The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

Canalis Semicircularis

Canalis semicircularis, ya, 3 saluran setengah lingkaran (bahasa SD-nya). Tidak, tepatnya ada 6 saluran setengah lingkaran, karena mereka berada di dalam telinga kita, kanan dan kiri. 6 saluran yang menjaga keseimbangan tubuh kita, terutama saat melakukan gerakan rotasi. Saluran kecil yang dilapisi tulang tipis, sangat rentan namun sigap. Kristal cantik di dalamnya selalu sigap dalam menghadapi berbagai macam goncangan, tekanan, badai, dan segala bentuk putaran roda kehidupan.


Setengah lingkaran. Ya. Setengah. Bukanlah sebuah lingakaran yang sempurna. Ujungnya tidak pernah bersatu, saling berjauhan, berbeda 180 derajat. Memang tidak untuk dipersatukan, melainkan untuk dirangkai. Rangkai saluran saluran setengah lingkaran. Ohh..sungguh rangkaian yang manis..

Mengapa tak kau jadikan sebuah lingkaran penuh saja?!!

TIDAK! TAK AKAN PERNAH!

Sebuah lingkaran penuh hanya terdiri dari 2 buah setengah lingkaran. Akan tetapi kumpulan setengah lingkaran dapat menciptakan rangkaian bunga. Tak akan pernah sempurna, namun saling berpegangan, merekat satu sama lain, jalani roda kehidupan bersama. Hingga pada saatnya cukup kokoh untuk merekah, membentuk cincin manis yang membungkus bunga cinta kita. Kristalnya pancarkan kilau manis, semanis coklat susu kesukaanmu.


6 bulan, Sayang..

184 hari…

4.416 jam…

264.960 menit…

15.897.600 detik…

Belum, belum berakhir. Tak ingin kututup dengan sebuah titik.

Rasa ini, rasa yang masih sama seperti pertama kali kita jumpa. Rasa yang masih sama saat pertama kukecup bibirmu di bawah indahnya langit Matraman Bridge. Rasa yang telah, masih, dan akan terus menemanimu. Temani setiap titik-titik hujan yang kau jatuhkan dalam hari-hariku …

Tak akan goyah. Badai belum cukup dasyat untuk melemahkan otot-otot sayapku. Belum cukup dasyat memutar-mutar kehidupanku. Tak cukup dasyat untuk menjatuhkan kristal-kristal keseimbangan di Canalis semicircularis-ku.

Sampai saat ini telingaku masih cukup sigap. Sigap mendengarkan keluh kesahmu, hari-harimu, desah manismu, dan segala tentang dirimu. Sigap membantumu untuk tetap berdiri dalam berbagai goncangan.

Ya. Aku yang..

TELAH,

MASIH,

dan AKAN terus ada untukmu.


I . A M . Y O U R . G U A R D I A N . A N G E L



Happy Sixth Monthliversary!!!



With love,
De Angelo







p.s : Ini adalah surat pertama yang De Angelo tulis untukku. Ah, aku senang sekali membacanya. Manis. Senang sekali mendengar suara malu-malunya di ujung telepon, senang sekali mengetahui tulisan ini dibuat dengan penuh cinta dan perjuangan perang gerilya.

Senang sekali bisa mempublish-nya di Lingkarbianglala!


Terima kasih, aku berhasil menyakiti diriku sendiri dengan berada di dekat mereka dan berusaha menahan tangis mendengarkan percakapan-percakapan yang dari pandangan egois seperti aku, harusnya percakapan itu menjadi milikku. Ya, hak milik aku dulu.

Aku benar-benar masih ingin menyakiti, memberontak, menangis, meracau, berteriak-teriak. Karena selama ini belum pernah semuanya terpapar ke permukaan dengan begitu jelas. Dan untuk aku yang sangat tidak terbiasa memendam semuanya di dalam hati dan tercekat di tenggorokan, hal ini terasa sangat menyakitkan, dan sulit.

Bukan, mungkin memang bukan cinta lagi yang bersarang disana. Segala emosi negatif belum keluar, belum tersalurkan, masih terpendam dengan segala tingkah lakunya yang menunjukkan perilaku yang hanya berubah dari overt jadi covert, hanya itu.

Namun semua rasa yang ada masih menunjukkan ekor apinya seperti hujan meteor tadi malam.

Ya, hujan meteor yang tak dapat kulihat meski sudah terbangun tengah malam dan memanjat genteng. Yang kulihat bahkan bukan langit mendung, hanyalah langit merah, Red Sky.


Aku benar-benar ingin menghapus semua rasa sakit ini dan tidak merasakan apa-apa. Lelah dengan perasaan yang sama yang berlangsung lebih dari satu tahun. Lelah dengan aku-gw-kamu-lo yang kadang-kadang masih suka terselip disana sini. Muak dengan diri sendiri. Tidak bisakah aku, tidak bolehkah aku?

Karena itu, aku benar-benar butuh pantai. Butuh berlari, berteriak, menangis, hanyut, tenggelam, sampai semuanya tersapu ombak dan pecah...


Tangisku ingin pecah. Tangisan marah. Sakit hati yang tidak pernah sembuh di bagian yang
itu-itu melulu. Seperti mawar yang berbunga-bunga mekar sejalan dengan rumput-rumput yang meninggi namun belum sempat kusiangi. Bukan aku masih memikirkan rumput itu melebihi senangnya menatap mawar yang kuncup malu-malu, merah, dan segar. Namun tetap harus berjalan menginjak rumput dan membiarkannya meninggi, karena menyentuhnya pun aku tidak mau lagi.

Benar-benar ingin muntah. Benar-benar ingin semua musnah. Benar-benar ingin diberikan kekuatan, terserah kekuatan apalah itu namanya.

Hanya ingin berjalan lebih mudah tanpa sulur-sulur yang masih mengikat kakiku saat aku hendak berlari ke arah mawar yang sangat cantik itu.


































...Aku...


Selamat datang di kotaku, sayang. Kamu harus tahu betapa aku suntuk menunggumu datang, karena bibirku sudah manyun menunggu detik yang berdetak mengganggu. Aku ingin membawamu serta, sayang.

Menghadiri acara BEM Universitas bersamamu, maka datanglah sayang, datang dan akan aku kenalkan kepada seluruh dunia, bahwa aku bangga menjadi pacarmu.



Lihat kantuk yang masih menggantung saat pertama kali sampai ke kotaku, sayang. Terima kasih, terima kasih. Aku sudah tidak ingat lagi sedih manyun-manyun saat dompetku hilang saat berjalan bersama Dimii. Pokoknya aku senang, aku datang, bersamamu. Yah, meskipun gak jadi makan-makan!

Hey, ingat waktu pertama kali kita memasang seprai putih itu? Rasanya seperti pengantin baru ya? Dan sekali lagi, bisa berada dipelukanmu saat lelap adalah hal yang paling membahagiakan. Menghabiskan malam-malam di kotaku. Menyantap bubur jagung, ikan lele fillet saus padang, menemani aku survey untuk tugas. Bahkan rela mengulur waktu pulang untuk berjalan-jalan di Plaza Semanggi. Dan mengapa aku dan kamu benar-benar tidak bisa menahan tangis setiap kali kita berpisah.

Terima kasih telah mau mengantarkanku pulang sampai di dekat rumah. Terima kasih telah bersusah payah menyetir 150km dan menempuh hujan deras, sayang.

Tunggu aku kembali pulang dan datang ke tempatmu, sayang. Aku sudah rindu, sangat rindu.


Sekali kali aku menuliskan kisahku yang takut kulupa. Aku ingin mengingatnya, sejak aku memutuskan untuk meninggalkan kelas Selasa itu, sehari sebelum ulang tahunmu, setelah dosen yang seharusnya mengajar di kelasku terlambat 30 menit.

Malam itu, kamu tersenyum di balik pintu, menyadari kedatanganku, dan katamu, kedatanganmu adalah hadiah, ya?


Aku cemburu, dan aku takut.
Aku ingin jadi yang pertama yang mengecup bibirmu sebelum usiamu beranjak, aku ingin jadi yang pertama yang mengucapkan kata-kata happy birthday, dan, aku melakukannya!

Malam itu kamarmu diketuk, seluruh keluargamu datang, sementara aku berusaha senetral mungkin keluar perlahan dari kamarmu, meninggalkan kamu tertidur lelap, atau lebih tepatnya, berhasil membuat kamu tertidur lelap dengan timing yang tepat (kamu tahu apa yang aku lakukan, hehehe)

Malam itu aku senang.
Senang sekali.

Ada bersama keluargamu, teman-temanmu, dan kamu.
Esok hari, aku membukakan kancingmu satu persatu setelah kamu pulang dari kampus dengan wajah belepotan kue.

Kamu lucu sekali. Kamu benar-benar lucu.


Oh iya, hari itu kita juga mengikuti seminar, tapi bukan itu yang luar biasa.

Berada di ruang teater di lantai tiga, dengan lampu yang redup, memainkan nada-nada dasar doremifasollasido'
dan lagu anak-anak yang aku bisa. Ya, hanya sedikit, dan itu lagu anak-anak semua, ternyata.

Kamis yang kita habiskan dengan menonton film Babies bersama teman-teman yang menyenangkan! Walaupun ternyata film itu ternyata dokumenter Lalu menyantap lezatnya tutti frutti hazelnut dan chocolate~ dan lelap di pangkuanmu, sekali lagi..

Jumat, menghabiskan waktu yang seru, sedangkan Sabtu... masa-masa aku menangis,
menangis karena terlalu gugup bertemu dengan temanmu, tapi tetap belum mau pulang. Mengenali sisi sisi terpenting dalam hidupmu. Mengenal Bailey, hehehe, yang bau kopi tapi pahit.

dan hari Minggu, persepuluhan, perjamuan kudus, hosti, anggur, berfoto bersama, makan-makan akh... masa-masa menyenangkan bersama keluargamu. Aku sangat menyayangi mereka!

Sampai tiba lagi waktu pergi, dan kereta -ular berekor panjang yang mengepulkan rindu itu- menarikku menjauh dari kotamu...



20 adalah angka pasti memulai stage baru kehidupan menurut om Piaget, kamu kenal kan?

Jika tidak, baca Kaplan, itu kata dokter muda yang gantengnya 11-12 dengan Arifin Ilham. Tapi, tenang sayang, meskipun yah, aku sih, naksir-naksir aja sama dokter muda yang duduk di sebelah kamu, tapi aku tetep lebih naksir sama calon dokter yang duduk di sebelah aku.

Kamu.

Young, adulthood. Sudah tidak ada angka
-teen dibelakang umurmu lagi sayang. Sudah dewasa rupanya, sedangkan di punggungku masih tergurat angka 19 yang masih tidak mau beranjak, lengkap dengan segala sikap manja luar biasa khas remaja. Iya, sayang, aku masih sangat muda, dan sangat cantik tentunya.

Dan, maaf ya, entah kenapa tulisan ini jadi nggak ada romantis-romantisnya.

20 adalah angka cantik, angka dimana seharusnya kamu sudah matang luar dan dalam, sayang.

Tidak, sayang, aku menyebutnya bukan untuk meminta lebih banyak, tapi aku ingin memberi lebih banyak. Seperti yang aku lakukan, memberi banyak waktu. Maaf, ya, kemarin kamu harus dinomor duakan dengan kesibukanku yang menggunung dan melambung.

Ya, jadi kamu pasti tahu apa yang aku pinta.

Aku hanya memintamu menggenggam tanganku lebih lama, dan berlari bersama-sama.
Seperti minggu ini aku melarikan diri dari tumpukan tugas kuliah dan memanfaatkan jatah bolos yang sangat baik diberikan dosen, untuk melihat senyummu menyimpul lebar.

Maka datanglah sayang, jemputlah aku dengan kemeja putih dan jas yang selalu membuat kamu terlihat luar biasa ganteng, karena aku sengaja mencari sebuah dress putih-hitam itu untuk bisa terlihat lebih cantik di hari luar biasamu.

Karena kamu tahu, aku tidak ingin berlari menjauh seperti matahari dan bulan yang saling mengejar tapi tak pernah sampai, kecuali gerhana mempertemukan keduanya dan aku tetap tidak suka. Terlalu terang, atau terlalu gelap.

Aku akan tetap berlari seperti hujan, ya, karena aku hujan, berlari mendekat, berani jatuh, untuk mengecup pipimu, kelopak matamu, dahimu, hidungmu, dan bibirmu yang manis.

Kamu dengar kan, bagaimana suaraku di ujung telepon saat mengatakan "aku pulang..."
Terlalu senang, terlalu bahagia.

De Angelo-ku sayang, aku tidak membawa lilin-lilin merah untuk kamu tiup, aku membawa diriku sendiri, menarik diriku sendiri dari seabrek rutinitas yang ada, dari segala tuntutan yang menggema, untuk pelan-pelan datang, dengan senyum termanis saat membuka pintu rumah kita lagi, menaruk sepatu dibawah gantungan handuk, meletakkan tas di sudut meja, dan jatuh rebah di seprai yang kadang merah kadang hitam itu.

Ah, aku tidak ingin membagi waktuku sedikitpun dengan tanda tanya. Aku sudahi saja. Kamu tau semuanya, kan?

Aku cinta kamu.
Dan tetap suka saat harus mengucapkannya di bibirmu. Sangat suka.

"Kita bangun istana dengan sejuta kecup sederhana"

Happy 20th birthday, sayangku.


5 month. pagi tadi aku mendengar suara setelah dering handphone berbunyi "Happy 5 month hujaaaaaaaaaan.... ", suara di sebrang sana terdengar senang. " Gw seneng banget ternyata gw bisa inget. Oh, iya, dateng dong ke endorse, di tebet, diskon 70 % loh, ada dress yang menurut gw cocok sama lo...".


Suara itu suara Robo, yang aku jawab dengan senyum yang tidak terlihat dari ujung telepon, "terima kasih"

Pagi ini, kelas hectic. Temu ilmiah menyebabkan ruang kelas dipindahkan tanpa penjelasan ba-bi-bu. Dosen terlambat, mood dosen rusak, mood kelas kacau. Sempurna.

Tadi pagi, setelah Sky tersenyum dan mengatakan "Wah, 5 bulan. Selamat! Selamat!", sambil menyalamiku dengan kaku, hangat, eh... keduanya.

Aku jadi teringat tadi malam, dan emm.. kemarin. Kukuku terpotong seperempat saat tengah meotong apel dan harus dibalut cantik dengan handsaplast coklat yang menyaingi balutan di jari tengahmu.

Hari itu aku lelah sekali. Pulang naik kereta, disambung bus, mandi, makan, dan istirahat. Namun jengah, pikiranku tidak bisa istirahat, tidak bisa diajak bekerjasama selain mata yang bisa menutup kelopaknya, itu saja, tapi aku tetap terjaga.

Huff, 2 jam lebih kita cemburu. Aku cemburu, kamu cemburu. Pada apapun, pada siapapun. Semua nama disebut.

Siapa?
Siapa!
Ya udah!
Suka-suka kamu!
Apa?
Kamu kan!
Aku!
Nggak!


Aku paling benci bertengkar ditelepon. Apalagi dalam LDR. Kamu bisa saja mematikan handphone begitu saja. Mengganti nomor handphone. Memutus semua jalur komunikasi. Dan bye. Bip. Kamu hilang.

Aku tidak bisa melihat ekspresimu. Nonverbalmu. Pokoknya marah. Kesal. Kecewa. Tapi tidak pernah tahu.

Aku dan kamu lelah, lelah sekali. Aku lelap, tidak ingat memasang alarm untuk bangun tengah malam dan berkata "happy anniversary"

Setelah seharian itu, setelah debat panjang di telepon, aku tertidur, akhirnya aku lelap.

Dua belas. Sudah jam dua belas malam, aku terbangun, tidak sanggup menulis surat, mengukir kata-kata, membuat sesuatu, apalagi mengirimkan hadiah.
Yang aku ingat ini sudah tanggal 24, dan handphone sudah berbunyi. 


De Angelove calling...

Maaf... maaf... maaf...
maaf ya...
iya... maaf..
nggak...
aku yang...


suaranya samar, suaraku juga. Hanya gaung senyap-senyap terdengar. Malam itu ditutup. Aku tidak ingat apa yang kami bicarakan.

Yang aku ingat, sebelum menutup pembicaraan singkat, ada jeda yang panjang diantara kita...

Jeda yang lama

...
...
...
I love you
...
...
...
I know...
...
...
I love you, too...

*Click
Happy 5 monthliversary.



Sayangku, sayangku, lihat, jari tengahmu itu terluka. Bukan, sayang, bukan aku khawatir ia tidak bisa membantumu memetik gitar setelah membangunkanku di tengah malam ketika sedang lelap, seperti putri tidur yang dikecup pangerannya di monthliversary kita.

Sayangku, lihat, lihat jari tengahmu terluka. Bukan, sayang, bukan aku khawatir ia tidak bisa membantumu menekan tuts piano untuk menyanyikan nada-nada di lagu yang sengaja kamu buatkan di hari-hari saat kamu merinduku.

Sayangku, kamu tahu aku sedang apa sekarang? Aku sedang merajut mimpi. Dari sejuta kecup-kecup rindu, dari sejuta kecup-kecup manis. Aku belum mampu merajut kata-kata seperti aku belum mampu merajutkan gumpalan benang-benang itu menjadi sesuatu.

Kecup sederhana, kecup kecil di jari tengahmu yang terluka, yang diselipkan doa di dalamnya.

Sayangku, yang aku khawatirkan adalah, aku tidak bisa tidak mencintaimu, bagaimanapun keadaanmu...

I love you, De Angelo


Lihat, jemariku! Jari telunjukku juga ikut dibalut handsaplast coklat mungil karena terpotong saat mengingatmu. ^^



AKU CINTA KAMU!
plak, tamparan spontan melayang ke pipimu.

Tapi tentunya tidak terlalu keras, itu hanyalah gerak reflek karena terlalu kaget ketika kamu, De Angelo sayangku, berteriak di tengah-tengah lingkaran dekat eskalator di PVJ.

Aku malu, bukan, sebenarnya bukan malu karena dia mengatakannya di depan umum, itu karena aku menantangnya saat kami sedang menyantap cumi saus butter corn dengan lahap di QUA-LI, dan aku pikir, dia tidak akan melakukannya. Ternyata, aku salah, dia memang rajanya nekat!

Seharian itu, aku menemanimu "jalan-jalan". Dari sehari sebelumnya. Menemuimu di klinik, pergi mencari jam, pergi ke sinshe, masuk ke klenteng, menghirup bau dupa dan lilin merah yang aku suka, selalu mengingatkanku pada rumah hantu, dan kamu, kamu yang selalu benci asap.

Lelahkah?
Tentu, ku akui kali ini aku lelah, sekali. Datang ke sana merupakan perjuangan berat bagi tubuhku yang sudah tidak ada tenaga untuk memaksakan diri menaiki kereta ekonomi, turun dan menaiki bus, turun lagi dan naik Primajasa untuk mencapai kotamu, sementara beban akademik dan organisasi menumpuk menjadi satu di tanggal itu, setelah sebelumnya aku berulang kali aku meminta maaf dan mengatakan bahwa aku tidak akan bisa datang, tidak mungkin datang.

Tapi tahukan? Siapa yang tidak akan berlari dan menangis ketika mendengar kamu sakit, sayang? Siapa yang tidak akan panik dan khawatir bahkan ketika mendengar kamu terjatuh dan terluka?

Maka tanpa ba-bi-bu, aku biarkan jam memutar waktunya lebih cepat daripada waktu untuk memikirkan semuanya, lebih cepat daripada handphoneku yang kupandangi tiap jam untuk melihat sisa baterainya yang tinggal sedikit, untuk tiba-tiba datang ke hadapanmu dan bertanya, 

"kamu baik-baik saja? bagaimana keadaanmu? dasar kamu, bodoh..."
sambil terengah-engah habis berlari, mengalahkan beberapa menit waktu yang ikut berlari bersamamu.

Maka hari itu aku yang sangat lelah ini hanya bisa tergeletak tertidur di kasur yang sepreinya entah sudah tertarik kanan kiri, tersenyum setiap kali melihatmu dan meyakinkan diriku kalau kamu baik-baik saja, tersenyum, ya, setidaknya kamu bersamaku saat itu.

Bisa menggurat senyum saat menonton Harry Potter yang bahkan bisa-bisanya membuatmu mengantuk, berpapasan dengan segerombolan teman kampusmu, menikmati yoghurt di Tutti-Frutti, yah, mungkin lebih tepatnya menikmati saat-saat menuang karamel dan menyimpul batang cherry.

Sambil sesekali was-was melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku hari itu, aku was-was waktu berjalan terlalu cepat.

Cepat sembuh, sayang. Aku sudah kembali ke jakarta, tertampar oleh banyaknya deadline yang kemarin sengaja aku lupakan. Aku masih rela melewati hujan menunggu Primajasa di tempat yang sama, karena nyatanya memang hujan tidak pernah menyakitiku, ia menemukan caranya untuk membuatku lebih lama menggenggam tanganmu.

Lagi-lagi, kita terpisah jarak, 170 km, terhubung oleh sebuah layar kecil 14 inch, dengan web camera, kembali ke Skype. Kembali mencecap udara di kala rindu memeluk terlalu erat.

Kembali merindu kamu, sayangku.



Pernahkah kamu merasa sendirian di rumah yang begitu besar untukmu?
Menunggu seseorang masuk kembali membawakan senyum dan tawa yang seperti biasa, karena rumah itu biasa ramai.

Ramai oleh tawa, tangis, bisik-bisik, kemarahan, teriakan, semuanya.
Dan kamu menanti di tempat yang sama, entah, membuka pintu-pintu kamar yang tidak lagi berpenghuni.

Duduk di ruang TV memegang remote namun pikiranmu dibawa kemana entah, karena tidak ada lagi yang akan menyembunyikan remote itu di bawah bantal atau merebutnya sambil menggelitikimu diam-diam untuk mengganti menjadi saluran tv kesukaannya. tidak ada wangi dan asap yang mengepul dari dapur, tidak ada bunyi sandal jepit yang basah, meja yang berderak, atau suara yang mengomel ketika kamu lewat sementara dia sedang menyapu rumah.

Iya, inilah lingkarbianglala sekarang.

Seperti pasar malam yang terlanjur larut, cahaya-cahayanya meredup, meninggalkan putaran bianglala yang tak bisa keluar dan menggelinding selain pada porosnya. aku disini, duduk, di ruang tamu yang kosong, kadang-kadang menempati ruangan yang sebelumnya terlalu hati-hati kumasuki.

Taman-taman yang rumputnya panjang dan belum disiangi.

Selamat datang, kawan.

Aku sendirian sekarang.
Dan menunggu, berharap.

Terlalu bosan dengan ke-aku-sendirianku.

Bagaimana dengan penghuni baru, katamu?

Tidak bisa
ini bukan rumah-ku.
ini rumah kami

Selalu jadi rumah kami, meskipun kunci ada di tanganku, aku hampir tidak pernah menguncinya lagi, setiap malam selalu bermimpi adanya tawa yang sama, atau orang yang diam-diam masuk lewat pintu pun tak apa, tak ada yang bisa dicuri dari rumah ini, karena rumah ini adalah kumpulan kenangan, jutaan gurat-gurat sederhana.

Maka suatu hari aku meninggalkan rumah ini untuk jangka waktu yang lama, berbulan-bulan, namun, setiap bulannya tetap saja aku kembali, berdiri di depan pagar yang mulai dipenuhi bunga mawar, bukan lagi lily seperti dulu.

Maka, setiap hari yang aku lakukan hanyalah pergi, ke sana, kemari, membangun rumah kecil yang lainnya, sambil berharap, ketika aku pulang, sudah ada seuntai senyum mengembang di rumah itu, lingkarbianglala.

Arco, Dimii, Sky, Luna.
Welcome (away) home.

selamat tinggal, selamat datang di rumah kalian masing-masing.

home is where your heart is, isn't it?



Empat bulan adalah anugerah paling luar biasa yang diberikan Tuhan pada kita. Bagaimana tidak, sayang? Lihat badai di belakang mengetuk kaca jendela kita?

Ingat bagaimana ia mampu menggoyang keras bahtera kita sehingga kita harus berhenti mendayung kapal dan mengambil napas panjang, memberi spasi, tanpa jeda.

Kita mampu mengalahkan ramalan pendek, dengean jampi-jampi cinta yang jauh lebih kuat. Dalam setiap detik yang mengantarkan aku sampai ke tol cileunyi - menempuh 170 km ke pintu rumah kita

"selamat datang di gubuk kecil ini," katanya... saat pertama kali membuka pintu kamar - rumah mungil kami.

Segala lelah, kantuk yang berjarak seketika lenyap ketika pertama kali merebahkan diri dalam pelukan paling hangatmu.

Kamu sudah melihatku tertawa, marah, menangis, kecewa, sedih, tersenyum, tersipu. Terima kasih masih mau berada di tengah-tengah itu semua.

Aku masih percaya, sangat percaya, bahwa ada banyak kata-kata yang tidak dapat aku tuliskan.

Aku masih sangat ingin melihat senyum manismu, dan tatapan nakalmu...
Masih ingin merasakan kecup lembutmu yang mendarat di keningku.

Bolehkah kita bermimpi, sayang?
Di selipan doa dan harapan, semoga Tuhan memberikan kita waktu lebih panjang...

Sekedar untuk bergandengan tangan, mengikat mimpi-mimpi kita pada jutaan balon udara yang berterbangan, yang setiap hari mengirimkan rindu-rindu manis...

Sejuta kecup sederhana... untuk mimpi-mimpi dan rindu yang selalu suka menyelinap ke sisimu.

Sejuta kecup sederhana, sejuta senyum manis saat aku bisa menghirup wangi tubuhmu, dan melihatmu tersenyum....

Sejuta kecup sederhana, kecup-kecup rahasia dibawah hujan...
di dalam hujan...


Happy 4th montliversary, sayangku De Angelo.

Michaelangelove.

Michael.Angel.Love.


terima kasih banyak...

aku menengok rumah tetangga. sepi tanpa tulisan baru, teronggok begitu saja sementara aku sudah mulai bosan dan ingin membaca. situs sepocikopi sedang main tenis - istilah manis daripada maintenance-


seperti halnya aku. maintenance.


dan seperti situs sepocikopi kesayanganku, aku kembali, meskipun masih hanya 1 bulan sekali...


mengurus rumah yang sekarang sepi...


namun selalu mengundang untuk kembali

Aku selalu punya mimpi untuk tetap mampu menulis. sayangnya, akhir-akhir ini aku jadi jarang membaca, jadi jarang sekali mampu menulis.

Akh, De Angelo-ku sayang...
Dia membuatku melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan cara yang berbeda. Begitulah pokoknya, kalau dilihat-lihat, sih... Aku sedang bandel-bandelnya sekarang.

Aku akan rela datang jauh-jauh ke bandung tiap 2 minggu sekali hanya untuk bertemu De Angelo-ku yang ganteng di akhir pekan. Aku menemaninya kebaktian minggu pagi, datang ke rumahnya dan mengobrol dengan keluarganya, mencicipi sweet wine, yah... sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan bisa terjadi sebelumnya.

Senangkah? Tentu! Baru kali ini aku bisa melebarkan sayapku selebar-lebarnya dan terbang setinggi-tingginya. Baru kali ini aku bisa punya sirip yang lebar sehingga aku bisa menyelam sedalam-dalamnya.

Merasakan esensi menjadi hujan, kembali... Setelah sekian lama hanya menggantung mendung, setelah sekian lama hanya menggantung bingung.

Sekarang, aku merenungkan semuanya. Mengambil intisari seperti lebah mengambil intisari madu, aku harus mengambil intisari kehidupan.

Hah? Mau bilang aku terlalu filosofis?
Tentu-tidak.
Aku masih ingin mencoba banyak hal dengan caraku yang manis.


Sekarang waktu aku mempersiapkan diri di depan kaca dan berdandan. Mendandani segi-segi kehidupanku. Bersiap menjadi hujan. Sebenar-benarnya hujan.

Setahun lebih dewasa, dan aku bersyukur karena jantung masih berdetak hingga saat ini. Mungkin hanya sedikit melambat karena kolesterol yang menumpuk diam-diam akibat asupan lemak berlebihan dalam usaha menggemukkan diri yang selalu gagal. Banyak hal yang berubah. Banyak harapan tahun lalu yang tidak tercapai. Namun, aku masih bersyukur, dan berharap bisa terus bersyukur karena banyaknya keindahan kecil dalam hidup yang mengisi kekosongan-kekosongan besar seperti bata yang menambal bolongan di tembok rumah.

Terima kasih untuk semua yang telah menyediakan kesempatannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Terima kasih untuk adik-adik kelas yang masih ingat untuk mengirimkan sms bahkan sebelum tengah malam datang. Terima kasih untuk Hujan dan De Angelo yang menyempatkan diri mendatangi Goethe, membeli Un Soir de Paris, dan meng-hunting tanda tangan "orang-orang penting" di acara launching buku itu. Terima kasih untuk Alex, Juno, De Ni-Mel, Hujan-De Angelo, Maggie Tiojakin, dan Clara Ng yang mau menyempatkan diri membubuhkan tanda-tangannya di buku itu. Terima kasih untuk Mbak R yang rajin mengetuk pintu dan mengincar hamsterku untuk dimasak kecap, tetapi sempat menghadiahkan Elmo merah yang lucu. Terima kasih untuk AF yang telah memberikan sebuah sketch book besar dan mahal yang tidak pernah terbayang akan aku beli sendiri. Terima kasih untuk N & D yang mau repot belanja, masak nasi kuning, dan menghadiahkan kamus psikologi yang berguna sekali. Last but not least, terima kasih untuk Luna yang sudah menemani hari-hariku, dan menghadiahkan sesuatu yang telah lama aku inginkan...: TEFLON!!! Hehehe... ya, sudah lama aku ingin punya penggorengan teflon, tapi harganya mahal sekali... :-p

Banyak sekali harapan untuk usia yang baru saja bertambah ini. Namun, kali ini aku simpan sendiri saja dalam hati. Yah, mudah-mudahan dengan begitu bisa lebih mudah tercapai. Hahahaha...


October 8th, 2010
7.57 A.M.


Sejujurnya, I've never been proud to be a lesbian. Why? Karena, sebagai seseorang yang tetap memegang salah satu agama mayoritas, meskipun sering, gamang, saya tahu dan tetap percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa besar. Keluarga saya pun akan hancur hatinya bila mengetahui bahwa anak yang sangat mereka sayangi ternyata tidak memiliki orientasi seksual yang sama dengan mereka.

Namun, saya masih tetap bahagia berada dalam dosa yang ini, dan bukan yang lain.


I've never been proud to be a lesbian. But, I'm always be glad and proud to be a part of humanity that is free of hatred, fear, and homophobia. Here we are standing still.
How about you?



September 29th, 2010
06.59 P.M.


P.S.: Untuk semua yang menentang QFF 2010: Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk diurus, Kawan.


Picture source: http://multicultural.usf.edu/safesymbol.htm

Papipandaku sayang,

Akh... aku belum bosan, sayang. Belum bosan berdiri manis menunggu kepulanganmu di depan pintu rumah kita. Menempuh waktu, untuk kembali datang dan mengetuk pintu hatimu, lagi... dan tersenyum...

"aku pulang"


Poppa Bear, aku sangat merindu pulang, meskipun Skype yang baik mempertemukan kita tiap malam.

Kamu selalu bertanya, "lelahkah pulang, sayang?" dan aku menggeleng...

"Selama aku masih bisa pulang, ke pelukan paling hangat.
aku akan selalu ada,
selalu datang,
menyusup diam-diam,
seperti yang kamu lakukan.
Berdiam, di hati yang terdalam..."



p.s: terima kasih masih bersedia menemaniku hingga hari ini



happy 3rd monthliversary, sayangku.


Aku mengetikkan kembali kata cinta yang selama ini hanya tertelan begitu saja. Begitulah, kadangkala cinta membuatku kesal karena ia tak terdefinisi. Sedangkan aku, aku butuh kata untuk tetap dapat mengada.

Ada berapa tetes senja yang mampir ala kadarnya di pelupuk mata, tiba-tiba menggenang layaknya matahari yang hendak tenggelam, di matamu. Sedang malam belum juga selesai mempersiapkan dirinya menutup jingga, aku sudah harus gegas.

Aku masih harus menempelkan bintang-bintang nani malam, menghitung hujan dan menutup tirai gelap di pangkuan.

Jangan bersedih sayang, ada banyak kecupan yang aku simpan di saku celanamu. Kalau-kalau nanti kamu merindukanku, dan bibir merah mudaku.

Lihat sayang, tengadah ke langit. Aduh, sayapmu menguning perlahan karena hujan dan panas sedang bermain-main dengan girang. Lihat, bulu-bulu sayapmu berjatuhan, rontok perlahan.

Aku bersungut-sungut memunguti helai demi helainya. “Kalau begini, sayapmu bisa habis dan kamu tidak lagi bisa terbang!”

Akh, kamu malah tersenyum. Senyum yang selalu ingin aku bawa pulang. “Tidak apa, lagipula sekarang aku tidak butuh sayap”

“Tidak ada malaikat yang tidak butuh sayap. Tidak ada malaikat yang tidak punya sayap.”, kataku sambil cemberut.

Dia menarik tubuhku mendekat dan berbisik.
“Ada! Aku...”, katanya sambil mengelus rambutku yang terurai sampai bahu. Matanya meredup. “Malaikat butuh sayap untuk terbang. Seperti halnya burung-burung itu. Tapi dia juga butuh tempat untuk pulang. Untuk bersarang. Dia terbang untuk mencari dimana letak hatinya. Maka ketika dia menemukannya, dia tidak akan terbang. Ia akan duduk bersamamu dan berjalan bergandengan tangan. Ia akan menunggu di tempatmu pulang.”

Aku memamerkan senyum termanisku. “Kamu tetap harus terbang. Kamu harus membantu aku berjinjit-jinjit memasang hujan diantara teriknya siang. Mikail tetap harus terbang, harus tetap menurunkan hujan. Aku akan tetap menunggu disini, menunggu sampai tets-tetes itu kembali jatuh ke bumi, dan menunggumu, pulang.”

Maka kujahitkan helai demi helai sayapnya yang berwarna putih gading. Membiarkannya terbang. Menantinya pulang.

Untuk malaikat penurun hujanku,
Michael(angelo(ve)).

Tetaplah terbang. Cepatlah pulang.


Entah kenapa kita jadi punya banyak event yang disimbolkan oleh sebuah kamar yang kita sewa perbulan ala mahasiswa itu.

Masih ingat kapan akhirnya kita menetapkan hari resmi jadian, Sky?

Saat aku pertama kali tidur di sampingmu, di kost-an itu.

Ingat waktu kita putus, Sky? Dan akhirnya kamu, eh kita memilih untuk pindah kost-an, dan memutuskan untuk tinggal di kamar yang berbeda satu pintu, masing-masing memiliki kamarnya sendiri, karena katamu, kamu ingin aku mandiri, dan kamu ingin sendiri.

Huff... Ingat bagaimana waktu berlalu, Sky?
Dan ketika aku mulai bisa mengemasi diriku untuk belajar menjadi sendiri, aku juga mengemas barang-barangku pergi dari kost-an itu. Pulang, menuju rumahku yang hanya memakan waktu 30 menit dari sana.

Dan lihat sekarang, kepindahanmu ke kost-an Luna. Aih, manis sekali. Living together. Artinya kalian menarik kembali beberapa kata-katamu terdahulu untuk tinggal sendiri. Ah, klasik. Dasar penakut...

Huff... Simbolisasi yang cukup unik dan menamparku. Mungkin hanya kebetulan. Mungkin. Ah, sekarang aku memulai hidup baru yang lucu. Aku harus cari kost-an baru lagi ketika aku memulai semuanya. Atau begini lebih baik? Bertahan di kamar yang sudah kutempati bertahun-tahun, berbisik pada dinding biru mudanya.


Kunci kamar bergantung rapi di handphone-ku.
Kamarmu, Sky. Dan kamar De Angelo.

Sebentar lagi aku akan menyerahkan kuncinya padamu, sepertinya begitu. Simbolisasi manis dari sebuah senyuman ketika aku memelukmu dan berdoa demi kebahagianmu.

Dasar kamu bodoh, Sky. Aku menyayangimu, dan kamu tahu itu.
Aku menyayangi Luna. Dan sialnya, tak pernah bisa benar-benar benci padanya.
Hanya saja tolong ajari dia sedikti banyak kata-kata. Aku tidak bisa membaca bahasanya!



Rumah adalah dimana hatimu berada, ya kan?
Selamat pulang ke hati masing-masing!
move. move on. moving forward.


De Angelo, tunggu aku di rumah ya...


Aku berlari-lari ke sudut tanggalan. Membeli waktu, minggu, membeli detik untuk bertemu. Peduli apa. Membeli beberapa tiket untuk melaju ke tempatmu.

Aku berlari berapi-api. Mengitung lirikan detik yang menggelitik.

Aku berlari ke sudut-sudut sepi dalam minggu-minggu kelabu.

Sayang, aku tidak ingin jadi hujan, aku ingin jadi waktu. Tapi aku hanya hujan yang mengenggelamkan waktu-pun aku tak mampu. Maka aku menggenang di sudut-sudut matamu, mengalir seperti air ketika kita bertemu, dan berpisah.

Aku akan tetap mengejar waktu, detik-detik mengabu yang membiarkan aku bersembunyi di sela-sela jemari saat kita bisa bersatu.

Aku rindu, sangat rindu. Padahal baru tadi kita bertemu.


Aku mengangkat wajahku tinggi-tinggi saat memandang ke langit-langitnya, menatapmu yang tengah mengambil air di sudut dinding katedral. Air suci, katamu... Aku melihatmu duduk bersimpuh di hadapan Tuhanmu. Dan aku berdiri tegak berdoa, menundukkan wajahku dalam-dalam...

Sesenggukan.

Aku duduk bersimpuh di balik deretan kursi gereja yang sepi. Hanya ada kita. Aku, kamu, dan Tuhan. Pada doaku segenap jiwa, seperti yang pernah kukata, aku mintakan engkau padaNya.

"Tuhanmu juga mendengar doa-ku, kan?", tanyaku. Retoris.

Mata kita sama-sama basah. Bibir kita sama-sama bergetar saat mengucap doa.



Aku rasa malam itu malaikat benar-benar datang kepadaku.
Kamu.



*tepat hari itu.

Hmm... Mungkin sudah takdir... Atau sekedar telah menjadi kebiasaan... Aku selalu terlambat satu-dua hari untuk mengetik dan menge-post ucapan selamat untuk kalian berdua. Hahaha. Yang pasti, bukan disengaja karena tidak ikhlas. Bukan pula tidak menghargai. Hanya saja, excitement aku dalam hal menulis sepertinya memang sudah jauh menurun. Bahkan, kedai kopi favoritku pun sudah jarang aku singgahi, apalagi aku hiasi dinding-dindingnya dengan graffiti gurat tulisku. Maaf, ya. Untuk semuanya. Terutama yang telah lama menunggu tulisanku (semoga memang masih ada...”^_^).


Anyway, sudah dua bulan berlalu, lho. Dan kalian masih bertahan. Dan aku masih tersenyum melihat kalian terus berusaha keras bertahan dan semakin erat saling genggam. Senang dan salut. Hubungan jarak jauh memang tiak mudah untuk dijalani, bukan? Namun, bukannya tidak bisa dijalani.


Tetap semangat, ya. Dua bulan memang bukan waktu yang sebentar, namun juga belum bisa dikatakan cukup lama. Aku masih yakin dan aku masih berdoa semoga kalian berdua selalu bahagia dan bisa terus membuktikan pada semua orang bahwa kalian bahagia bersama. Bukan hanya lewat ucap kata-kata dan bujuk rayu. Bukan sekedar lewat tulisan. Bukan sekedar lewat tingkah laku yang diperlihatkan. Melainkan semuanya, dan juga lewat jujur jiwa dan nurani yang merasa.


Hujan, De Angelo,


Happy 2nd Monthliversary, ya.


Semoga semakin bisa saling mengerti, menghargai, dan mencintai. Karena tanpa Hujan, malaikat belum tentu disebut Mikail. Dan tanpa Mikail, Hujan belum tentu dapat derai menyapa alam. Doaku bersama kalian. Selalu.


August 25th, 2010,

10.11 P.M.

for August 24th, 2010.

Jakarta,
August 21st 2010


De Angelo sayang,
Surat pertamaku berakhir ke tempat sampah, bermuara ke entahlah, mungkin ke negeri antah berantah. Tapi jangan tanya tantang rinduku. Sudah sedari tadi ia mengetuk pintu. Rinduku singgah di pucuk-pucuk randu. Cintaku sudah menggelantung, menggunung, menggembung, membuncah, seakan ruah seperti rima yang tumpah dalam butir kata-kata dalam tiap jelma tulisanku.

Suratku sekedar kertas tanpa ba-bi-bu. Ah, tak apa lah ya., coba hirup dalam-dalam, terciumkah wangi cinta yang pelan-pelan kusisipkan?

Aku melirik tanggalan. Mengintip kearah tanggal yang sama seperti dua bulan yang lalu. Iya, sudah dua bulan sejak hari itu, sayang. Sejak hari pertama kita bertemu. Sudah dua, dua yang berlenggok malu-malu. Dua seperti angsa yang beriringan mesra. Dua seperti kamu dan aku. Dua seperti cinta yang genap jadi satu. Dua artinya sepasang. Satu pasang yang saling menggenapkan. Seperti saat tangan kita saling genggam.

Akh, klasik. Aku masih ingat caramu tersenyum saat pertama hati kita bertemu. Masih ingat bagaimana aku harus menahan jantungku agar tidak jatuh ketika kamu mengecup lembut bibirku. Di sudut bacaan anak-anak, kita berdiri menerawang spanduk hijau "Bangkit dari Terpuruk" yang selalu bisa menjadi bahan tertawaan kita. Dan di gigitan triple chocolate aku meminta tanganmu yang sedari tadi kamu sembunyikan. Dan sejak itu aku meminta hatimu, karena hatiku pun sejak saat itu telah kubungkus diam-diam, dan kuserahkan perlaha
n, hari itu, malam itu.

"Happy 2nd monthliversary"

Aku masih ada disini, masih ada disini. Enggan beranjak, enggan bergerak. Aku kehabisan kata. Tapi tenang saja, aku tidak pernah kehabisan cinta.


I love you , De Angelo.

with love; Hujan



Aku bingung, benar-benar bingung. Ini seperti segitiga tidak terputus. Terlalu banyak gelar yang disandang di bahu masing-masing. Mantan, gebetan, pacar, teman, sahabat, musuh, kawan, lawan, semua dicampur sekaligus. Dan itu membuatku pusing.

Konflik Peran.

Dan rasanya...

Sesak. Pengap. Muak.


Berhari-hari, berbulan-bulan pikiran itu menggantung di kepalaku. Hinggap. Dan seperti black widow, si laba-laba nan sexy yang menggerogoti jantannya, pikiran-pikiran itu menggerogoti kepalaku, aku.

Banyak yang terjadi, tapi sama sekali tak bisa kutuliskan. Aku payah. Aku sedang mengurai tali-tali yang membelit tubuhku dan pikiranku. Pikiranku, ya... Pikiran yang acapkali mampu membuatku teraduk-aduk dengan sempurna.

Persepsi.

Persepsi. Sempurna sekali.

Huff... Aku benar-benar menghela nafas begitu berat. Berusaha meniupkan segala rasa habis, rasa yang mengikat dan menggedor tajam, menusuk-nusuk dari dalam.

Ya Tuhan.... Apa yang telah aku lakukan selama ini?

Dewasalah!!

Akh, pikiranku kacau. Lihat bagaimana tulisanku melompat-lompat? Aku merindukan diriku yang dulu... Dulu...sekali...

Mataku yang selalu berbinar-binar, aku yang bisa tersenyum dan pergi, aku yang tersenyum, aku yang tertawa, aku yang tidak akan menangis, aku yang kuat, aku yang hebat, aku yang akan datang dan pergi sesukaku, aku yang tidak tertawa miris, aku yang tidak tertawa sambil menangis, aku yang tidak menangis, aku yang tidak menangis....

Everyone's changing... Termasuk aku...

Akh....
Tapi sekali lagi, ketika aku melihat wajah Sky yang tirus, mengurus, rambutnya yang acak-acakan, matanya yang lelah, tubuhnya yang ringkih...

Aku menangis.

Ingin memeluknya dan membenarkan rambutnya yang acak-acakan, Benar-benar ingin.
Ingin bisa berjalan bergandengan bertiga.
Sangat ingin.
Sangat ingin.
Sangat khawatir dengan keadaannya.
Kondisinya.
Dimana ia?
Baik-baik sajakah?
Sudah sampai kah di kost-an?
Sudah makankah?
Tidur cukupkah?

Seperti seorang teman yang baik.
Tapi sepertinya untuk ukuran teman, aku menuntut terlalu banyak, ya?

Aku tidak menuntut, aku hanya ingin, aku hanya khawatir.

Sama saja! Itu menuntut! Apa bedanya?

Huff....


Aku sedang mengurai tali temali yang membelitku kini. Aku menunggu. Benar-benar menunggu saat-saat kita bisa berjalan bersama lagi. Kamu. Aku. Dia. Eh, bukan... Bukan...

Hujan. Sky. Luna.

Memeluk kalian erat.
Menggandeng tangan kalian.

"Kami adalah ninja kecil...ninja kecil..."

teman.




Tidak ada yang lebih ingin kutuliskan dari sajak-sajak kecil yang menari-nari di kepalaku. Akh, rasanya baru kemarin genggam kita bertemu. Baru kemarin malam mengecup lembut hati kita. Baru kemarin lalu lalang menghiasi mimpi mimpi tenang kita.

Maka pada malam tanpa kelambu, rindu berarak mendekat menciumi tiap jemari sendu. Rinai... rinai... Menitik rintik di dalam hati masing-masing. Merindu redam.

Aku rindu. Bisik-bisik rayu yang kuselipkan ke dalam malam, genggam malu-malu sepanjang petang, dan sebuah tanya akan cinta yang tak perlu dijawab, karena pekat telah menutup malam lelap dengan janji yang paling erat.

“Sst... Jangan bilang-bilang, ya... Barusan aku bertemu malaikat...”

Siapa?

“Sst... Tak perlu nama untuk mencinta.”

Bagaimana dia?

Peluknya lebih erat daripada gelap, sinarnya lebih terang daripada bintang...”

Apa dia punya sayap?

“Ya, sayap yang lebar sehingga mampu melingkariku dengan pelukan paling hangat”

Apa dia bisa terbang?

“Tentu.”

Apa dia akan terbang?

Aku terdiam.

Apa kamu percaya?

“Tentu, karena ia rela diguyur hujan...

Karena dia mencinta hujan meski hujan tak membuatnya terbang.

Karena dia mencinta hujan meski hujan tak bisa membawanya pergi.

Karena dia mencinta hujan,

dan aku harap dia selalu rindu kecupan lembut hujan yang jatuh di pipinya....”

In the living room