The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Kelas dua SMP, di sebuah bimbingan belajar.

Mauren: Oh, ini yang namanya Bumi? Yang lagi ngejar Bulan yah?

Bumi: Iya.

Mauren: Udah pernah ngerasain bibir Bulan blom? Aku udah. Enak lho, rasa coklat. Hehehe…

Bumi: …

Sepenggal percakapan tersebut merupakan awal dari perkenalan Mauren dengan Bumi sekaligus awal dari keraguan Bumi akan orientasi seksualku.

* * * * *

Mauren. Ia adalah murid pindahan dari Jogja saat aku tengah duduk di kelas lima sekolah dasar. Tubuhnya agak gempal, kulitnya putih, dan rambutnya lurus sebahu. Dia pintar, supel, dan periang. Di hari pertamanya di sekolah dan kelasku, kami berkenalan. Kami berteman. Tak lama, kami pun menjadi dekat. Semakin dekat. Sangat dekat. Dengan lugu, aku menyebutnya sahabatku. Namun dia menyebutku lain. Pasangan lesbinya, itulah yang ia labelkan padaku. Tak mengerti arti kata tersebut, aku pun biasa saja menanggapinya. Bahkan tak jarang aku pun memperkenalkan dia pada orang lain dengan embel-embel tersebut.

Mengingatnya, turut membawa alam imajiku pada tempat favorit kami. Gardu reot di belakang sekolah kami. Hampir setiap jam istirahat sekolah kami mendatangi tempat tersebut bersama. Sambil saling bergenggaman tangan kami berjalan menuju dan meninggalkan tempat tersebut. Tawa, canda, cerita, bahkan tangis kami berdua telah menghiasi gardu tersebut lebih kurang dua tahun lamanya. Hah… masih kah gardu tersebut ada di sana?

Dua tahun bersama, tak satu pun konflik menghampiri hubungan kami. Tak ada sama sekali. Namun perpisahan kami saat lulus sekolah dasar tersebut, tak ayal sedikit demi sedikit menggerogoti kedekatan dan hubungan kami. Hingga kini, lebih kurang enam tahun sudah kami kehilangan kontak.

* * * * *

Mengenai pernyataan Mauren kepada Bumi, tak banyak yang dapat kuceritakan. Kenangan itu terlalu lama tersimpan di dalam memoriku dan berkasnya terlalu lapuk untuk kuuraikan kembali.

Seperti yang telah kuungkapkan sebelumnya, tak lama sejak perkenalan pertama kami di kelas lima SD, kami menjadi dekat, semakin dekat, dan sangat dekat. Karena itulah hampir tak ada batas antara kami saat sedang bercengkrama.

Suatu hari saat jam istirahat, kami hanya berdua di kelas. Aku yang sedang duduk di bangkuku, dipanggil oleh Mauren yang berjongkok di antara bangku pertama dan kedua dari pintu kelas. Sebatang coklat tersemat di bibirnya. Ia memintaku untuk menggigit coklat itu pada ujung satunya. Aku menurut. Coklat semakin pendek. Ia memintaku untuk menggigit coklat itu sekali lagi. Tak curiga apapun, aku pun kembali menurut. Tepat saat bibirku menyentuh ujung oklat itu, dengan cepat dan tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya kearahku. Aku terkejut. Shock. Mematung. Keterkejutanku yang luar biasa membuatku tak dapat merasakan apakah bibirnya telah menyentuh bibirku. Apakah kami telah berciuman? Hanya coklat yang melumer dalam mulutkulah yang terasa. Manis. Melihat ku yang mematung, Mauren tertawa nakal kemudian meninggalkanku begitu saja di kelas itu. Aku masih mematung. Dasar jail. Mauren yang jail. Hanya itu yang terpikirkan olehku seraya menenangkan diri.

Hingga kini, aku tak tahu apakah bibir Mauren yang tipis merah muda itu sempat menyentuh bibirku saat itu.

Mauren. Kamu dimana? Tak dapat kupungkiri, saat aku mengingatmu, aku merindukanmu, Mauren. Sahabatku. Pasangan lesbi pertamaku.

“Bumi?! Kebagusan amat. Dia tuh ongol-ongol!”


Itulah sekelumit protes hujan akan sebutan yang aku berikan pada ‘dia’, pria yang kini menyandang status kekasihku. Tak heran hujan protes demikian, hujan memang memiliki sentimen negatif terhadap ‘dia’ sejak keributanku dengan Bumi. Sejak pertama kali Bumi menghubungi Hujan. Sejak pertama kali mereka berkenalan dan Hengetahui masalah kami saat itu. Benar kan, Hujan?


Berbeda dengan hujan, Sky berpikiran sama denganku untuk menyebut ‘dia’ bumi.


Nick untuk ‘dia’


Berawal dari dibentuknya blog ini dan undangan Sky untukku agar dapat bersama-sama meramaikan semestanya dengan tulisan-tulisanku. Dari sms yang Sky kirim ke smua anggota Lingkaran Bianglala, Sky meminta kami menggunakan nick seperti matahari, bulan, pelangi, awan, dan sejenisnya. Aku pun membalas smsnya dengan pertanyaan aku apa. Tak lama, ia menjawab bahwa aku adalah bulan. Kenapa bulan? Sky hanya menjawab dengan menyebutkan nick-nick yang telah dipakai dan mengatakan bahwa dirinya dan hujan telah sepakat menetapkan aku adalah bulan.


Cukup lama aku tak hiraukan invitation dari Sky. Sampai suatu saat, Hujan lah yang mengurus segalanya hingga terbentuk lah blog baru untukku. Great! Jujur, aku bukanlah orang yang pandai menulis. Sangat bukan. Jangankan menulis, mencari ide perihal yang aku akan tulis saja sudah setengah mampus pus pus. Itulah yang membuatku tercengang saat tahu bahwa menerima invitation itu berarti membuat blog baru. Hey, ko jadi curhat gini?! Balik ke topik awal.


Sejak aku dinobatkan sebagai bulan dan sejak aku bingung mencari topic-topik yang harus kutulis dalam semesta inilah aku mulai pencarian nama untuk ‘dia’. Walaupun ragu, namun kupikir topik mengenai hubunganku dengan ‘dia’ lah yang paling mudah menuai cerita.


Awalnya aku pikir bintang adalah sebutan yang dapat kugunakan untuknya. Mengapa? Alasannya sederhana. Saat SMA dulu, ‘dia’ sangat menyukai segala hal berkenaan dengan bintang. Lagu yang sering ‘dia’ nyanyikan adalah “Aku dan Bintang”nya Peterpan atau “Bintang”nya Air. Bahkan pada malam minggu pertama dia ngapel, kami telah memilih satu bintang yang kami tetapkan (semena-mena) adalah bintang kami. Bintang yang akan selalu menjaga dan mengawasi kami dimana pun kami berada. Bintang yang akan terus bersinar menerangi hubungan kami. Tak hanya itu, ‘dia’ pun pernah memberiku pin berbentuk bintang berwarna biru, warna kesukaanku saat itu. Eits, curhat lagi… eling… eling…


Namun suatu malam aku melihat langit. Gelap. Bulan sendirian. Tak satu pun bintang menemaninya. Sejak itu, aku ragu akan nick bintang untuknya. ‘Dia’ tak pernah meninggalkan aku. Bahkan saat kami jauh, ‘dia’tak pernah meninggalkanku. Bahkan saat aku berusaha menghindarinya, dia tetap ada bersamaku. Bahkan saat kami tak bertemu dan tak berhubungan, aku tetap dapat merasakan keberadaannya di sekitarku. Bersamaku. Jadi ingat video klipnya Mbah Surip “Tak Gendong”. (Hiiii…seram…)


Aku pun mulai berpikir ulang untuk mengganti nick untuk ‘dia’. Awan? Nope, sama sekali tidak cocok sepertinya. Nick untuknya harus yang menggambarkan ketidaklepasan dirinya dariku, bulan. Then, tadaaaaaaaa… eng ing eng… jreng… Muncullah BUMI dalam benakku.


Mengapa Bumi?


Yup, bumi adalah nick yang cocok untuknya. Bumi memiliki gravitasi yang senantiasa mengikat bulan agar terus berputar mengelilinginya. Mau tidak mau. Suka tidak suka. ‘Dia’ selalu dapat “memaksaku” untuk tidak meninggalkannya. Selalu.


Bumi. Berjuta-juta alasan kau paparkan agar aku tak meninggalkanmu. Berjuta-juta pesona kau tebarkan agar aku semakin berat mengandaskan hubungan kita. Tahukah kamu diantara semua itu apa yang paling membuatku berpikir jutaan kali jika hendak pergi darimu? Kesetiaanmu. Kamu menjadikanku satu-satunya bulan bagimu. Dulu, kini, dan selamanya (mungkin).Tak seperti Jupiter yang memiliki empat bulan mengelilinginya. Kamu hanya memiliki aku. Dengan piawai, kamu pun membuatku merasakan hal yang sama. Kamulah satu-satunya bumi milikku. Dengan begitu, kamu membuatku merasa bahwa aku istimewa. Perasaan yang selama ini enggan menghampiri ditengah sifat rendah diri teramat sangat yang kumiliki.


Bumi. Gravitasimu mengubah duniaku. Kehidupanku. Tidak seluruhnya baik, memang. Tapi kuakui tak sedikit yang memang baik. Dalam sekitar delapan tahun sejak pertama kali kita bertemu dan saling kenal, sekitar enam tahun kita benar-benar saling menyesuaikan diri dalam hubungan ini. Hubungan yang dipenuhi tarik menarik antara gravitasi yang kita miliki. Tak dapat kupungkiri, kamu memang lebih kuat dariku. Kamu mampu mengendalikan gerakku dalam garis edar yang kemudian kucipta untukmu. Sedang aku hanya mampu memasang-surutkan lautanmu. Tak adil. Kadang kuberpikir demikian. Namun mau apa lagi? Hingga saat ini dan nanti (mungkin) hanya gravitasimu lah gaya yang bekerja mempengaruhiku. Mungkin, hanya kiamat lah yang akan mampu memisahkan kita. Memisahkan aku darimu. Mungkin.


Hari ini sebenarnya sangat menyenangkan, jika saja tidak ditutup dengan malam yang mengesalkan.

Sore tadi, setelah menyelesaikan sejumlah keperluan, aku memutuskan untuk buka bersama dengan beberapa teman di sebuah resto di Atrium. Meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh serta terpaksa buka di atas bus transjakarta, kami cukup terhibur dengan menu porsi besar yang enak di resto tujuan...:-D


Dengan perut yang masih agak kekenyangan, kami memutuskan untuk pulang dengan menyusuri kembali rute yang kami ambil menuju Atrium. Di atas bus transjakarta yang tidak terlalu penuh, kami pun berdiri. Namun, salah seorang teman kemudian merasa tidak enak badan. Entah karena kekenyangan, entah karena sejak semalam dia memang sempat demam, teman itu merasa agak pusing dan mual.


Ketika beberapa orang turun, kami pun mendapat tempat duduk. Nah, di sinilah insiden tidak menyenangkan itu bermula.


Begitu mendapat tempat duduk, teman yang merasa tidak enak badan itu pun mengambil posisi bersila. Mungkin itu memang posisi ternyaman baginya saat itu. Namun, melihat hal tersebut, seorang petugas bus berbaju koko yang berdiri di dekat pintu datang mendekat dan menegur. Aku, yang berpikir bahwa mungkin posisi duduk si teman memang dapat mengganggu penumpang lain, ikut memintanya menurunkan kaki.


”Turunin aja kakinya.”


Aku pikir, segalanya akan berakhir dengan baik karena si teman langsung mengubah posisi duduknya. Sayangnya, si abang-abang petugas busway justru melanjutkan dengan ucapan tidak menyenangkan.


”Mbak ’kan berjilbab, tapi kelakuannya tidak sesuai.”


(Catatan: kalimatnya masih ada lanjutannya. Hanya saja karena suaranya kecil, aku tidak bisa mendengar lebih banyak).


Mataku langsung melotot, siap memasang tampang nyolot. Br*ngs*k, nih, orang! Apa-apaan, sih? Kayak dirinya orang paling alim dan paling benar di dunia saja! Aku yang biasanya diam langsung mengumpat dalam hati. Jujur, aku paling tidak suka dengan orang yang membawa-bawa atribut keagamaan untuk menyindir orang lain. Ingin rasanya berteriak di depan wajah orang seperti itu: Emangnya lo siapa, sih? Ngaca dulu, Bang! Baru nyela orang lain! Sayangnya, temanku yang biasanya paling cepat emosi itu hanya diam. Aku pun menahan diri untuk tidak marah sebelum dia.


Aku tidak habis pikir. Menurutku, sebagai seorang petugas sarana dan pelayanan umum, orang itu bisa lebih mengontrol diri dan sopan. Temanku mungkin salah dengan posisi duduknya, dan tindakan dia menegur menurutku memang pantas. Namun, sambungan kalimatnya itu sangat tidak pantas diutarakan oleh siapapun, apalagi petugas layanan masyarakat seperti dia.


Ketika akhirnya bus transjakarta tiba di tempat tujuan, aku berusaha turun lewat pintu yang lain. Malas banget kalau harus turun melewati abang-abang busway yang itu! Namun, si teman malah mengajak turun melalui pintu yang dijaga olehnya. Lalu, sambil menjejakkan kakinya di terminal bus, si teman tidak lupa memberi tip pada petugas itu.


”Mas, habis buka puasa omongannya nggak dijaga, ya?”


Aku langsung nyengir puas.



August 28th 2009

11.15 P.M.


Sky, setahun yang lalu adalah Sky yang ganteng, butch dengan potongan rambut pendek, kemeja, jeans gelap, kaus kaki, sepatu converse, dan tas ranselnya.

serta, puisi nya yang romantis sekali, jari-jarinya yang apik memainkan gitar pada lagu ciptaannya sendiri, di suaranya yang mezzosopran, pada senyumnya yang menarik becak, angkot, serta bajaj...
Tubuhnya proporsional, aku lebih tinggi darinya beberapa senti, namun, ketika aku berjalan dengannya, dia selalu tampak lebih tinggi dariku.

dan masih terulang kata-kataku dalam beberapa ingatanku yang terus berulang...
He is handsome...
See? aku masih memakai kata He untuk menggantikannya, dan benar-benar butuh waktu berbulan untuk menyadari dengan ikhlas kalau dia memang seorang perempuan.

Perempuan, yang rambutnya mulai tumbuh memanjang, dia terlihat jauh lebih kurus, di balik bajunya kini bisa terlihat lekuk tubuhnya.

Akh, perempuanku mencantik.

Tolong, perempuanku mencantik!

God, Help Me! She is beautifully handsome!

*btw, kalau diliat-liat... dulu Sky secakep ini... (hhe)

I Love You because you are beautifully handsome,
and you are beautifully handsome because I Love You.

Akhirnya sebelas, sayang. aku mengetik ini pukul 11 : 11, angka sakralku. Dan setiap kali aku mengingat waktu, aku teringat ucapanmu yang sampai sekarang terpatri di hatiku

Time flies when you have fun.
Did you have fun?

I did.
With you.

Ugh, tadi malam, setelah pertemuan dengan libraries. Aku berusaha mati-matian begadang untuk mengucapkan dua hal : Selamat ulang tahun buat Arie Gere, dan sebelas bulan kebersamaan kita. Tapi sungguh kantuk menyergapku lebih dulu. Jadi, yah.. waktupun membungkusku terlelap dalam lelap yang sungguh.

Aku bahkan belum menyiapkan kado apapun, akh ya.. Aku lupa kemarin targetku adalah mencarikan kado untuk ulang bulan kita yang ke sebelas, dan target itu, terlupakan dengan sempurna oleh bebek-bebek di toybox dan mashimaro yang masih tertawa terkekeh di balik kaca setelah menelan koin kedua belas.

Sayangku, diantara sebelas, dua angka kembar yang menggantung di tepian laju perahu kita, dan nyanyi lagu The Rain - Dengar Bisikku yang diam-diam menyelinap dan membisik pelan, aku bertutur singkat dalam peluk yang semakin erat. Masih ingatkah bulir-bulir air mata yang jatuh saat mendengar lagu ini, sayang?

Kadang aku berfikir
Dapatkah kita terus coba
Mendayung perahu kita
Menyatukan ingin kita

Sedang selalu saja
Khilaf yang kecil mengusik
Bagai angin berhembus kencang
Goyahkan kaki kita

Reff:
Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi dikenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang

Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan dada kita
T'rima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Mengapa selalu saja
Khilaf yang kecil mengusik
Bagai ombak yang besar
Goyahkan kaki kita

Kembali ke: Reff

Bila gundahmu tak menghilang
Hentikan dulu dayung kita
Bila kau ingin lupakan aku
Ku tak tahu apalah daya

(tiba-tiba aku mendengar lagu ini bergema, sayang) dan rinduku yang menjadi-jadi, dan sayangku, dengarkan... dengarkan bisik cinta ini pelan-pelan bergema di dinding hatiku, menggedor-gedor keras, bergetar saat kembali bibir ini pelan membentuk namamu dan mengucap

"Sky, I do, Love You, Still"


Petualanganku hari ini dimulai sejak matahari berada tepat di atas kepala. Dimulai dengan kereta ekonomi AC yang tidak penuh sesak meski aku harus berdiri, angkot yang nyaris kosong, hingga Atrium yang luas. Awal yang cukup menyenangkan.

Aku ada janji hari ini; kopi-darat kedua seumur hidupku, dan mungkin yang pertama bagi kekasih. Rencana pertemuan yang awalnya hanya obrolan sambil lalu, akhirnya disahkan lewat pertukaran nomor telepon lewat layar YM malam tadi. Sepasang kelinci berjanji akan datang hari ini.


Ayo, ayo, segeralah datang, Kawan.

Jangan biarkan aku menunggu lebih lama dengan bebek-bebek yang menolak untuk ditangkap...


Koin kedua belas telah ditelan oleh mesin toybox. Aku tetap tidak berhasil menangkap bebek kuning yang tersenyum menyindir dari dalam kotak kaca. Kawanku pun tak muncul juga hingga satu jam hampir habis berlalu sejak waktu janjian kami. Namun, penantian kami tidak sia-sia. Ketika sepasang kelinci itu mengulurkan tangan dan menyebutkan nama, aku dan kekasih terpana: wujud mereka jauh dari perkiraan kami berdua.


Aries yang kecil dan manis, sama sekali tidak tampak lebih tua dari kami berdua. Gayanya yang tenang dan santai membuat aku mengerti mengapa cinta tetap bertahan bertahun-tahun lamanya. Ada pemikiran-pemikiran besar yang bijaksana di balik sosoknya. Ada harap, ada cita-cita. Ada usaha keras untuk tetap mempertahankan kebersamaannya dengan sang kekasih. Ada pengorbanan. Ada tanggung jawab. Penampilannya boleh manis, namun kepribadiannya lebih butch daripada banyak orang yang berpenampilan maskulin.


Sementara itu, seekor kelinci lain yang tidak kalah manis mengendap hati-hati dan mengintip malu-malu dari balik semak. Libra datang ketika kami mengulurkan tangan. Lalu, kekhawatiran pun tampaknya berkurang, setelah kami bertukar senyum. Libra dan ceritanya yang mengesankan. Libra dan pengertiannya yang menenangkan. Libra yang sering ragu. Libra yang selalu berusaha menuruti orang yang ia sayangi.


Hingga rambutku dimainkan angin di atas kereta pun aku masih mengingat mereka. Kawan yang menyenangkan. Kawan yang mengajarkan warna-warni kehidupan dengan berbagi pengalaman. Terima kasih karena telah menghabiskan sore dan malam yang menyenangkan bersama kami. Berharap suatu saat bisa duduk berbincang dengan kalian lagi.


Ketika waktu memberi kesempatan sekali lagi untuk berhenti berlari...


August 25th 2009

10.56 P.M.


Sebuah pertemuan telah diatur untuk hari ini. Aku dan Hujan, serta sepasang kawan. Jujur, aku bingung harus menghadapinya seperti apa. Hanya buka bersama. Hatiku berbisik. Namun, aku tetap saja tidak tahu harus bagaimana. Resah selalu menyapa setiap aku merasa tidak tahu apa yang akan aku jumpai di ujung waktu.

Aku memang tidak pernah ahli dalam hal seperti ini. Pertemuan pertamaku dengan seorang kawan yang ku kenal secara online selama empat tahun terjadi tahun lalu. Saat itu, aku dengan gugup menyalami tangan sang kawan yang secara usia jauh lebih dewasa. Hari itu berakhir dengan aku yang curhat panjang lebar, sementara sang kawan mentraktirku minum, padahal dirinya sendiri sedang puasa. Hari yang aneh.

Wajar. Kalian belum pernah bertemu sebelumnya. Tidak aneh jika kamu bingung harus bersikap seperti apa.

Namun, bahkan dengan orang yang pernah aku temui sebelumnya pun, keadaannya tidak lebih baik. Aku pernah menyukai seorang adik kelas ketika di sekolah menengah pertama. Kami begitu dekat hingga sebuah gosip tidak menyenangkan merebak dan membuatnya menjauhiku. Sebelum dia lulus, semua masalah telah diselesaikan, dan hubungan kami baik-baik saja. Akan tetapi, ketika dua atau tiga tahun kemudian aku secara tidak sengaja bertemu dengannya di sebuah lomba, aku tetap bingung harus berkata apa. Dia juga sama. Kami bersikap kaku, layaknya orang yang baru berkenalan dan bertemu.

Mungkin aku memang lebih baik duduk di belakang meja, dan menemui orang lain di dunia maya. Membangun image yang berbeda dengan jemari yang menari di atas keyboard laptop.

However, life must go on. Aku masih punya schedule satu pertemuan dengan kawan-kawan lama di awal September nanti. Hmm...bagaimana aku harus bersikap, ya?


August 25th 2009
12.08 P.M.


Seberapa banyak, sih, alergi yang bisa dimiliki oleh satu orang?

Awalnya saya pikir alergi itu cuma bisa satu.
Sejak kecil, saya adalah MSG addict, dan hal itu segera menjadikan saya sebagai MSG allergic juga..."-_-)>... Kulit saya kerap terkelupas dan berair jika mengonsumsi MSG.

Ya. Sejak kecil. Mungkin sejak saya berusia tiga atau empat tahun. Saat itu, keluarga bilang saya alergi "Chiki-chiki" atau alergi "Chiki dan kawan-kawannya". Istilah itu timbul karena saat itu, (sebenarnya hingga sekarang), snack kegemaran saya adalah Chiki Balls, Cheetos, Taro, dan sejenisnya. Well, alergi itu bertahan hingga saat ini. Mungkin hal ini disebabkan kepercayaan saya bahwa tidak ada makanan enak yang tidak ber-MSG... :-p

Reaksi alergi terparah saya alami ketika di taman kanak-kanak atau awal sekolah dasar (saya tidak begitu ingat). Saat itu, kaki saya menunjukkan reaksi alergi parah, sehingga saya sulit jalan tanpa meringis kesakitan. Keadaan serupa terulang bertahun-tahun kemudian ketika saya di sekolah menengah atas. Akhirnya, demi mencegah berlanjutnya keadaan tersebut, mama membawa saya ke rumah sakit untuk menjalani sebuah tes alergi yang cukup menyakitkan. Hasilnya? Well, ternyata, selain MSG, saya hanya alergi pada dua macam makanan: udang dan kacang-kacangan. Selain itu, saya ternyata alergi pada zat-zat aneh lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, seperti: bulu kuda (nemu di mana?), serbuk rumput (biasanya guling-guling juga nggak apa-apa), dan bulu anjing (saya pernah serumah dengan anjing dan baik-baik saja).

Hm, setidaknya saat itu saya tahu bahwa seseorang bisa alergi pada lebih dari satu alergen. Hanya saja, mungkin selama ini saya tidak menyadarinya, dan selalu menyalahkan si MSG kegemaran saya setiap kali reaksi alergi timbul.

Kemudian, malam ini saya mempelajari sesuatu yang lain: reaksi alergi yang berbeda juga bisa dialami oleh orang yang sama. Selama ini, saya pikir, apapun alergennya, reaksi saya akan selalu kulit yang gatal dan mengelupas. Namun, setelah gatal-gatal selama kurang lebih dua hari akibat bentol-bentol (seperti) bekas gigitan nyamuk, saya akhirnya berkonsultasi dengan dokter keluarga (baca: dokter yang masih ada hubungan keluarga...:-p). Hasilnya? Ini lebih aneh lagi daripada hasil tes alergi yang saya kemukakan di atas... Ternyata, saya alergi panas!!! Nah, lho...

Kenapa hal ini aneh? Hm...sejak lahir, saya tinggal di kota yang udaranya panas. Selain itu, saya tidak tahan dingin, dan selalu tidur berselimut meskipun kata orang saat itu panas. Saya senang pakai baju berlapis (kaos, kemeja, jaket). Lalu, kenapa tiba-tiba saya alergi panas, ya? Aneh sekali...

Hmm...yah mau bagaimana lagi. Well, alergi bertambah, pengeluaran pun bertambah. Sepertinya harus benar-benar mempertimbangkan untuk beli kipas angin, nih...


August 24th 2009
10.06 P.M.


ini bulan-bulan yang kita tunggu, sebenarnya begitu, seharusnya begitu

berpuasa; saat sahur kamu bangun menyiapkan makanan untuk kita dan membangunkan aku perlahan.

shalat berjamaah; kamu menjadi iman yang akan kucium tangannya dan kamu akan mengecup keningku di akhir doa kita.

indah, bukan?

tapi tetap saja aku ingin mengecup bibirmu yang menguncup dengan lembut.
tapi tetap saja aku ingin memelukmu erat, sambil menciumi wangi tubuhmu, dan lehermu yang indah.

dan kamu bilang jangan.
jangan. sementara aku miris.

kamu menggeleng dan tersenyum padaku

"nanti aku tergoda, sayang"

aku tersenyum.

mom, waktu mengetik ini aku sedang menangis di depan laptopku, di tengah malam buta saat aku jaga.

mom, tampar aku, injak-injak, bakar aku di hadapanmu, bacakan ayat untukku, bawa aku ke rumah sakit jiwa, kurung aku, aku akan tetap berkata padamu.

"yes, mom. i am. L"

kemudian sepertinya kau akan membunuhku

Dream seems visible.

Apa sih maksudnya?

Ya, di dunia facebook yang punya segudang aplikasi, kita bisa jungkir-balik dengan semua aplikasi yang menyenangkan dan betah berlama-lama di stay di facebook sambil mengupdate status, membalas wall, mengirim message, chat, dan sebagainya. Mau ramal meramal, main game, membuat desain, bertani, punya hewan peliharaan, semuanya bisa.
Termasuk aplikasi facebook yang paling kusuka, having a baby, di aplikasi make a baby.

Memangnya apa yang bisa kita dapatkan?
Menurutku yang bisa kita dapatkan adalah kesenangan dan kebahagiaan. Masihkah kurang?


Bukan bermaksud promosi, aplikasi ini menawarkan sesuatu yang menarik.
Contoh DNA kita dalam bentuk kecil, yaitu ciri fisik. Straight hair, brown eyes, fair skin, dan lainnya, dan kita bisa membuat bayi bersama partner kita, dan poof... jadilah a new baby born yang lucu yang berisi pertukaran ciri fisik kita dan partner.

We can dress the baby, take care for, buy clothes, snack, holiday trip. Senangnya... lihat, our baby is smiling in this picture, dia sudah upper elementary sekarang.

Ayolah kawan, mengaku saja, di dunia L yang sulit ini, mempunyai pasangan, berkomitmen, memutuskan hidup bersama, atau bahkan memiliki bayi adalah sesuatu hal yang sangat sulit dan butuh keputusan bulat yang sudah diperhitungkan masak-masak.

Maka jadikan ini sebagai hiburan kalian, bayangkan saya punya bayi bersama, meskipun tanpa ikatan emosi yang jelas dan tegas. Buat aku dan Sky sih, senangya luar biasa. apalagi bisa merawat baby bersama pasangan. melihatnya terus tumbuh, jadi besar.

that's my baby. so cute, so beautiful.

meskipun mimpi-mimpi diatas belum terlaksana di dunia nyata, biarkan setidaknya mimpi itu menjadi visible di dunia maya.


Say

From: Rainy-Train
+62857115*****
Received:
15-08-2009
10:09



Iya, Dear?

From: Ma Femme
+62857186*****
Received:
15-08-2009
10:10




Mama blg, aku blh
maen sm kmu,kmu
jg blh maen ksini,asal
g yg macam2, yg bwt
mama cemas,
perempuan dg
perempuan, laki2 dg
laki2

From: Rainy-Train
+62857115*****
Received:
15-08-2009
10:11




Aku terdiam sejenak. Sungguh, isi sms itu adalah sebuah berita baik yang aku pikir tidak akan pernah datang. Namun, jujur, aku tidak tahu apakah aku bisa main ke rumahnya tanpa kembali melahirkan kecemasan di hati sang mama. Bisa saja pegangan tangan sejenak, sentuhan sekilas, bahkan pandangan mata selintas membuatnya kembali curiga.

Mama Hujan sebenarnya adalah seseorang yang baik. Sangat baik malah. Karena kebaikannya itulah, aku tidak pernah berniat untuk menyakiti atau membuatnya khawatir. Namun, apa daya, aku jatuh cinta pada anak perempuannya, bukan pada yang lelaki.




I love you

From: Rainy-Train
+62857115*****
Received:
15-08-2009
10:14




Alhamdulillah, klo
mama
bilang bgitu.
Tp mgkin spt
skrg
lebi baik, kdg nginap,

tp tdk sering. Krn
aku tdk
yakin bs
nahan diri utk tdk

megang tgn kmu
or yg lain
jika ada
di sana.


From: Ma Femme
+62857186*****
Received:
15-08-2009
10:16




Oot ,uoy evol i*

From: Ma Femme
+62857186*****
Received:
15-08-2009
10:17





August 15th 2009
8.36 P.M.



*Baca di cermin: I love you, too


Seorang teman yang baik. Itulah hal yang terlintas di benakku pada kesempatan pertama chat dengannya di Yahoo! Messenger (YM). Sebelumnya, aku hanya mengenal tulisan-tulisannya yang dipajang di sebuah kafe kopi kecil di sudut belokan dunia maya.

Arie Gere.


Dia menyebut dirinya seperti itu. Aku tidak tahu kenapa, dan aku tidak ingin bertanya. Bagiku nama sama saja dengan orientasi seksual: sebuah pilihan, dan dapat diubah jika benar-benar ingin.


Hal pertama yang membuatku tertarik mungkin adalah profile pic-nya yang menampilkan my all time favorite manga character: Haruka Tennou dari serial kartun Sailormoon. Lalu heading blog-nya yang menampilkan gambar Haruka-Michiru. Ya, mungkin aku hanya tertarik karena kami menyukai tokoh kartun yang sama.


Namun, bercakap-cakap dengannya beberapa kali di YM membuatku mengerti: kami mirip. Hal itulah yang paling membuatku tertarik. Arie adalah seorang teman yang perhatian, mudah panik, terbuka, siap membagi saran dan cerita, serta sangat menyayangi kekasihnya. Kami sama-sama mencintai orang yang tadinya hetero dan memiliki sederet mantan lelaki. Kami sama-sama senang menulis meski tidak merasa ahli. Kami cenderung memiliki pendapat yang sama ketika Hujan bercerita tentang sesuatu. Kesamaan memang dapat membuat orang merasa dekat, right?


Selain itu, dia adalah seorang kakak, sekaligus guru yang baik. Ada saja hal yang dapat ia ajarkan, bahkan tanpa dia sadari, pada sepasang muda yang belum lama mengarungi dunia di balik pelangi: Aku dan Hujan. Arie juga mengajari kami tentang dunia, tentang kenyataan, tentang pahit realitas ketika dia harus berjuang menentukan sebuah pilihan yang sulit.


Arie yang baik. Orang kedua yang mungkin dapat kusebut sebagai mentor dalam melalui jalan yang menikung tajam yang tengah kujejaki saat ini. Orang yang jauh, namun dapat hampir selalu dapat diandalkan ketika membutuhkan uluran tangan.


Arie yang menyenangkan. Arie yang katanya suaranya seperti abang-abang. Arie yang panik ketika profile-ku menampilkan kata-kata yang bisa menyibak tabir identitas yang sesungguhnya. Arie yang buru-buru menelepon balik ketika tahu Hujan menunda acara menelepon denganku karena sedang ngobrol dengannya.


Arie yang baik. Semoga akan selalu sehat dan baik-baik saja. Kapan, ya, bisa chat lagi?



August 14th 2009

6.18 P.M.

Selasa pagi hari . Pagi yang sudah memancarkan hangat sinar matahari. Hari pertama kuliah semester pendek. Agak malas ngampus, karena memang seharusnya libur kuliah selama tiga bulan. Kereta ekonomi yang kutumpangi tidak terlalu penuh, mungkin karena sudah terlalu siang untuk orang yang bekerja dan kuliah. Namun, aku tidak sedang terburu-buru pagi ini. Kuliah hari ini baru dimulai jam 10. Maka kunikmati dengan santai pagi yang agak panas ini.


Kali ini aku benar-benar ingin bersantai. Hmm, bermalas-malasan lebih tepatnya. Sesampainya di stasiun tujuan, aku berencana untuk menumpang bis yang beroperasi di dalam kampus untuk menuju kostan. Lebih baik aku menunggu lama bis itu di halte kampus, daripada harus menambah keringat karena jalan kaki menuju kost.


Namun, sepertinya apa yang aku alami di pagi ini bukan sebuah kebetulan, tapi memang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.


Wajah yang sudah tiga tahun tidak kulihat, tidak kuingat, tidak kupuja. Wajah yang dulu tidak akan kuabaikan walau Cuma sehari. Percaya tidak percaya aku melihatnya pagi ini di halte kampus. Selama beberapa detik aku tidak percaya pada sosok yang kulihat. Tapi, hati dan bibirku kompak mengucapkan namanya saat aku yakin itu memang dia. Dan kulihat dia juga melihat sekilas kearahku. Ekspresi mukanya menunjukan bahwa dia masih ingat padaku. Kulihat bibir kecilnya menyebut namaku dengan suara berbisik.


Dengan perasaan sebagai teman lama, tentu saja aku menyapanya.


Aku : Ya ampun, Rien ! (sebenarnya tanganku ingin menjabat tangannya, tapi kutahan)


Rien : Hei, Dimii.. Lo kuliah dimana?


Aku : Gw kuliah di p***o. Lo dimana, Ri?


Rien : Gw di p****k


Aku : ooo..ngambil apa?


Rien : akuntansi


Aku : eh, udah libur juga ? lagi SP ya?


Rien : wah boro-boro deh. UAS aja belum. Lo udah libur ya?


Aku : Hahaa.. iya nih. Ini gw mau SP (bingung mau bertanya apa lagi, padahal masih ingin ngobrol lama)


Eh, gw duluan ya. Gw kesana dulu. Daagh..


Rien : oo iya. Daagh.


Wah, klo boleh jujur, dia semakin cantik. Bukan karena mirip Dian Sastro, seperti yang aku pikirkan dulu. Walaupun dia semakin cantik, tetap saja aku tidak akan mungkin ada perasaan lagi padanya.


Selama dua tahun, saat sekolah menengah pertama, aku benar-benar mengidolakannya. Aku ingat alasan mengapa aku bisa mengidolakan seorang anak SMP dan sama sekali bukan artis itu: karena dia mirip dengan Dian Satro, artis pujaanku saat itu.


Saat itu, apa yang aku lakukan pada Rien dan perasaanku padanya, aku anggap itu semua normal, hanya sebatas nge-fans. Cuma nge-fans, titik. Tidak lebih. Padahal, apabila dipikir dengan akal sehat, semua tindakanku dan perasaan ku lebih dari sekedar rasa kagum seorang penggemar pada idolanya. Aku mengumpulkan foto-foto dirinya yang aku minta dari teman-temanku (maklum waktu itu blum zamannya kamera digital). Saat dia berulang tahun, Aku memberinya hadiah boneka beruang yang memegang tanda love dan kubungkus dengan kertas kado bermotif hati. Aku merasa bahagia sampai membuatku melayang saat dia tersenyum padaku. Aku selalu kangen padanya, ingin tau kabar dan kegiatannya. Aku sering mengirim sms padanya untuk mengajak ngobrol, namun tidak pernah dibalas. Aku misscall handphone-nya setiap berapa menit karena aku kangen padanya. Aku juga sangat bangga sampai aku ceritakan pada teman-temanku bahwa aku telah mentraktir dirinya dan temannya. Saat akan naik kelas tiga, aku berdoa agar bisa satu kelas dengannya. Ajaibnya, doaku terkabulkan.


Semua tindakan itu sukses membuat gosip tentang diriku. Anak-anak gaul yang kerjanya nongkrong dan sering kena hukuman karena baju ketat dan rok pendek itu memberiku label “lesbian”.


Lesbian. Lesbian. Lesbian.


Sungguh sakit perasaan ku saat itu. Harga diri sudah hilang. Nama baik sudah tercemar. Siapa yang ingin menjadi lesbi? Siapa yang ingin digosipkan lesbi? Aku kan cuma nge-fans. Ah, tapi percuma. Aku bilang seperti itu pun mereka tidak akan berubah pikiran.


Semua tindakanku itu memang sungguh-sungguh bodoh. Tolol. Gila. Sampai pada akhirnya aku benci padanya. Perasaanku kembali netral, dan aku bisa berpikir dengan jernih kembali. Jika mengingat masa-masa itu, aku jadi malu. Kakak curiga padaku setelah kejadian itu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubahku. Sungguh bodoh. Dulu aku memang belum sadar bahwa aku ini lesbian...atau jangan-jangan pikiran lesbian ini terbentuk setelah aku diberi label lesbian?


Pengalaman itu aku jadikan sebagai pelajaran. Untuk selanjutnya aku harus lebih bisa menjaga emosi dan perasaanku pada seseorang.Jangan sampai melakukan tindakan bodoh karena dibutakan oleh pesonanya.


Pertemuanku dengannya pagi ini menarikku sejenak ke masa lalu yang tidak mungkin aku lupakan.


Semuanya hanya tinggal kisah. Aku sudah menamatkannya. Aku tidak akan membuat kelanjutan kisah lama itu.



Sewaktu asik berfesbuk ria, tiba-tiba ada seorang teman menyapa ku lewat chat box. Sebut saja namanya Rara. Dia dulu satu kostan denganku. Aku sudah lama tidak bertemu dan mengobrol dengannya. Basa-basi aku bertanya tentang keadaannya. Tidak lama chatting pun terhenti, karena aku keasikan dengan situs lain yang sedang kubuka. Kemudian, chat box fesbuk muncul lagi, masih Rara yang menyapa dari ujung sana. Dia bilang ingin bercerita sesuatu padaku. Aku menanggapinya dengan senang hati. Aku mendengar curhatnya lewat sarana chatting itu.


“gw lagi bingung banget nih, Dim..”


“bingung kenapa?”


“gw lagi punya masalah. Masalah yang sama kayak masalah lo dulu”


Haah..masalah apa ya? Aku kan punya segudang masalah..


“tentang nilai semester?”


“bukaaann..”


“tetangga di kosan berisik?”


“bukan jugaa..”


“yaudah cerita aja deh..gw bingung..”


“duuh..gw malu ceritainnya..gw mau lo nebak dulu..”


Ya ampuun..masalah apa sih? Hmm, masalah pribadi gw yang pernah gw ceritain ke Rara ya? Ah, masa masalah yg itu sih?


“tentang gw suka sm cewek???”


“iya BENAAARR...”


Aku tidak terkejut melihat dua kata itu. Aku malah tambah penasaran dengan ceritanya.


“lagi suka sama siapa? Si itu ya?”


“iya..gw semakin ngerasa nyaman kalau sama dia, Dim. Gw takut keterusan punya penyakit ini..”


“kata psikolog, itu bukan penyakit tauk..”


“TERUS APAAN DONG?”


“itu PILIHAN HIDUP manusia...”


Dan chatting pun berlanjut dengan curahan hati Rara yg sedang bingung dengan perasaannya. Perempuan yang disukai Rara bernama Jane. Aku tau Jane. Aku juga sempat naksir dengannya. Hahaa.. Menurutku Jane itu cewek ganteng. Ah setelah dilihat berkali-kali, ternyata dia cewek banget dan bisa jadi cantik banget. Rara dan Jane kuliah di fakultas yang sama dan aku tau mereka memang sudah dekat sejak semester pertama. Karena saking dekatnya, kadang sampai membuatku iri. Ooo tidak tidak..aku sama sekali tidak berniat untuk lebih dekat dengan Jane. Aku hanya suka dengan penampilannya.


Rara sedang dilanda gundah gulana. Dia semakin merasa nyaman jika bersama Jane, sangat kangen jika sehari saja tidak bertemu dengan Jane dan belakangan ini hubungan mereka semakin dekat, kemana-mana pergi berdua. Rara tau perasaan itu salah. Dia takut tidak bisa menghilangkan perasaan sukanya pada Jane. Rara merasa dirinya “sakit”, berdosa dan tentu saja bingung dengan perasaan yang dimilikinya. Ia meminta saran padaku tentang apa yang harus dia lakukan. Alasan dia meminta saran dariku adalah karena aku pernah mengalami hal yang sama dengannya dan dia pikir aku sudah tobat <*_*??>


Aku ingin membantu menenangkan perasaannya, tapi aku bingung harus memberi saran seperti apa. Aku tidak mau saranku membawa “virus”, sehingga dia bisa tertular “virus” ini. Karena perasaan ini pengalaman pertama Rara, ada kemungkinan dia bisa menetralisir perasaannya pada Jane. Aku tau itu susah, karena aku pernah mengalaminya. Butuh waktu berhari-hari dan sebisa mungkin tidak bertemu, mengobrol, sms dan KANGEN sama si Doi. Menurut Rara, dia merasakan Jane juga nyaman saat bersamanya. Wah, mengetahui hal itu, langsung terselip akal bulus dibenakku. Akhirnya aku memberi dua saran pada Rara.


Saran pertama adalah saran agar Rara bisa menghilangkan perasaan sukanya pada Jane dan saran yang kedua adalah tips agar Rara bisa mendapatkan Jane. Benar-benar ajaib, malaikat dan setan bergabung jadi satu dalam diriku. Dalam saran yang pertama, aku menekankan bahwa apabila Rara ingin menghilangkan perasaan itu, dia harus memegang prinsip “berteman nggak pake hati”. Pokoknya hubungan antar temen ya cuma sebatas temenan, nggak lebih. Selain itu, aku juga meyakinkan Rara bahwa dirinya pasti bisa menetralisir perasaannya pada Jane.


Dalam saran yang kedua (jujur, aku semangat banget pas menulis saran ini :p), ada beberapa tips yang aku berikan supaya Rara bisa tau apakah Jane juga benar menyimpan perasaan padanya. Siapa tau kan Jane juga suka sama Rara, tapi sama-sama takut ngungkapin perasaan masing-masing. Kalau begitu, nggak akan ketemu ujungnya deh. Sebenarnya aku nggak terlalu menganjurkan saran kedua ini. Tapi, seandainya perasaan Rara masih dag dig dug ser pada Jane, nggak ada salahnya tips itu dicoba sekedar untuk nge-test Jane.


Selain dua saran itu, ada pesan tambahan untuk Rara, sekaligus menjadi penutup dari pesan yang aku kirim padanya lewat fesbuk, " Kalau menurut ilmu Psikologi, perasaan suka dengan sesama jenis udah dianggap NORMAL. Tapi, kalau menurut AGAMA,,,Allahualam deh.."

Kerjaku hari itu, bekerja sebagai pemilik rumah yang mengurusi segalanya yang berhubungan dengan teknologi.

Sambil menyelinap di kafe, aku membuka daftar tamu, meninggalkan jejakku mampir di kafe yang baru sebentar kudatangi. Aku menengok ke dalam, agak takut. Namun genggam tangan
Sky yang makin erat membuat langkahku makin tegak.

Aku memberanikan diri menambah dan merambah sulur-sulur dunia maya, mencari nama-nama yang semakin lama semakin akrab. Bukan akrab ternyata, amboi! Merekalah barista kata. Merekalah resep-resep dan kopi yang disesap akrab oleh orang-orang yang duduk duduk disini.

Dalam beberapa hari, sulurku mencapai rumah mereka...
ada sebuah nama apik yang menggigit

"Juno Bis"

yang kutelusuri link-nya lewat jejak-jejak kecil di sisa kopi yang masih menempel di pipi
akh, kutelusur
tapi terantuk
pagar tinggi berdoktrin

amboi, pendetakah ia mengajarkanku kembali?
atau dia memang ingin kembali dengan garisnya yang begitu tegas

aku menggeleng
tidak mengerti

lalu kucari sisa sisa jejaknya dan sama
sampai tumpukan pesan di kotak suratku kuperiksa, akh.. ada tetangga yang sedang main-main bertuliskan namanya

sapaku singkat
bertanya tentang rumahnya
kupikir salah alamat

ya,
jawabnya
alamatnya ternyata di ujung jalan ini
rumahnya di pojokan sejuk, yang berbau kopi-jahe dan alunan jazz
serta pabrik kata-kata yang berseliweran semaunya

indah,

dan dalam sapanya
yang sungguh cerdas
yang sungguh menyenangkan

rasanya aku mencandu
mencandu mengetuk pintu rumahnya
dan kembali mencicip kata-kata

jabatnya erat, bersahabat
dan aku percaya
percaya padanya yang bisa menjaga rahasia
entah, begitu saja.

ruang tamunya begitu hangat, masih terasa dekap bantal sofa saat aku masuk

aku memang masih muda, dan jalanku masih panjang seperti katanya

malu-malu mengetuk,
dan berbisik

"Sky, ada seseorang yang jabatnya sangat erat dan peluknya hangat. Kamu juga harus bertemu dengannya"

i trust you, juno
we trust you

segala hormatku padanya. segala kagumku padanya.


Adik kelasku, lelaki yang sudah diperbincangkan teman seangkatanku.

aku mau bilang padamu sebelum aku menyapamu dengan taring-taring di hadapanmu

setelah itu
di kolom phobiamu, yang ditarik dari sempitnya pikirmu

kau tulis kata
"phobia : banci dan bencong"

ingin kukata di muka

"Dek, kamu masuk fakultas yang salah. Pintu keluarnya disana"


"Kamu tahu mengapa aku tidak mau kamu pergi, karena rasanya aku takut pesawat lupa membawamu pulang" kataku di telepon malam itu

"Aku bukan mantan cowok pertama kamu", jawabmu tegas.

akh, sayang... lihatlah
lelaki pertamaku lupa pulang karena ayahnya

akh, sayang
perempuan pertamaku, lupa juga pulang karena satu dan lain hal disana

maka yang kedua dan ketiga dan seterusnya yang lagi dimabuk cinta
seenaknya menggenggam tanganku saat aku merindukan kecup rindu dan kata-kata yang meluncur dari bibirmu.

lelaki dan perempuanku

yang pertama

sama-sama lupa pulang tepat waktu

sementara aku melapuk rindu memupuk cinta

mata-mata melirikku hendak memangsa


LGBTIQ

dan

Tuhan dan kamu

>> kamu itu berdosa! kamu tidak tahu di kitab tertulis ayat-ayat tentang itu?

-- aku tahu, memangnya kamu tidak berdosa?

>> tapi perbuatan kamu itu dikutuk oleh Tuhan, kamu mempercepat kiamat datang ke muka bumi ini.

-- kiamat akan datang sesuai kata-Nya. Bukan karena aku, kalau iya... dunia sedah kiamat sejak zaman nabi Luth

>> negara kita, bisa diporakporandakan seperti kota Pompeii, seperti kisahnya Sodom dan Gomorah. Apa lagi yang mau kamu sangkal? Bertobatlah

-- Tidak ada yang ingin aku sangkal. Kamu mau menyangkal kalau aku adalah ciptaan-Nya? Dia mencipta aku seperti ini. Bukankah kita sudah membahasnya secara logika dan religi? Kita hanya sama dicipta. Apa pernah terdengar keluh dan protesku mengutuk orang lain saat kita beda pendapat?

>>Tidak juga, sih.

-- Kalau begitu, biarkan pendapatku berbeda kali ini


Yes, of course. We dare come to Club Camilan Launching...^_^)!

Well, kemarin sebenarnya adalah hari yang berat. Setelah dibangunkan oleh telepon pukul sembilan pagi, baru tahu bahwa hari itu adalah hari ulang tahun seorang teman baik, buru-buru mandi dan menuju rumah sang kawan membawa hadiah, tambah lagi beberapa insiden seperti Hujan tidak jadi kerja, dan beberapa kawan tidak jadi ikut, akhirnya, aku, Hujan, dan Luna bertualang bertiga menuju acara Launching di Goethe.

Kereta adalah cara termudah kami untuk sampai ke sana. Maka, bertualanglah tiga anak hilang ini ke rimba Jakarta Raya (lebay...^_^), menaiki KRL ekonomi menuju Stasiun Gondangdia. Setelah turun di Stasiun Gondangdia, menyadari tidak satu pun di antara kami tahu letak Goethe, kami memutuskan untuk naik taksi saja. Bajaj sebenarnya terlihat menarik, tapi taksi seharusnya lebih aman. Namun, dasar sopirnya tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, kami akhirnya sedikit tersesat, dan baru bisa tiba di Goethe setelah bertanya pada orang. Hasilnya, beberapa belas ribu harus direlakan untuk bayar taksi (padahal, belakangan, kami baru tahu bahwa Gondangdia ke Goethe itu, jalan kaki 5-10 menit pun bisa sampai..."-_-)>.

Tiba di sana, kami melangkah masuk dengan gugup. Tiga anak hilang, tersesat (atau menyesatkan diri?) ke rimba LGBT yang tersembunyi...:-p Itu pertama kalinya kami datang ke QFF. Pertama kali pula bagiku untuk benar2 hadir di sebuah acara yang kemungkinan kebanyakan pengunjungnya adalah gay dan lesbian.

Baru saja masuk, kami sudah disambut dengan foto2 LGBT, yang dapat membuat mata terbelalak kaget. Maklum, ini pertama kalinya...:-p Di sebuah pilar terpasang beberapa poster film bertema LGBT. Ada pula beberapa stand milik YIM, itsmylifeclub.com, stand manga (komik), stand Gramedia, dan tempat pendaftaran (untuk mendapatkan tiket masuk ke acara Launching).

Ketika kami datang, acara belum dimulai. Maka, aku dan Hujan memutuskan untuk berkeliling: mengisi guestbook, memandang penasaran "safety rubber" yang boleh diambil gratis, membeli Club Camilan dan Rahasia Bulan pesanan Dimii, dan menebak-nebak apakah salah satu orang yang kami lihat adalah pembaca SepociKopi juga...^_^ Sayangnya, karena satu dan lain hal, Luna harus pulang sebelum acara dimulai.

Anyway, begitu pintu dibuka, aku dan Hujan bergegas ke meja pendaftaran untuk meminta tiket masuk. Tapi, begitu sampai di sana...

"Boleh saya lihat KTP-nya, Mbak?" tanya mbak-mbak di meja pendaftaran.

Wajah Hujan langsung muram. Saat itu dia sedang tidak memegang tanda pengenalnya. Kartu mahasiswa atau ATM tidak dapat membantu karena di keduanya tidak ada tanggal lahir yang dapat dijadikan bukti. Akhirnya, aku hanya berkata,

"Ya, sudah, yuk, kita duduk-duduk saja di luar."
Hujan sudah akan menangis ketika berkata, "Tapi, kan, kita ke sini untuk lihat Launching..."
Aku hanya tersenyum, "Sudah bisa sampai di sini pun aku sudah senang."

Hujan meminta aku untuk masuk sendiri saja, mengingat aku bawa tanda pengenal. Namun, apa gunanya aku masuk sendirian? Dia masih mematung memandangi orang-orang yang sedang antre untuk mendapatkan tiket. Airmatanya jatuh satu-satu.

"I want to go in..." ucapnya lirih.

Aku jadi ikut miris. Well, it's been a long way... Butuh banyak persiapan, waktu, tenaga, dan keberanian untuk bisa sampai ke Goethe kemarin. Sejak SepociKopi mengumumkan bahwa launching Club Camilan akan diadakan di QFF, Hujan sudah sibuk mencari alamat dan cara untuk bisa sampai ke Goethe. Namun, akhirnya, tidak bisa masuk... Siapa yang tidak sedih, coba?

Akhirnya, aku mengajak Hujan untuk duduk di depan perpustakaan Goethe. Dia menangis. Aku mencoba menelepon seorang teman untuk menghiburnya. Namun, ternyata teman tersebut sedang sibuk. Setelah beberapa saat, Hujan mulai sedikit tenang.

"Katanya tadi penasaran?" godaku kemudian, "Tuh, sudah sepi, sana minta."

Hujan belum pernah melihat "safety rubber" alias kondom, dan dia penasaran. Hanya saja, dia malu untuk meminta kepada mas-mas di stand itsmylifeclub.

"Hayo, berani nggak?" tantangku sambil nyengir, "Kalau berani nanti aku kasih cium. Di sini."
"Benar, ya?"

Hujan sudah melangkah ke pintu ketika akhirnya dia berbalik, "Gak jadi, di sebelah sananya masih banyak orang."

Kami tertawa. Hujan akhirnya meminta aku mendaftar, sekedar mendapat tiket launching untuk souvenir, kenang-kenangan. Kami pun melangkah masuk bersama, dan mendatangi meja pendaftaran sekali lagi. Ketika aku sedang mengisi form data, salah satu mas-mas panitia bertanya pada Hujan, "Mbak yang ini nggak sekalian daftar?" Hujan langsung manyun. Aku menjelaskan apa yang terjadi sehingga Hujan tidak bisa ikut daftar. Eh, ternyata masnya bilang, "Ya, sudah, isi saja dulu yang ini." Hujan diijinkan isi form dan dapat tiket masuk!

Terima kasih, mas-mas QFF yang baik hati. Kami tidak tahu namanya siapa, tapi berkat mas-mas baik hati itu akhirnya kami bisa masuk ke acara launching itu bersama-sama...^_^

(Oh, ya, sementara aku mengisi data di form, Hujan akhirnya benar-benar kembali ke stand itsmylifeclub dan meminta kondom!)

Overall, hari kemarin berjalan menyenangkan...^_^). Berkat bantuan Hujan, Sky yang malu-malu (dan malu-maluin) ini bisa foto bareng Ratih Kumala...^_^). Senang, senang. Luna muncul lagi setelah acara selesai. Kami pulang bersama, jalan kaki dari Goethe ke Gondangdia sambil setengah mengutuk sopir taksi yang menyesatkan kami kemarin sore...^_^)


August 3rd 2009
3.30 P.M

In the living room