The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Dia lupa kejadian kita berantem selama 1 jam! Dia cuma ingat, dia nangis, dia tidur, dia mimpi ketemu mamanya.

Pertanyaan aku : Kenapa tempat tidur berantakan?
Jawaban kamu :[kamu kalo tidur berantakan]
Jawaban sebenarnya : karena aku ngelemparin semua barang2 ke bawah

kenapa tangan aku merah dan luka?
[ga tau]
karena aku mukul2 tembok, menghindari mukul2 kamu

kenapa gravetter dan forzano ada di bawah?
[karena kalo mau bobo kita taro di bawah]
karena aku lempar mereka, dan tali topi gravetter hampir nyekik kamu

kenapa kamu gak bisa gerak bangun dari tidur?
[karena kecapean]
karena aku daritadi ngebanting-banting tubuh kamu

kenapa mata kamu bengkak?
[karena aku kurang tidur]
karena kamu nangis

kenapa kamu batuk-batuk?
[gak tau, aku lagi sakit]
karena aku nyekik kamu

kenapa kamu mimpi ketemu mama nanyain kabar kamu kenapa?
[karena mama kemaren nelpon bilang sakit, aku kepikiran]
kamu ngigau, kamu manggil-manggil nama mama sambil nangis

kenapa gesper kamu ada di lantai?
[kamunya ganjen, ihiy]
aku ngelepasin iu sambil narik-narik kamu yang kesakitan

kenapa dada kamu sesak?
[ga tau]
karena omongan aku yang seperti biasa bikin sakit hati

aku ingat semuanya, kamu nangis, kamu mau muntah, kamu kesakitan, kamu nyuruh aku nampar kamu, kamu teriak-teriak, kamu nangis sambil ketawa, kata-kata aku yang kasar, kata-kata kamu ke aku

"aku nggak pernah minta apa-apa dari kamu"

"i don't need your money, i have my own"

"you don't have it, it's not a problem for me, because I DO!"

"sekarang kamu nyesel, kamu baru sadar, kalo ini adalah your sooo lovely girl?"

"gimana aku mau nampar kamu kalo kamunya nangis?"

"bunuh aja aku sekalian, yang nangis aku pergi cuma orang lain, dan bukan kamu. kamu nggak akan nangis."

"kamu gak pernah sayang aku, gak pernah! kamu cuma sayang diri kamu sendiri. padahal aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu.aku sayang banget sama kamu. dan terus-terusan, kamu setengah sadar dan setengah enggak, gak bisa berhenti walaupun setelah itu aku sadar dan nangis, cium kamu, tapi sejak itu kesadaran kamu gak balik lagi.

Kamu terus ngulangin kata2 aku sayang banget sama kamu.
Kamu tiba2 diem, dan nendang2 hebat sambil teriak2 "GA MAU!!", seperti saat aku ngunci tangan kamu supaya kamu gak bergerak.
Kamu nangis dan bilang mama-mama-mama-mama-mama.

Aku bingung.

Aku baru mau minta putus, karena aku begitu menyulitkanmu.

dan tiba2 kamu bangun, dan aku nangis sambil ngedengerin musik di snowglobe.. Dan kamu bingung aku nangis sambil minta maaf, dan kamu bingung kenapa, dan kamu mau ambilin tissue sama aku dan nggak inget kalo tissue kita udah abis, dan cuma inget kalo kamu ketiduran, dan aku marah karena aku dianggurin ditinggal tidur.


Dan setelah itu, aku ngerasa ini semua kayak mimpi. Padahal ini bener2 kejadian. Dan rasanya aku jadi setengah gila terus2an nanya kamu kenapa.

Aku sayang kamu, cuma kamu yang stand still.

Cuma kamu yang bilang cinta aku sampai di sisi ketidaksadaran kamu.

Aku cinta kamu.


Kali pertama kamu melupakan sakralnya tanggal 26 bagi kita, Sayang. Pikirmu terpaku pada kata-kataku mengingatkan tanggal ulang tahun lelaki yang menjadi cinta pertamamu. Lalu, kau pun menelepon nomor telepon seluler yang kini telah menjadi milik orang lain. Mengucapkan sebaris kata-kata Happy B’day pada lelaki lain yang menjawab teleponmu dengan bingung sejak beberapa tahun yang lalu.


Malam pertama aku tidur berdua dengan perempuan selain dirimu di atas tempat tidur yang telah kujanjikan hanya milik kita. Dengan dia yang sangat merasa bersalah telah meminta untuk menginap, kau mengatakan tidak apa-apa. Aku hanya berharap bahwa saat itu kau sungguh ikhlas membiarkannya, bukan karena pikiranmu terlalu sibuk mengunyah cerna memori tentang dia yang kini entah telah berada di mana.


Dua enam-dua tujuh ini tidak ada hadiah, Sayang. Tidak ada acara makan-makan besar. Tidak ada hal yang spesial. Hanya kau di ujung telepon berbicara setelah aku dan sahabat kita mengirimkan sms Happy Monthliversary saat tengah malam. Kemudian kau menangis, dan aku membiarkanmu begitu.


Jantungku tidak berontak bukan karena tidak lagi mencintaimu, melainkan karena aku tahu: kau hanya punya malam ini untuk meratapinya yang telah jauh. Ketika pagi datang, kemudian hari ulang tahunnya berlalu, kamu akan pulang kepadaku. Setidaknya aku berharap begitu. Maka biarkanlah malam ini, aku lelap tanpamu...


Happy thirteenth monthliversary, My Dear...

I was, am still, and hopefully will always be in love with you…



October 28th, 2009

3.50 P.M.

tentang October 26th, 2009...


Snowglobenya pecah, airnya tumpah.

Hatiku pecah, tangisku tumpah.



Valentine itu, masih bisa berputar katamu.


Ada luka, disisi sebuah simpang jalan yang bersisian.

Pada amarah yang sudah naik meruah merah,

Pada henti yang enggan dilanjutkan

Pada jengah, dan hati yang dibalut dan dipapah.

Pada luka, yang menambah turus nya

Menganga


aku hanya tau panas mentari akhir-akhir ini membakar

tapi aku cuma mau bilang

selalu ada tempat pulang jika ingin mengetuk pintunya,

meski rumah ini tidak pernah punya pintu untuk ditutup untukmu.

Malam ini, setelah menghabiskan piring berisi satu slice super supreme pizza ukuran besar yang kami dapat secara GRATIS karena berhasil mengumpulkan 25 cap Pizza Hutm aku kembali terkena Sindrom Malas Pulang. Selain karena sudah malam, hujan menyapa, aku akhirnya merengek ke Sky agar aku diperbolehkan untuk tidak pulang dan ikut menginap di tempat Luna.

Sky, yang sudah siap dengan segala perlengkapan di tasnya untuk menginap di tempat Luna pun menggeleng. Aku mengerti, Mama sudah menelpon dari kemarin dan menanyakan kapan aku pulang. Ujian tengah semester yang maha dahsyat membuatky harus menginap seminggu full di tempatnya, Blessing in disguise.

tapi bukan itu intinya. Intinya aku mau ikut tapi Sky menggeleng. Aku tau dia paling tidak suka kalau plan-nya diubah mendadak. A real planner seperti dia berbanding terbalik dengan aku yang shockingly flexible; a real plin planner. Aku bujuk dia dengan segala bujuk rayu segala susuk; dari susuk keledai dan kedelai sampai susuk kuda liar. Ia menggeleng, dan aku jadi BETE. Aku batalkan niatku untuk menginap! Aku mau pulang! SEKARANG!


Angin hujan dan petir. Di luar hujan deras disertai angin dan kilat menyambar. Seperti hatiku dan hatinya. Kami bertengkar setelah sesi makan lingkarbianglala. Hanya karena akhirnya Sky mengizinkan aku menginap di tempatnya atau aku menginap di tempat Luna sendirian. Aku maunya menginap di tempat Luna bersama dia. Titik, tanpa koma. BETE, kami berdua jadi sama-sama BETE.

Jam berputar. Kembali handphone berdering mengingatkan hal yang sama, Maag-ku kambuh, aku kedinginan. Aku akan pulang dengan sakit hati, sakit maag, kantuk yang tak tertahankan, dam ransel superberat berisi beberapa potong baju, jeans, dan laptop. Sempurna.

Aku terduduk dan SKy memarahiku habis-habisan. Memarahiku karena tidak membiarkan dia membawakan tasku yang berat, marah karena aku mau ngotot pulang dalam keadaan sakit. Dia memutuskan untuk membatalkan janjinya untuk menginap dengan Luna. Dia memintaku untuk tinggal di tempatnya sehari lagi, Dia begitu perhatian. Diantara marahnya aku menatap lengkung bibirnya, Aku sungguh ingin menciumnya saat itu juga. Tapi aku masih dalam garis besar BETE.


Aku sebenarnya ingin, tapi aku tidak bisa menginap kali ini. Kugelengkan kepala, sekarang nada marahnya berubah menjadi nada membujuk. Ketika itu tidak berhasil, ia menggantikannya dengan kalimat "Aku antar kamu pulang, aku ikut kamu pulang"


Aku bukan menggeleng lagi, aku menolak.


Bukan karena aku tidak ingin, atau aku tidak suka.


Membayangkannya saja membuatku miris ingin menangis. Membayangkan ia mengantarku naik kereta, memegangi tasku yang berat, merangkulku di kereta yang penuh sesak, tetap berdiri menjagaku dan mempersilakan aku duduk sambil mengecek apakah aku baik-baik saja. Turun dari kereta dan naik bis bersamaku. Lalu mengantarkan aku pulang, melepasku ketika jarak rumah tinggal beberapa meter dari tempatnya. Dia akan kembali menaiki bis ke stasiun kereta, dan harus menaiki kereta yang berkali-kali lipat lebih penuh sesak dari kereta pergi.

Benar, dia memang bukan idaman seperti My exes yang senantiasa mengantarku dengan mobil, memesankan taxi, atau mengendarai motor besar yang keren. Benar sekali, dia tidak bisa mengemudikan kendaraan bermotor. Tapi sekarang harusnya kalian tahu mengapa aku lebih mencintai dia berkali lipat.

Aku dan dia melenggang ke stasiun kereta. Dalam hujan yang masih rintik dan gigilku berselimut hangat jaketnya. Langkahku melambat di setiap becekan. Stasiun sudah di depan mata, dan kereta Ac pun melintas. Aku tidak mampu mengejar kereta itu dalam keadaan begini!

Kereta selanjutnya?

1,5 jam lagi. Aku tidak mungkin menunggu selarut itu. Baru saja aku memutuskan untuk menginap, handphone berdering, mengulang perintah, dengan cara berbeda, aku disuruh pulang naik BIS

Apa? Naik bis? Aku belum pernah pulang naik bis! Kembali aku berharap Sky tidak usah mengantarku. Bis memakan waktu 2 kali lipat lebih lama daripada kereta yang hanya memakan waktu 30 menit. Menunggu bis di bawah hujan rintik sambil terus berharap dia membatalkan niatnya mengantarku. Namun dia menyuruhku diam, dia telah memutuskan. Maka ketika bis itu datang, aku benar berharap dia tidak menaikkan kakinya ke bis tersebut bersamaku.

Sepanjang jalan di bis, aku menangis sambil menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia menyuruhku beristirahat sementara dia memantau jalan yang kami lalui. Padahal, dia belum tidur cukup hanya 2 jam karena kemarin bab yang harus kami baca sangatlah banyak. Aku menangis. Aku sedih karena dia ikut. Memikirkan bagaimana saat dia kembali dan begitu kelelahan, tapi juga menangis terharu, karena ia begitu penyanyang dan penyabar, serta begitu perhatian.

Aku tertidur pulas di bahunya sementara bis melaju. Genggaman tangannya terasa hangat, bahkan sampai saat terakhir dia melepasku untuk kembali karena telah mengantarkan aku. Menaiki bis yang berbedam menaiki kereta yang sangat penuh sesak, dan ketika suarnaya bergema di telepon dan mengatakan kalau dia sudah sampai dan sempat-sempatnya menyuruhku mandi agar badanku tidak gatal-gatal dan bisa beristirahat. Aku menangis semalaman. Aku menangis bahagia. Sky, maafin aku ya. Makasih ya. I love you. All my heart, dan Tuhan, sungguh ciptaanMu yang satu itu begitu sempurna buatku.


Dia ngambek lagi hari ini...

Laptopku tersayang. Aku mendapatkannya sebagai warisan dari tante di awal tahun 2009 setelah dipakai dengan penuh semangat untuk mengerjakan tugas dan tesis sejak tahun 2006. Untuk ukuran laptop, dia memang sudah tua. Tiga tahun lebih usianya. Meskipun physical appearence-nya masih menarik, tidak jauh berbeda dengan saat pertama diadopsi dari toko, namun organ internalnya mungkin sudah tidak sebaik dulu.

Well, mengingat garansi alat elektronik umumnya hanya satu tahun, aku tahu bahwa aku harus siap melepas laptop ini sewaktu-waktu. Apalagi jika mengingat kata-kata Hujan.

"Laptop itu punya masa hidup, Sayang. Akan ada saatnya dia otomatis mati. Kalau tidak begitu, perusahaan komputer bisa bangkrut!"

Aku tahu dia benar. Hanya saja, aku tetap belum bisa ikhlas melepasnya. Meskipun akhir-akhir ini dia sering tiba-tiba error (monitornya bisa tiba-tiba hitam dan hanya menyisakan tulisan Operating System is Not Found berwarna putih), aku tetap belum bisa menerima kalau suatu saat dia tidak bisa dinyalakan lagi.

Walaupun dulu laptop ini milik tante, mungkin memang aku yang paling sering menggunakannya. Setiap kali tante meminta tolong untuk menerjemahkan bahan atau online mencari jurnal referensi, aku hampir selalu ditemani oleh laptop ini. Laptopku yang polos, yang sederhana, yang sabar. Tidak ada skin cover yang macam-macam menutupinya. Tidak ada aplikasi bervariasi yang meramaikan desktop-nya. Hanya ada aplikasi standard dan beberapa aplikasi lain hasil kemurahan hati abang-abang tukang install yang pernah mengobati sakitnya.

Laptopku yang pendiam. Aku pikir, memang laptop inilah yang paling dapat menemani dan merepresentasikan diriku. Kami sama-sama rapuh, sederhana, tidak suka macam-macam, selalu ingin melakukan segala sesuatu pelan-pelan dan step-by-step, serta tetap berusaha bersabar dan diam ketika tanpa sengaja disenggol atau dijatuhkan orang.

Jika suatu saat aku memang harus membeli dan menggunakan laptop lain, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada laptop ini. Acer Aspire 3620 yang telah mati tidak mungkin kujual atau kuberikan cuma-cuma pada abang-abang tukang service laptop. Terlalu banyak kenangan terukir di tiap kedip layar monitornya. Namun, aku takut jika disimpan dalam lemari, dia akan berdebu tak pernah lagi disentuh. Mungkin lebih baik aku kafani saja, lalu aku kubur dalam tanah, diiringi segala macam doa, dan diakhiri dengan taburan bunga...

(Bertahanlah, laptopku sayang! Jangan berhenti sebelum kau memang tak mampu lagi...)


October 20th, 2009
11.10 A.M.


It's my first sleepover at Luna's by myself...

Biasanya aku menginap di sana bersama Hujan. Tidak ada alasan khusus. Hanya sedang ingin meramaikan suasana kamar kost-an Luna yang biasanya sepi saja. Namun, malam tadi, aku menginap sendiri.

Semua ini berawal dari suara-suara aneh di kost-an ku. Yah, akhir-akhir ini para penghuni lantai bawah memang sering diganggu oleh penunggu kost-an. Aku yang seringkali paranoid menjadi tidak tenang bila sendiri. Padahal, sebelumnya, menginap sendirian sementara penghuni kost-an lain sama sekali tidak ada juga bukan masalah bagiku. Lalu, tadi malam, lagi-lagi teman sekamarku tidak bisa pulang ke kost-an karena mengerjakan tugas di tempat teman. Hujan juga tidak bisa menemani karena dia sudah menginap di kost-an ku dua malam berturut-turut. Maka, kost-an Luna pun aku jadikan sebagai pelarian...

(Kalau besok-besok aku terjebak pada situasi yang sama dan kost-an Luna sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, mungkin aku akan menginap di kost-an Arco saja...dan menyelinap subuh-subuh biar teman kost-an nya tidak bingung, hahahaha....)

Anyway..., jadi apa yang aku lakukan sepanjang malam? Nothing. Really. Tidak percaya.? Yah, aku dan Luna sampai di kost-an nya sekitar pukul 10 malam. Lalu, ketika Luna mandi, aku sibuk mengetik soal-soal kuis untuk kelas bahasa Inggrisku hari ini. Setelah itu, kami menonton DVD Nick and Norah yang ternyata bagus sekali. Setelah itu, pukul setengah 1 dinihari, kami mencoba tidur, tapi ujung-ujungnya tidak bisa dan malah ngobrol. Tentang apa? Tentang banyak hal. Tentang Bumi dan Luna. Tentang aku dan Hujan. Tentang Dimii. Tentang LingkarBianglala. Tentang salah satu dosen kelas statistik. Tentang penunggu kost-an ku. Banyak, deh.

Setelah itu, kehabisan topik pembicaraan dan mata yang tidak kunjung menutup membuat kami akhirnya kembali memutar sebuah DVD berjudul Affinity. Film yang agak tidak jelas tentang seorang narapidana wanita yang berpura-pura menjadi cenayang or something. Saat film itu berakhir, waktu telah menunjukkan hampir pukul lima pagi. Adzan subuh telah terdengar, namun mata tetap menolak untuk memejam. Maka, kami pun kembali ngobrol hingga mataku menutup dengan sendirinya pada pukul setengah enam pagi.

(Kemudian, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi pada pukul tujuh lewat...hahaha..."-_-)>

Entah kenapa, sleepover di kost-an Luna memang selalu dilalui dengan percakapan sepanjang malam hingga pagi. Mungkin ini mengindikasikan bahwa Luna memang teman yang menyenangkan untuk diajak bercerita? Hehe...mungkin. Malam ini pun menyenangkan. Hanya saja, sedikit aneh rasanya menginap di sini tanpa Hujan menemani.

(Tapi, tidak apalah. Soalnya, kalau ada Hujan, mereka pasti berkoalisi, dan aku habis di-bully! Hehehehe....)

Still wish that you can be here with me, my Dear Rain....



October 17th, 2009
8.37 P.M.


P.S.: Luna akhirnya punya dispenser di kamar, dan Arco iri karena sekarang hanya dispenser-nya yang tidak bisa mengeluarkan air dingin, hehehe....(Yah, biar Arco sering-sering silaturahmi ke kost-an yang lain untuk minta air dingin! Hehehehe...)


Aku tidak tahu kenapa. Mungkin semua ini hanya karena banyaknya hal yang membuatku terlalu lelah sejak beberapa hari kemarin. Fisik dan mental. Keduanya dipaksa bekerja terlalu keras hingga melewati batas.

Aku tidak bisa mengingat detail hal-hal yang mungkin menumpuk dan menjadikanku merasa seperti hari ini. Aku hanya ingat hal-hal yang baru aku lewati setengah hari ini. Tidak. Aku tidak berpikir hari ini adalah inti masalahnya. Semua yang terjadi dan membuatku merasa tidak nyaman hari ini hanyalah pemicu.


It wasn’t a good start of a day. Maybe that’s why I feel worse time to time today...


Aku terbangun, atau tepatnya dibangunkan oleh pertanyaan teman sekamarku tentang apakah hari ini aku kuliah atau tidak, dan menemukan bahwa jam di meja telah menunjukkan pukul 7.40 pagi. Padahal, Hujan sedang menginap dan dia harus kuliah jam 8. Dalam waktu 30 menit, aku berhasil membuatnya bangun, mandi, pakaian, dengan tergesa-gesa ke warnet untuk menge-print makalah, dan loncat ke atas ojek menuju kampus. Setelah itu, aku kembali ke kost-an sambil berpikir untuk menge-charge hp Hujan lewat kabel data laptop karena dia lupa membawa charger. Namun, ketika masuk kamar, teman sekamarku meminta izin meminjam laptop mengerjakan tugasnya, padahal dia harus kuliah jam 9. Aku tidak tega untuk tidak meminjamkan, namun aku juga sedikit kesal karena dia justru meminjamnya ketika aku perlu menge-charge, bukan tadi malam ketika kami tidak mengerjakan apa-apa.


Aku pun berpikir untuk menjalankan niatku mencuci pakaian hari ini. Namun, kekesalan bertambah ketika aku sadar bahwa aku lupa membeli detergen sejak beberapa hari lalu. Maka, sambil mengantar seorang teman lain yang semalam menginap ke stasiun, aku akhirnya membeli sebungkus sabun cuci krim. Setelah semua orang berlalu dan hanya aku sendiri yang ada di kamar kost-an, aku pun membereskan kapal pecah yang mereka tinggalkan, menge-charge hp lalu meninggalkannya untuk mencuci baju. Saat membereskan kamar, aku baru sadar bawa ada seikat barang fundraising, yang harusnya aku masukkan ke tas Hujan, tergeletak di lantai. Jadi, aku harus bergegas mencuci, mandi, menjemur pakaian, dan mengantarkan ke kampus, padahal tadinya aku sudah berniat mengerjakan beberapa tugas kuliah dulu sebelum ke kampus dan masuk kelas jam 1. Semakin kesal rasanya, terutama ketika Hujan menelepon menyuruh aku bergegas, padahal saat itu aku sedang menjemur pakaian dan sudah mengerjakan segala-galanya dengan tergesa-gesa.


Tiba di kampus, aku baru menyadari bahwa buku statistik yang seharusnya aku bawa untuk kelas hari ini malah tertinggal di kost-an. Sementara itu, ketika aku berusaha mengerjakan tugas bahasa Belanda yang harus dikumpul besok, aku juga baru menyadari bahwa seharusnya aku membawa kamusnya sekalian, bukan bukunya saja, karena daftar vocabulary untuk menerjemahkan teks di buku tersebut tidak lengkap. Ingin rasanya melarikan diri dengan online, mengingat aku juga sudah cukup sering puasa online akhir-akhir ini. Apa daya, koneksi wi-fi kampus juga sedang tidak bagus...lagi. Kekesalan itu semakin lengkap ketika teman sekamarku meng-sms, meminta aku menitipkan kunci kamarnya yang tertinggal ke penjaga kost-an, padahal aku sudah di kampus. Aku sudah bilang, dia harus singgah ke fakultasku dan mengambil kunci kamarku saja secepatnya karena aku sudah di kampus dan harus masuk kelas jam 1. Namun, hingga kini dia belum datang.


Menyebalkan. Aku merasa semua hal-hal kecil menumpuk menjadi sakit kepala tak tertahankan hari ini. Aku jadi enggan berbicara, dan diam dengan kening berkerut. Seorang teman bertanya, ”Kamu kenapa, sih, hari ini? Kelihatannya seperti sedang depresi or something.”


Ya, Kawan.


Mungkin aku memang sedang depresi.


Entah kenapa.



October 13th, 2009

12.38 P.M.


sekotak coklat cinta; lipstik rasa coklat;

masih terasa, dan saat ini aku tersadar

setiap hujan,

pada campuran bau tanah, kucium bau dingin, bau gigil, bau coklat menyergap

membuat hatiku penuh

merindu, lelakiku - perempuanku

Kamu

dan

dia.


Sesa: Bulan, kalo mau ngeprint, ke kamarku aja.

Aku: Oh, iya. Makasih. Gratis kan? Hehe..

Sesa: Iya, gratis. Hehe..


*****


Tok tok tok…

Aku: Ses, aku mau ngeprint dong, bisa ga?

Sesa: Oh iya, bentar!


Pintu dibuka. Aku masuk, langsung menuju laptop Sesa yang telah menyala dan terhubung dengan printer-nya. Pintu ditutup.


Sesa: Bisa sendiri kan?


Sambil menoleh kearahnya, aku tercekat saat meng-iya-kan. Dia memelorotkan celananya. Otomatis kupalingkan pandanganku. Membelakangi Sesa tentunya. Kupastikan wajahku yang memerah tak terlihat olehnya. Ya, wajahku memerah. Memerah seperti kepiting atau udang rebus. Sial.


Sesa terkekeh melihat sikapku. “Kenapa?” tanyanya dengan nada terkesan meledek. “Gapapa. Kamu ngapain?” jawabku cepat. “Ganti baju,” balasnya. “Kenapa ga di kamar mandi aja sih?!” tanyaku dengan nada risih. “Males ah, sama-sama cewek ini,” timpalnya santai.


Sesa, si cuek yang tanpa ia sadari sikapnya itu membuatku dag-dig-dug. Seenaknya ganti baju dihadapanku, memperlihatkan dalamannya (bukan yang sedang dipakai), bergelendotan saat sedang jalan, dan lain-lain. Sesa, tak tahu kah kamu kalau sikapmu itu membuat jantungku berdegup cepat? Tak tahu kah kamu sikapmu itu kerap kali membuatku risih dan salah tingkah? Tak sadarkah kamu saat kamu bertingkah demikian wajahku kerap kali memerah? WALAUPUN KITA SAMA-SAMA PEREMPUAN.


“Sesa, please jangan terlalu cuek!”

Tugas.


Kuis.


Esai.


Kuis lagi.


Makalah.


Banyak sekali hal yang harus diselesaikan minggu ini. Melelahkan. Melahirkan benih-benih stress dan kemuakan yang semakin menumpuk. Kaki yang sudah lelah pun harus kembali menjejak di lantai perpustakaan dengan enggan. Well, aku sebenarnya suka perpustakaan. Aku hanya tidak suka jika harus ke sana untuk mengais remah-remah teori di antara lembaran kuning dan debu yang beterbangan demi menyusun tugas hingga selesai.


Keadaan semakin parah, ketika petugas perpustakaan mengabarkan bahwa masih ada dua buku yang belum aku kembalikan sejak bulan lalu, padahal aku yakin sudah mengembalikannya. Ibu petugas itu pun memberi aku barcode kedua buku tersebut dan menyarankan aku untuk mencarinya agar dapat di-scan ulang di komputer perpustakaan. Tidak sulit menemukan sebuah buku tentang industri dan organisasi yang katanya aku pinjam. Namun, butuh waktu tiga hari untuk menemukan sebuah buku lainnya, tentang individual learning, terselip di antara barisan buku-buku tebal. Yah, wajar saja. Banyak orang yang meminjam buku mengenai pendidikan minggu ini untuk menyelesaikan makalah.


Namun, aku mungkin perlu bersyukur karena aku menemukan secercah penghiburan di antara semua lelah dan muak yang menumpuk. Di antara buku-buku yang dibariskan pada rak sosial, aku menemukan dua buku tua dengan judul menarik. Salah satunya berjudul Gay Militans; sebuah buku mengenai gay movement di Amerika Serikat yang diterbitkan pada tahun 1971. Buku yang satu lagi berjudul Straight Job, Gay Orientation atau semacamnya. Aku tidak begitu yakin karena belum mengintip isinya. Lucu saja rasanya, menemukan kedua buku tersebut di antara buku-buku berdebu mengenai wanita karier, hukum, kognitif, dan stereotype.


Well, yes, I think I really am in the right ship, then! Hehehe…



October 7th 2009

3.48 P.M.


Aku terbangun pagi ini dan langsung melirik jam meja. Pukul 4.16 dinihari. Tidak biasanya aku terbangun sepagi ini. Well, aku memang tidur jauh lebih awal malam tadi karena kelelahan.

Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju meja di mana telepon selulerku masih terhubung dengan charger. Ketika aku mengecek inbox, dahiku sedikit berkerut menemukan sekitar enam pesan baru yang belum dibaca. Setelah membaca salah satunya, aku baru sadar: Oh, yeah, right. It’s my birthday! Hehehe…


Tahun pertama usiaku diawali dengan angka dua. So, I guess, I’m not a teenager anymore, right? People should consider me as an adult or at least a young adult now, isn’t it? Namun, adult tidak berarti mature, kan? Secara usia aku memang mungkin sudah dewasa sekarang. Akan tetapi secara mental, tanggung jawab, dan lain-lain, aku mungkin masih perlu banyak belajar.


Hmm...Is being twenty hard? Yah, seharusnya begitu. Namun, menjalani hidup memang gampang-gampang-susah. Ada tantangan dan kesempatan tersendiri bagi jenjang usia yang berbeda. Saat ini, aku hanya dapat berharap dapat melaluinya dengan baik dan mengisinya dengan hal-hal yang berguna.


Since it’s my birthday, I should make a wish, right? Well, semoga aku dapat menjadi orang yang lebih bijaksana, tidak tergesa-gesa, dan selalu mempertimbangkan setiap hal yang akan dilakukan. I also wish to get a better job with a better salary that I don’t have to depend on my parents so much anymore. Semoga aku bisa mendapat nilai yang lebih baik semester ini. Hope that I can keep on writing and be a good author one day. Semoga aku bisa bersama dan menjaga Hujanku hingga dia menemukan seorang pria yang baik. Last, but not least, wish that Lingkar Bianglala can never be separated and always be good friends (btw, girls and guy, where’s your next writing???).


Hehee…yah, I think that’s all. Hari berganti, usia bertambah. Tidak ada alasan untuk diam saja dan tidak menikmati hidup, right? Life still goes on. People should keep moving on.


Hm, hm...tahun ini saya akan dapat hadiah apa, ya? Hehehe…


September 30th, 2009

5.19 A.M.

In the living room