois. Ruang di hati kita kupikir cukup besar untuk menampung beberapa orang sekaligus. Tapi kamu menggeleng lemah. Dan dalam isakanmu yang tersembunyi di balik bantal kamarku, kamu bicara padaku :
“Cuma buat kamu. Cuma kamu, sayang. Aku menulis untuk kamu. Tidak sedikitpun untuk aku”
Aku menggeleng. Menulislah. Menulislah, untuk kamu dan untuk aku. Karena apapun yang aku katakan ternyata telah resap di dirimu. Seperti saat kita berlomba untuk mati bunuh diri.
Aku menggeleng. Menulislah. Menulislah, untuk kamu dan untuk aku. Karena apapun yang aku katakan ternyata telah resap di dirimu. Seperti saat kita berlomba untuk mati bunuh diri.
Seperti itu, dan aku harus bersiap-siap. Pecinta kopi sejati menikmati kopi pahit tanpa gula. Aku akan menenggak kopi pahit tanpa gula itu sampai ke ampasnya.
2 loves:
Aku masih menulis, Sayang....
Hingga saat di mana kamu benar-benar memintaku untuk berhenti...
you are the best, Sky
don't limit yourself because of me
Posting Komentar