The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Why two?

Mungkin banyak orang mempertanyakan hal itu. Bukankah hari kelahiran hanya ada satu? Oleh karena itu, ulang tahun pun biasanya diperingati hanya satu hari setiap tahunnya. Lantas, mengapa anniversary Sky dan Hujan dirayakan dua hari?

Well, ceritanya panjang, dan sebenarnya jawaban pertanyaan tersebut bukanlah hal utama yang ingin aku ceritakan dalam tulisan ini. Intinya, Sky dan Hujan tidak pernah officially jadian. Tanggal 26 adalah malam pertama kami berbaring menatap langit-langit kamar yang sama. Sementara itu, tanggal 27 adalah hari pertama Sky mengungkapkan rasa sukanya pada Hujan. Oleh karena itu, kami sepakat untuk memperingati kedua tanggal tersebut setiap bulan.

Anyway, bulan ini, telah genap satu tahun berlalu sejak hari itu. Peringatan satu tahun seharusnya berbeda dan lebih istimewa daripada peringatan sekian bulan, right? Tidak heran jika beberapa teman melontarkan satu pertanyaan yang sama, "Apa yang kalian lakukan untuk merayakan satu tahunan kalian?"

Hmm...berdasarkan rencana awal, kami sepakat berjalan-jalan berdua pada tanggal 27 September. Salah satu faktor yang melahirkan keputusan tersebut adalah kecilnya kemungkinan mama untuk mengizinkan Hujan menginap di tempat kost-ku pada tanggal 26 malam. Namun, sebuah urusan kepanitiaan yang melibatkan kami serta Dimii perlu diselesaikan pada hari itu. Oleh sebab itulah, kami akhirnya dapat bertemu dan memperingati hari jadi kami selama dua hari.


The First Day, 09/26/09...

Rindu yang sudah menumpuk akibat libur Lebaran yang terasa terlalu panjang membuatku tidak sabar untuk segera bertemu Hujan. Namun, hal itu malah membuatku sulit terlelap dan ended-up bangun kesiangan..."-_-)>. Janji untuk naik kereta menuju Stasiun Kota pada pukul setengah sepuluh pagi dan bertemu Hujan di Stasiun Cawang tiga puluh menit kemudian akhirnya harus ngaret sekitar lima belas hingga dua puluh menit. Mood Hujan langsung berubah buruk dan semakin bertambah parah ketika kami sepakat bertemu di atas kereta, namun aku tidak bisa memberi tahunya apakah aku ada di gerbong depan atau belakang...(kecerdasan spasial ku di bawah nol..."-_-)>. Meskipun demikian, kami akhirnya bertemu ketika kereta tiba di Stasiun Manggarai.

Tiba di Stasiun Kota, kami menunggu Dimii sambil makan di Torabika Cafe. Letaknya tepat di seberang jalur 10. Kafe ini menyajikan beberapa macam kopi Torabika, teh, susu coklat, roti bakar, burger, dan hotdog. Tempat itu sangat kecil, dan pintu masuknya sedikit tidak terlihat karena dihimpit oleh sebuah meja kasir di sebelah kiri dan minimarket di sebelah kanan. Namun, setelah masuk, kami nyaris tidak merasa berada di stasiun kereta lagi. Interior yang dipenuhi oleh cermin serta meja dan kursi kayu membuat tempat tersebut terasa sangat nyaman. Sayangnya, sistem ventilasi udara kafe tersebut kurang baik sehingga asap pemanggangan roti menyebar dan bertahan di dalam ruangan.

Setelah Dimii datang, kami menuju area Glodok untuk menyelesaikan beberapa urusan. Dari sana, kami naik angkot menuju Museum Fatahillah untuk berjalan-jalan. Menyenangkan rasanya bisa menyaksikan sebuah atraksi debus sambil menikmati es potong di halaman samping museum...^_^). Setelah bosan, kami berjalan menuju halaman depan museum, melihat-lihat banyaknya pengunjung yang mengendarai sepeda onthel sewaan, melirik pengunjung keren yang membawa kamera layaknya fotografer terkemuka, dan akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam Cafe Batavia.

Pulang dari sana, aku dan Hujan kembali ke kost-an yang masih cukup sepi karena banyak di antara para penghuninya belum kembali dari mudik Lebaran. Berdua di kamar, kami merayakan 365 hari kebersamaan dengan sebotol sparkling grape juice dan sebuah kue tart kecil dihiasi nyala api sebuah lilin berbentuk angka satu.

Meskipun ketika adzan maghrib dikumandangkan aku harus menemani Hujan ke stasiun kereta agar dia bisa pulang, aku merasa cukup senang. Hari ini sangat menyenangkan...^_^)!


*Our special guest of the day:
Dimii the Baby Sun




The Second Day, 09/27/09...


Awalnya, kami merencanakan untuk bertemu di halte busway Kampung Melayu karena Hujan ingin sekali mengunjungi Mall Kelapa Gading. Namun, ajakan Juno Bis untuk kopdar di Cilandak Town Square membuat kami tidak dapat menolak. (Jangan merasa bersalah, ya, Kawan..."^_^)>. Akhirnya, kami memutuskan untuk berjalan-jalan berdua di Citos hingga waktu kopdar dengannya tiba.

Namun, karena satu dan lain hal, Hujan baru dapat keluar dari rumahnya setelah lewat tengah hari. Hal itu membuat kami akhirnya naik Deborah menuju Citos pada pukul 14.00, sedikit lebih siang daripada perkiraanku. Kami tiba di Citos satu jam kemudian. Hujan langsung tergiur dengan dinginnya J.Cool, sementara aku yang baru saja melahap makan siang dan kastangel di kost-an langsung merasa lapar lagi ketika melihat Breadtalk..."-_-)>. Akhirnya, kami bersantai di J.Co sambil menikmati sekotak J.Cool, segelas Frozen Green Tea medium, sebuah donat, serta satu cup kue cokelat dan sebuah roti pizza dari Breadtalk.... Bodohnya, acara santai itu membuat kami kekenyangan... "-_-)>

Ketika kami bertemu Juno dan ditawari minum di Coffee Bean, kami hanya bisa saling memandang dengan senyum miris. Kunjungan sejenak di J.Co membuat kami merasa tidak sanggup lagi menelan, bahkan meskipun itu hanya secangkir kopi.

"Kamu mau apa, Dear?" tanyaku pada Hujan.
"Nggak, ah, aku sudah kenyang banget. Kamu mau?" kata-katanya langsung aku sambut dengan gelengan.

(Maaf, ya, Juno...kami tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Hanya saja, kami memang sudah tidak sanggup lagi karena kebanyakan makan..."-_-)>

Akhirnya, Juno memesan segelas ice tea untuk aku dan Hujan minum berdua, serta secangkir kopi dan sepotong blueberry cheesecake untuk dirinya. Kami duduk selama beberapa jam dan mengobrol tentang banyak hal. Menyenangkan rasanya bisa bertemu langsung dan berbincang dengan seorang Juno...(terima kasih atas ajakan kopdarnya, ya, Kawan...^_^). Ketika waktu menunjukkan pukul tujuh malam, kami memutuskan untuk pulang. Juno menawarkan diri untuk mengantar kami tetapi tidak satu pun dari kami tahu rute dari Citos menuju kost-an ku..."-_-)>. Akhirnya, dengan sedikit berat hati, kami menolak niat baiknya dan memilih pulang dengan menumpangi Deborah.

(Sekali lagi maaf, ya, Juno...kami hanya tidak ingin kamu tersesat dan tidak bisa pulang..."-_-)>

Malam itu diakhiri dengan aku dan Hujan yang singgah di sebuah mall, tidak jauh dari area kost-an, untuk menunaikan misi memotong rambutku. Kami mengajak Arco untuk turut serta menemani kami, dan aku senang melihat wajah keduanya bengong setelah rambutku selesai dipotong, hehe... Hari yang sangat mengesankan!

Our Special Guest of the Day: Juno Bis, Uomo Arcobaleno


September 28th, 2009
3.51 A.M.



Trivia Quiz!
(Ada yang mau menebak, tidak, ya..."^_^)?

--- Apa jenis kopi yang dipesan oleh Juno Bis di Cofee Bean???

a. Espresso b. Cappucino c. Kopi Mocca d. Dia tidak pesan kopi, tapi teh.


(Hee...aku kalah taruhan dengan Hujan atas pertanyaan ini...hehe..."^_^)


Seperti purnama yang menggenapkan ketika gelap. Duabelas-satu adalah langkah pertama ketika kita berani menginjakkan kaki kita dan berjalan tegak. Waktu membuat kita bertambah tua, kalender telah berganti, alarm handphone aku berbunyi. Sudah genap 365 yang pasti, setelah akhirnya berhenti di kalender dengan banyak tanda silang akhirnya berhenti di satu titik putaran.

Kita belum bisa berlari terlalu jauh, sayang. Namun jemari ini selalu mencari tanganmu, ingin menggenggamnya agar bisa berjalan bersisian, meski kadang satu di antara kita terjatuh, masih ada genggam lainnya yang menunggu dan membantu berdiri.

Baru lapis pertama yang kita gigit, sementara ada berlapis lainnya yang menunggu dan meninggi selagi kita berjalan. Tertawa berguling-guling, melirik malu-malu, menggenggam diam-diam, bercumbu perlahan-lahan, memeluk erat-erat, serta menangis tersedu-sedan.

Sayang,..angka satu kita bukan untuk mengejar si dua, atau sekedar menghabiskan jatah hari di kalender tigaratusenampuluhlima. Tigaratusenampuluhlima itu digenapkan jadi duabelas-satu yang menggenapkan kita saat kita menangkupkan tangan jadi satu. Aku, kamu, kita.

Ada banyak agenda tahun ini, ada cinta semanis dan sepahit cokelat, sepekat kopi kental tanpa gula, seasin garam refinery, seasam jeruk nipis, dan setebal buku gravetter-forzano.

Sekarang ada angka manis yang tertera, angka kecil yang menggenapkan satu. Juga, di setiap lambaoanmu, sebelum masinis menjemputku, selalu ada peluk paling hangat, kecup di kening, senyum manis dan doa pengantar pulang ke pangkuan.

Kemudian ketika berjalan dan lambaianmu mulai menghilang, terkadang aku panik ingin menangis, karena sesak tersimpan, bulir terselip, rindu yang sedemikian membuncah, cinta yang menggedor lupa meniup cintanya habis dalam bisikan paling manis

happy anniversary, dear...


Tanggalan telah menunjukkan angka dua belas, Sayang. Adakah kau harus segera pulang? Seperti Cinderella yang dengan tergesa meninggalkan sang pangeran, akankah kau segera berlalu? Dentang bel telah menggema. Alarm berteriak sekencang-kencangnya. Aku memang bukan pangeran; tidak kaya dan bukan pria. Namun, telah kupeluk engkau di antara bulan-bulan yang bermetamorfosis dalam siklus. Telah aku dekap dirimu, tidak hanya dalam dansa, tetapi juga dalam gerak langkah kaki kita. Telah begitu lelap aku berbaring nyaman di dadamu.

Namun, waktu telah dengan tegas menunjuk dua belas. Akankah kau segera berlari ke stasiun dan melompat ke atas keretamu? Atau kau akan menunggu aku berlari terengah meng-estafet-kan karcis kereta ekonomi ke tanganmu sebelum kau menjauhkan Langitku dari sejuk Hujanmu? Aku takut, Sayang. Aku cemas. Teringat guratan kata-kata Pelangi di antara awan-awanku:


...hujankah hujan jika tidak turun meninggalkan langit? Itu kodrat...


Tetap saja aku takut, Dear. Aku tidak suka kodrat. (Aku sudah lama melangkahinya, bahkan sebelum ia menjadi mayat). Aku khawatir jam pasir kita sedang menjatuhkan butir-butir terakhirnya. Kenapa? Karena ini dua belas, Sayang. Pada putaran jarum jam, dua belas adalah yang terakhir. Begitu pula pada hitungan bulan yang ditunjukkan kalender berlambang trisula di rumah kita. Adakah ini yang terakhir? Tidak adakah lanjutan setelah dua belas?


Kau tersenyum, lalu tertawa dengan sedikit kesan mengejekku. Kemudian kau dekatkan wajahmu, lalu menciumku lembut dan lama, disertai gerakan yang menggoda. Kau membuatku bungkam, dengan caramu. Kau tertawa setelahnya, dan berkata, ”Setelah dua belas masih ada satu, Sayang. Pada jam ataupun penanggalan. Selalu begitu.” Aku terdiam sambil berharap bahwa kau benar.


Happy 1st Anniversary, Dear...


I used to, and still, love you...


(Would you really kiss me and say that? Or should it just be my imagination and lie forever…?)



September 24th, 2009

8.46 P.M.

Untuk September 26th-27th, 2009


aku memelukmu, lewat baumu yang kutelusuri dari setiap serat kain milikmu.

masih kukecup bajumu, kutelusuri dan masih tersimpan baumu di sana, meskipun telah tercuci kering, di setrika dengan rapi,

ketika kukenakan, sayang
rasanya seperti kamu memelukku dari belakang, dan seketika aku menangis.

aku rindu.
tiap jengkal tubuhmu, aku rindu.


Tiga belas langkah kecil
Dari waktu yang asyik bermain
Lalu kita jadi satu
Dalam memori tahun kemarin

Tiga belas getar gigil
Dari jarum jam yang sibuk melingkar
Lalu kita jadi tahu
Hingga kini kau masih bersamaku

Angan-asa, tangis-histeris,
Marah-murka, tawa-buncah...

Tiga belas malam-pagi
Lalu kita kan menari
Masihkah saat itu kau berani
Mengecup bibirku lebih lama lagi?


September 14th, 2009
8.48 A.M.
"Thirteen days to our first anniversary..."


Persiapan open house yang tinggal beberapa hari membuat kami kelimpungan mencari baju yang cocok untuk dipakai, dan dipamerkan ke mahasiswa baru.

M
eskipun hari ini berpikir ingin berpakaian simple, aku-Yukata dan Sky-gakuran, tapi kenyataan mengharuskan aku dan Sky berpikir keras dan memutar otak apabila yukata dan gakuran itu terpaksa dipakai oleh kawan-kawan kami yang kurang beruntung ataupun kurang kreatif memadupadankan baju dan hal itu hanya akan jadi term "harus dimaklumi" karena mereka semua tinggal di kamar kost sempit yang lemari pakaiannya hanyalah potongan yang itu-itu saja.

Walhasil jadilah melintas di pikiran kami yang sangat kreatif ini (hho) untuk menggantikan yukata dan gakuran tersebut menjadi japanese school uniform!!Kenapa? Karena gampang, suka-suka mix and match, dan menyenangkan!

Aku akhirnya memakai kemeja putih, rok pendek (9 cm) di atas lutut, dasi coklat hasil colongan dari lemari bokap, handphone pink slide (karena gak ada yang flip), dan kuncir samping!
sayangnya aku tidak bisa menemukan kaus kaki panjang warna warni yang harusnya bisa melengkapi hari-hari menyenangkan saat menarik mahasiswa baru ikut menari bon odori, berputar-putar sambil tertawa sambil sesekali menangkap senyum Sky yang kalau sudah begini menjadi anak polos tanpa dosa.

Ngomong-ngomong soal Sky, tadinya kupikir dia rela berdanadan ala perempuan cantik - school girl sepertiku. tapi nasib dia tidak menemukan celana super pendek, dia menyulap dirinya jadi seperti "cowok SMA yang gantengnya luar biasa"

topinya, vest-nya, dasi hitam kebiruan, sepatunya, rambutnya, gayanya... aih, semua orang yang melihatnya langsung meneriakkan namanya dan berkata "ahh... Sky ganteng banget, ayo foto yuk, foto..."

ah, aku ingin melihatnya mencantik juga padahal hari ini!

nah tumben-tumbennya, tanpa harus dibujuk, dia mau memakai yukata dengan motif bunga, padahal biasanya mengenakan rok atau segala sesuatu yang agak girly saja dia ogah...meski rayuanku sudah rayuan maut

aku memasangkan yukata-nya, dia melepaskan topinya dan mengubah gaya rambutnya, dan saat aku sudah selesai memasangkan obi-nya dan dia berbalik tersenyum kearahku, yang bisa aku bilang hanyalah kalau dia terlihat begitu...


"manis", bisikku di telinganya. Dia tersenyum manis.

Di toilet kampus, saat aku menemaninya membetulkan belahan rambutnya, dia menciumku.

"Batal gak ya? Batal gak ya nih puasa? Mentang-mentang dia gak puasa! Tapi akh, kan aku nggak pake nafsu! (sotoy mode: ON)"

Aku tersenyum. Sky nakal, Sky curang. Karena waktu aku nggak puasa aku gak boleh cium-cium dia!! katanya waktu itu "aku nggak mungkin nyium kamu nggak pake nafsu.. paling nggak, nafsu untuk nyium.. hhe"

Aku tersenyum, rasanya setelah keluar dari toilet aku merasa menjadi anak SMA yang cantik karena sedang jatuh cinta!


God, please tell me
What should I do?
Where could I find,
A place to live?

God, please believe me
I am only
Looking for a place
To stay, stay, stay, stay...


Tulisan di atas adalah dua bait penggalan dari sebuah lagu yang aku buat ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat-saat frustrasi. Saat-saat sendiri. Saat di mana orang dewasa terlalu sibuk mencari-cari masalah baru untuk dipertengkarkan.

Saat itu, aku berpikir bahwa rumah bukanlah benar-benar rumah. It might be a house, but definitely not a home. For me. Saat itu. Namun, seiring waktu berlalu, dan setelah aku memperoleh kesempatan untuk pergi jauh, semuanya berubah.

Yes, that's my house, and also my home. Tidak peduli seberapa bobrok pun hubungan keluarga yang ada di dalamnya. Tidak peduli seberapa berbeda pun pandangan dan pemikiran orang-orang yang menempatinya. Ada memori terserak di sana. Ada keluarga. Terutama setelah segalanya berubah jauh lebih tenang.

Namun, di saat semuanya membaik, justru aku yang harus meninggalkan mereka. Ada harapan yang harus diantarkan menuju pengejawantahannya dalam nyata pada masa. Ada kewajiban yang membebani pundak, namun tetap harus dijunjung meski lelah telah lama menghinggapi tangan dan kaki.

Tanpa terasa, hari-hari mulai menahun. Penanggalan telah habis tersobek. Aku mulai tidak peduli. Ada amanat yang harus dijalankan, dan aku mulai terbiasa dengan berat bebannya. Sama seperti aku mulai terbiasa dengan warna kemeja yang semakin pudar, atau sol sepatu yang semakin lebar terkoyak, atau kaus kaki yang jempolnya berlubang.

Namun, beberapa waktu yang lalu, aku kembali teringat untuk pulang. Apa kabar mereka semua sekarang? Tetap sehatkah? Dapatkah mereka makan tiga kali sehari sambil membayarkan biaya hidup dan kuliahku di sini?

Aku teringat lebaran dan akhir tahun kemarin. Kakak sempat mengirimiku potongan lagu Home-nya Michael Bubble lewat sms. Entah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meledek aku yang tidak bisa pulang saat itu karena dana yang ada harus dialokasikan untuk biaya kuliahku. Mungkin juga dia ingin menyuruhku pulang karena sebenarnya dia yang kangen, hanya saja dia tidak tahu cara mengatakannya. Keluarga kami memang tidak terbuka untuk hal-hal yang berhubungan dengan kasih sayang. Mengingatnya membuatku semakin ingin pulang; sekedar untuk menyuruhnya rajin membelai dan menjaga gitar kesayanganku yang kami panggil "adek".

Akan tetapi, aku juga tidak ingin meninggalkan Hujan sendiri di sini. Izin darinya telah aku dapatkan sejak dulu, meski dia juga tetap harus belajar rela melepaskanku untuk sejenak yang cukup panjang. Biaya tiket yang mahal pun seharusnya tidak jadi masalah karena jika digabungkan, tabungan rahasia kami berdua dapat mengatasi harga yang naik semakin tinggi.

Namun, akhirnya aku memutuskan untuk tetap bersabar, mungkin untuk setengah atau satu tahun lagi. Bukan harga tiket yang semakin menjauh yang menguatkan keputusanku. Hanya satu kalimat. Hanya sebaris kata-kata yang diketikkan Hujanku di layar YM ketika aku chat dengannya sambil mengecek harga tiket online.

Aku akan selalu mengizinkanmu untuk pergi, bukan pulang karena pulang adalah saat-saat bersamamu.

Ya, sayang. Home is when I am with you. Yet still, the house is also my home. Aku sangat bersyukur karena aku yang pernah merasa terlantar dan sendiri kini memiliki dua yang dapat aku sebut rumah. Dan aku lebih bersyukur lagi karena salah satunya adalah kamu. Bukan orang lain.

Terima kasih, Dear. Aku pulang.
Padamu.


September 11th, 2009
1.55 P.M.


Sky, paling hobi makan pizza di Pizza Hut. Selain katanya murah untuk kantong mahasiswa kalo lagi jalan-jalan ke mall, perutnya bisa keisi penuh, dia juga bisa minta cap setiap kelipatan 50.000, ada-ada saja memang. Dan hari ini, kita nyasar lagi ke Pizza Hut, kali ini di Mal Kalibata.

Waiting List, seperti biasa. Untungnya tidak terlalu lama, kami dipersilahkan masuk. Yes, kebagian duduk di sofa, my favorite place ever ya kalau ada sofanya, bisa nyender, tasku yang berat pun dapat tempat yang luas

Kami Pesan delight berdua, Soup of the Day, dan Es krim Mix for Fun


Walaupun tempat itu ramai karena jamnya makan malam dan berbuka puasa, pelayanan di sana oke punya! Aku selalu concern sama hal-hal begitu; pelayanan yang menyenangkan, ramah, tempat yang bersih, makanan yang enak. Dan, aha! Aku dapat hadiah plus-plus. Lagi asyik-asyiknya makan, mataku tertuju pada seorang waitress yang sangat Andro sekali. Potongan rambutnya pendek, tapi gesture wajahnya sangat lembut. Aih, aku dan Sky saling melirik, menggangguk. Dia manis sekali!! Dia ganteng!! Combo double!

Sambil menikmati makanan kami, mata kami mengekor ke arahnya. Meskipun kerjanya kebanyakan yang terlihat adalah menyapu dan mengepel lantai, senyum tetap terkembang di wajahnya, akh... menambah manis saja. Aku yang masih sangat penasaran dan dari tadi sudah meliriknya mulai berharap bisa melihatnya lebih dekat lagi, melihat name tag-nya, paling tidak.

Aku dan Sky sudah sama-sama kenyang. Masih bersisa satu slice pizza dan garlic bread. Aku akan meminta bill dan meminta pizza terakhir itu dibungkus untuk cemilanku nanti malam.
Aku mulai melirik-lirik mbak-mbak andro itu, berharap bisa memanggilnya untuk mengurus bill kami. Tapi waktu sudah malam, Sky harus ke Bekasi dan aku harus pulang, aku menyerah, aku mengangguk ke arah kasir pizza hut, mbak-mbak yang ada di kasir mengangguk. Mbak-mbak andro itu lewat di depan kasir. Sesaat, aku berharap dialah yang akan mengantar bill itu kemari, namun, ada waiter yang juga berdiri di kasir tersebut, dan bill kami sepertinya sudah diserahkan olehnya.

But, thanks again God...
Waiter itu disuruh mengantar pesanan jus alpukat.

Maka kembalilah mbak-mbak andro itu disuruh mengantar bill kami, dengan sigap dia menukar sapu dan pengkinya dan menggantinya dengan nampan, serta mengambil bill, sambil bertanya meja yang mana, dan hal itu mengharuskan matanya melihat ke arah kami, ya - meja kami - Lalu datanglah dia ke meja kami, tersenyum mengantarkan bill-nya. Dia terlihat gugup, sumpah, aku tidak bohong! Terutama saat aku memintanya untuk membungkus pizza kami, sampai-sampai akhirnya aku membantu mengangkat pizza kami itu ke nampan yang dipegangnya karena dia justru belum juga mengangkat nampan itu, dan ah, namanya.... aku bisa melihat namanya tertera,

Anggi
.

Setelah menyodorkan uang 100 ribuan ke arahnya, dia memberikan bungkusan pizza kami. Sebaris senyum kembali mengembang.. Kemudian dia mengembalikan uang kami serta cap pizza hut yang sudah bertambah satu.

Kok rasanya jadi malas pulang ya? Masih ingin rasanya mengekor mata ini ke arahnya yang kembali lagi menyapu dan mengepel, sambil sebaris senyum mengembang di wajahnya yang manis dan ganteng!
Sepanjang jalan kami tidak habis-habisnya membicarakan si Anggi itu. Anggi yang manis, Anggi yang ganteng..

"Sky, malam minggu selanjutnya, kita makan disini lagi yuk, jam yang sama", kataku.

Sky mengangguk setuju.

That was so sweet!!

Yeah, Sky, I love Pizza Hut, too...

In the living room