The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


akhir-akhir ini lagi pengen nakal. (>_<)' setelah diberitakan kalau aku dan sky adalah gossip kedua terpanas di kampus, aku jadi berlonjak-lonjak kegirangan eh? salah ya? tenang... tidak juga... setahun lebih kami berdua bersama. berusaha menutup-nutupi semuanya dengan cara sembunyi-sembunyi

whooz
...tetap saja daun pintu dan jendela bersuara...keras...nyaring..

aku gerah, lalu aku berubah jadi power ranger! nggak juga sih, aku berubah dengan cara yang luar biasa. SHOW OFF!
what? mau coming out, ya? nggak juga, kok. aku menyadari sebuah pola yang sangat judgemental disini. di latar belakang budaya kita.

mau tau contohnya?

couple pegangan tangan = so sweet...

couple ciuman = euwh... apaan sih mereka?


yang gampangnya aja deh!
pernahkan bilang ke mama dan papa, langsung ke hadapan mereka "love you, mom//love you, dad" dan peluk mereka erat-erat?

maka baliklah teori kecil tersebut dalam kehidupan nyata.
gandengan di kampus, senderan, makan suap-suapan, cium pipi kanan-kiri, bilang sayang, tatapan mata mesra yang berusaha aku ekspos di kampus adalah caranya! tidak ada yang akan bisik-bisik di belakang, buat mereka bertanya-tanya sepuasnya, tapi tidak usah mengiyakan!

biarkan mereka puas dengan pertanyaan dan jawaban mereka sendiri
buat mereka bingung dengan konsep pertemanan, buat mereka bingung dengan konsep cinta, buat mereka bingung dengan konsep perhatian. ketika mereka bertanya, tersenyumlah, tertawalah, dan buatlah hal itu menjadi reward selama ini. maka entah bagaimana, mereka akan diam, menikmati konsep orang lain dengan lebih terbuka, membuka pikiran mereka, dan menggangguk mengerti.

hahaha... meskipun pasti banyak orang yang akan protes, mungkin mereka hanya akan protes karena aku
PDA (Public Display of Affection) tapi dengarkan pelan-pelan, mereka akan mengakui kalau mereka iri, mereka iri, atas kedekatan yang demikian, atas perhatian yang sedemikian rupa, mereka bertanya, kepada diri mereka sendiri.

dan terakhir, buktikan kalau kamu, kalian, mampu, mempunyai nilai lebih diantara mereka.
supaya nggak ada judgement terbalik tentunya!!

"dia deket sama A, dia pinter kok, si A juga"

akan jauhhhhhhhhhhhhh lebih baik daripada


"sejak deket sama A, nilai dia turun. jangan-jangan karena..."
hmmm.. intinya, spread out love!
bantuin cupid menyebar cinta!


oh, iya... add kami di Yahoo Messenger ya!

the_sky_15_high@yahoo.com

terutama buat jean_piaget yang sangat berdosa membuat saya penasaran

love you all, our lovely friends, our readers...

xoxo -hujan-



Water lily, mengapung-apung di sebuah kolam kecil nan cantik

mekar perlahan diantara air, kuncup-kuncupnya semerbak...

2 bunga lily, bermain air...

menjejak, menciprat, tertawa, berlarian...

teperangah!



satu bunga lily mengapung-apung di atas air...kuncupnya mekar perlahan... mekar diantara 2..

kuncup menguncup, minta di cup...

cup!

dua - tiga bunga lily bermekaran di sebuah kolam

di depan kolam rumah kami...

satu bunga lily, kuncup hendak mekar, mekar masih menguncup minta di cup!
berdiri diantara menjulang matahari setingginya...



>Luna, sudah nih...


Jujur, awalnya aku ingin menulis Tidak Ada Empat Belas karena memang tidak ada. Hitungan tanggalan antara aku dan Hujan membeku pada tiga belas bulan sekian hari. Kenapa? Sama sekali bukan salah Hujan. Salah Langit, tidak bisa sendiri, dan selalu merasa sepi. Aku mencintai Hujan dan menyayangi Luna. Pada satu titik, kata-kata berubah martil yang memecah bola kaca yang melingkupi Hujan dan aku. Tetap masih ada aku dan kamu. Tidak ada lagi kita.

Bukan. Ini tidak seperti apa yang mungkin ada di pikiran kalian. Kami tidak berpisah. Kami masih melewati hari-hari bersama. Masih saling menggenggam jemari saat berjalan berdua. Masih bersandar satu sama lain saat lelah. Masih tidur bersisian. Masih saling memeluk tak ingin kehilangan. Masih saling mengecup selamat tidur. Masih saling mencinta...

Namun, tanpa status pacar saja.

Ya. Kami break. Sejak tanggal 19 November malam. A "break" without "up", kata Luna. Aku juga masih berharap begitu. Masih berharap bahwa pada suatu titik yang lain nantinya, kami bisa kembali.

Kami sudah baikan. Hanya saja belum balikan. Mungkin untuk sementara memang lebih baik begini saja. Untuk sementara. Aku dan Hujan sedang berusaha menata hati masing-masing. Aku ternyata tidak bisa ikhlas membiarkan dia dekat dengan orang lain ketika masih ada status, begitu pun dia. Bukan berarti saat ini semua itu serta-merta berubah. Hanya saja, kami sedang berusaha semakin melapangkan dada.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat berkata pada Hujan,

"Tidak akan ada empat belas, dong, ya...di blog."
"Kenapa?" tanyanya, "Memangnya semua itu cuma dihitung karena kita pacaran? Aku pikir hitungannya adalah saat-saat kita bersama."

Aku saat itu, dan saat ini, tersenyum. Benar. Kami masih bersama. Masih saling mencinta. Masih saling berbagi waktu dan kisah. Tidak cukupkah hal itu untuk melahirkan sebuah tulisan? Tak cukupkah alasan itu untuk tetap merayakan?

Thank you, Dear.
Happy 14th monthliversary...
I was, am, and hopefully will always be loving you...


November 26th, 2009
12.57 P.M.


Aku tidak tahu harus mulai cerita dari mana...
Mungkin dari kejadian tadi malam saja...

Setelah lama tidak bisa bersantai karena bertumpuknya tugas dan urusan kepanitiaan, akhirnya aku dan Hujan punya waktu untuk jalan-jalan berdua lagi tadi malam. Kami pergi ke sebuah fotobox kecil di mall, makan, dan pulang, dengan rencana menonton dvd August Rush bersama di laptop.

Namun, setelah Hujan selesai mandi dan kami sudah menyalakan laptop, bersiap nonton, aku hanya bisa bengong... Plastik berisi kepingan dvd yang belum aku tonton sama sekali hilang... Aku selalu meletakkannya di rak buku dan tidak membawanya ke mana-mana. Jadi, harusnya sekarang semua dvd itu ada di sana. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak satupun dari kepingan itu meninggalkan jejak di sana...

Hujan dan aku sama-sama bingung. Dan kesal, tentu saja. Sebab, selain berkeping-keping dvd yang belum ditonton, di plastik yang raib itu juga ada beberapa keping dvd pesanan orang yang dikembalikan karena ternyata salah film dan dua judul dvd titipan Abang Arie Gere yang belum sempat aku kirim hingga hari ini. Kesal. Sangat. Terutama karena semua dvd itu sengaja aku beli di tempat yang jauh karena sulit ditemukan di tempat lain.

Kekesalan itu langsung kami tujukan ke teman sekamarku yang sudah beberapa hari tidak pernah terlihat di kost-an. Tuduhan itu didasari oleh beberapa alasan. Satu, yang memegang kunci kamar hanya aku dan dia. Dengan demikian, tidak ada orang lain yang bisa memindahkan barang-barang di kamar kami kecuali aku dan dia. Hujan juga tidak pernah menyentuh plastik dvd itu sama sekali. Dua, ada satu atau dua judul dvd yang tergeletak di rak dan bukan di dalam plastik, tapi dvd itu juga ikut raib. Oleh karena itu aku berhipotesis bahwa dvd itu memang sengaja diambil, bukan tidak sengaja terbawa sebab jika terbawa tanpa sengaja, satu atau dua judul yang bukan di dalam plastik itu tentu akan tertinggal. Tiga, beberapa minggu yang lalu dia pernah meminta tolong aku membeli sejumlah judul dvd (yang hingga kini belum dibayar) dan plastik dvd punya dia yang sebelumnya ada di rak yang sama juga tidak ada. Namun, saat ditelepon oleh Hujan, dia mengaku tidak tahu tentang dvd ku meskipun dia memang mengaku membawa pulang punyanya.

Aku kesal. Kesal sekali. Hujan apalagi. Bukan hanya karena masalah dvd itu.

Beberapa waktu yang lalu, teman sekamarku pernah menangis, mengaku dompetnya hilang. Katanya, semua atm, ktp, dan uangnya yang tersisa ada dalam dompet itu. Lalu, dia juga sempat meminta nomor rekening aku dengan alasan abangnya mau mengirim uang dan dari rekening abangnya, tidak bisa mengirim ke bank tempat rekeningnya berada. Namun, malam tadi, Hujan menunjukkan padaku bahwa dua buah dompet si teman ternyata ada di kamar, baik-baik saja, meskipun sama sekali tidak berisi uang. Hujan tahu karena sempat melihat ketika mau mengambil sebuah cincin yang pernah dia titipkan ke teman itu. Kalaupun benar dia kehilangan dompet lain yang bukan salah satu dari kedua dompet tersebut, lantas kenapa ktp Jakarta yang katanya hilang masih ada dalam dompet?

Selain itu, di dalam dompet yang ditunjukkan Hujan, sebelum dikembalikan lagi ke tempatnya, terdapat dua buah kartu atm, dan salah satunya berasal dari bank yang sama dengan bank tempat rekeningku berada. Lalu, kenapa dia harus meminta nomor rekeningku jika abangnya mau mengirim uang? Hingga hari ini, uang yang sudah aku pinjamkan padanya, yang tadinya akan diganti dengan kiriman dari abangnya itu, belum masuk ke rekeningku...

Kecurigaan kami terhadap keanehan teman sekamarku sebenarnya telah tumbuh sejak beberapa bulan yang lalu. Aku sekamar dengannya sejak sekitar bulan Juni, setelah teman sekamarku yang terdahulu pindah ke kost-an yang lebih dekat dengan letak fakultasnya. Sekitar satu-dua bulan setelah kami tinggal sekamar, aku dan Hujan sempat beberapa kali kehilangan uang, baik yang tersimpan rapi di dalam dompet, maupun yang ditabung pada celengan plastik di dalam lemari pakaian. Namun, kami mencoba menjauhkan prasangka buruk karena sama sekali tidak memiliki bukti.

Namun, malam ini, I've had it. Setelah Hujan menunjukkan dompet si teman sekamar yang katanya hilang tetapi nyatanya ada, kami memeriksa beberapa barang milik si teman yang ada di dalam kamar. Apa yang kami temukan? Tiga lembar gambar yang sengaja aku buat untuk Hujan dan tadinya ada di dalam binder yang Hujan pakai semester lalu ternyata malah kami temukan di dalam binder-nya! Sebuah sketch book berisi gambar yang kubuat dengan pensil arang dan tadinya akan diikutsertakan dalam lomba, ternyata ada di dalam ranselnya yang lain! Mengambil uang sih masih masuk di akal. Akan tetapi, bahkan kertas berisi gambar, pun? Sebenarnya orang itu kenapa, sih?

Sayangnya, aku merasa tidak bisa berkonfrontasi dengannya secara langsung. Rasanya, tidak mungkin dia tidak sadar akan hubunganku dengan Hujan. Mungkin dia hanya pura-pura tidak tahu saja. Well, jika binder Hujan yang terselip rapi di rak buku pun bisa dibuka dan diambil isinya, besar kemungkinan bahwa jurnalku dan buku yang aku tulisi bersama Hujan pun telah dia baca, kan???

Aku kesal sekali. Hujan apalagi. Hanya ada satu hal yang ingin aku lakukan saat ini. Aku sudah memutuskan. Aku ingin pindah kost-an!

Aku sudah lama ingin pindah sebenarnya. Bukan karena aku tidak nyaman dengan kost-an yang sekarang. Aku nyaman. Nyaman sekali malah. Seandainya tidak ada masalah apa-apa, aku tidak ingin pindah. Namun, aku tidak mau lagi tergantung dengan adanya teman sekamar atau tidak (mengingat kost-an ku yang sekarang memang harus sekamar berdua), sedangkan kami tidak mampu membujuk mamanya Hujan untuk mengijinkannya kost denganku di tempat itu.

So far, ada satu kamar kosong di kost-an Luna. Mungkin aku akan pindah ke situ. Mungkin. Au harus mendapat persetujuan dari keluarga dulu. Padahal, itulah yang paling sulit dari persiapan kepindahanku...


November 17th-19th, 2009


Seorang kenalan yang sangat baik di masa lalu pernah berkata, "You have such a big heart, Sky".

Hari ini aku mengingat kalimat itu, dan berpikir: Yes. Maybe I do have such a big heart. But it's sticky. A big sticky heart that won't let anyone who's been sticked to it go. Even if it's just for a little while.

Aku bertengkar lagi dengan Hujan hari ini. Kata Arco dan Luna, pertengkaran di antara kami sepertinya meningkat akhir-akhir ini, sejak angka dua belas terlewati. Aku bilang tidak. Sejak awal, kami sebenarnya memang sering bertengkar. Bedanya, dulu pertengkaran itu hanya berlangsung di hadapan dua wajah: aku dan Hujan. Sekarang, pertengkaran itu sering terjadi ketika ada orang lain. Ya. Orang lain.

Penyebabnya sebenarnya sederhana: orang lain. Well, yah, orang lain plus kenyataan bahwa ternyata aku sangat posesif, gampang jealous, dan semakin sensitif ketika lelah. Sejak sekitar sebulan yang lalu memang ada satu nama yang sering aku jadikan kambing hitam dalam pertengkaran kami. Sebut saja "si A". Seorang teman. Seorang laki-laki.

Tadinya si A adalah salah satu teman favorit aku dan Hujan. As far as we know, dia hetero, dia tidak tahu apa-apa tentang hubungan kami, tetapi dia salah satu yang sangat menunjukkan support yang besar pada kedekatan kami. Awalnya, dia lumayan dekat dengan kami berdua. Akhir-akhir ini intensitas keberadaannya di sekitar kami juga semakin meningkat. Mungkin sejak aku mengikutsertakan dia dalam acara makan-makan pada hari ulang tahunku. Awalnya, kami sama-sama menganggap dia teman yang baik, menarik, cool, dan menyenangkan. Awalnya...

Semua mulai berubah ketika aku (dan mungkin ini hanya karena sempitnya pikiranku saja) merasa dia semakin dekat dengan Hujan.

Beberapa minggu yang lalu, dia mengajak aku dan Hujan ikut dengan divisinya menyebar poster acara organisasi kami ke sekolah-sekolah. Aku menolak ikut meskipun katanya akan selesai sebelum dzuhur. Laptopku sedang error dan ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Aku tahu Hujan sudah lama tidak jalan-jalan jauh dan ingin ikut. Karena itulah, aku yakinkan dia untuk ikut tanpaku. Namun, ternyata rencana berubah. Jumlah sekolah yang mereka kunjungi lebih banyak dan semuanya tidak mungkin selesai sebelum dzuhur. Maka, beberapa kali aku mengirim sms mengingatkan Hujan untuk tidak lupa makan. Akan tetapi, hari itu berakhir dengan Hujan pulang pukul delapan malam dan sakit karena dia baru makan tepat sebelum pulang. Padahal, sebelumnya, dia belum makan sama sekali sejak pagi.

Sejak saat itu, aku merasa si A tidak lagi semakin dekat dengan kami berdua. Si A semakin dekat dengan kami, namun sedikit lebih intens mendekati Hujan. Mulai dari ngobrol tentang sebuah acara camping yang ingin Hujan ikuti tetapi aku tidak, makanan yang dibagi dengan Hujan tapi tidak denganku, hingga sms-an membahas game di salah satu malam sebelum ujian tengah semester hingga pukul setengah tiga pagi. Masalah ngobrol dan makanan itu memang hal kecil. Mungkin aku saja yang terlalu sentimen. Masalah sms-an itu pun mungkin memang disebabkan karena malam itu aku tidak kuat lagi begadang dan memilih tidur lebih dulu sementara Hujan masih belajar sendiri. Menurut Hujan, dia butuh teman agar bisa tetap terjaga mempelajari buku kuliah tebal nan membosankan. Akan tetapi, sejujurnya, aku merasa terancam.

Puncaknya adalah pada hari H pertama dari dua hari rangkaian acara yang diselenggarakan oleh organisasi kami akhir bulan lalu. Sebelum berangkat dari kost-an Luna, tempatku menginap, aku berbicara di telepon dengan Hujan yang sedang menunggu kereta di stasiun. Kami membuat janji untuk sarapan bersama. Aku tahu Hujan pasti akan terlambat tiba di kampus karena keretanya mungkin masih lama datangnya. Kami telah memperkirakan hal itu. Namun, setidaknya aku berpikir bahwa dia akan langsung datang ke kampus dari stasiun. Akan tetapi, ternyata aku salah. Ketika aku hubungi pada pukul 9 pagi, dia malah berkata bahwa dia sedang ada di salah satu jalan (yang jelas bukan jalur kereta) dan akan lebih terlambat karena salah melewati satu jalan tol.

"Kok bisa sampai di sana?" tanyaku bingung.
"Iya, tadi harus ngambil bass-nya si O dulu di Xyz. Tapi, pas mau ke kampus, kelewatan satu jalan tol."
"Memangnya kamu bareng siapa?"
"Si A."
"Berdua saja dengan si A?"
"Tapi..."
"Aku tanya, berdua saja dengan si A?"
"Iya..."
"Kok kamu nggak bilang dulu pas sampai di kampus? Aku kan nungguin!"
"Aku kan gak pernah sampai di kampus, Sayang."
"Lho? Jadi kamu ketemu dan dijemput si A di mana?"
"Di stasiun Xxz."
"Kok kamu nggak bilang-bilang?"

Pembicaraan pun dilanjutkan dengan penjelasannya bahwa si A dapat tugas mengambil bass si O, tapi dia tidak tahu arah ke tempat si O. Oleh karena itu, si A bertanya pada Hujan lewat sms. Merasa kasihan karena si A harus pergi sendirian, dan kemungkinan tersesatnya besar, Hujan pun menawarkan diri ntuk menemani, dan minta dijemput satu stasiun sebelum stasiun tujuan. Namun, hari itu aku terlanjur marah besar. Aku berkeras bahwa Hujan seharusnya bisa bilang lewat sms sehingga aku tidak perlu menunggu dan bisa mengingatkannya untuk makan di jalan.

Sebelum Hujan sampai, aku sempat bercerita sambil setengah marah ke tiga orang teman, dan didengar oleh salah satu kakak senior. Belakangan, kakak itu bertanya pada Arco tentang bagaimana sebenarnya hubungan aku dan Hujan sebenarnya. Menurut si kakak, sedekat apapun persahabatan aku dan Hujan, tetap saja tidak wajar jika salah satu dari kami marah karena yang satu lagi pergi atau jalan dengan orang lain. Ketika mendengar tentang hal itu dari Arco, aku rasanya mau mendatangi si kakak dan berteriak di depan mukanya:

"GW BUKAN SAHABATNYA! GW PACARNYA! SEKARANG WAJAR GAK KALO GW MARAH!?"

Topik mengenai si A memang aku angkat beberapa kali dalam pertengkaranku dan Hujan. Lalu, dibalas dengan topik mengenai aku dan Luna yang kembali dekat akhir-akhir ini. Tapi, semua itu harusnya sudah berakhir, and we should just drop the conversation off, seperti pernyataan Hujan. Sejak hari H kedua dari acara organisasi kami, si A tampaknya menemukan seorang perempuan yang sangat dia sukai. Perempuan itu adalah anggota salah satu kelompok pengisi acara. Si A terkesan obsessed dengan perempuan itu. Status Facebook dan apa yang akhir-akhir ini dia bicarakan selalu tentang perempuan itu.

Meskipun demikian, aku tidak yakin. Seperti kata-kata Hujan pada seorang teman, "Ada orang yang kita mau, dan orang yang kita suka." Mungkin berawal dari ketidakyakinan itulah maka hari ini, hari di mana harusnya topik mengenai si A tidak lagi menjadi masalah, aku kembali bertengkar dengan Hujan. Masalahnya sebenarnya sederhana: si A lagi-lagi sms-an dengan Hujan.

Hari ini, ketika aku sedang ada kelas dan Hujan tidak, Hujan makan dengan seorang teman lelakinya. Dia memang sudah bilang sejak minggu lalu dan aku sudah setuju. Aku mengatakan tidak apa-apa, bahkan memotivasi Hujan untuk tetap pergi ketika dia sudah sangat bete menunggu si teman yang tidak juga datang meski sudah lama ditunggu. Namun, aku sangat berharap dia bisa pulang sebelum acara screening film di kampus agar kami bisa duduk bersebelahan dan menonton film itu bersama. Hujan memang datang sebelum acara itu, bahkan sebelum kelasku selesai. Dia juga ingat untuk membawakan sup yang aku pesan. Saat screening, Luna, Hujan, aku, dan Arco duduk sebaris. Namun, sebelum dan beberapa saat setelah film mulai diputar, si A meng-sms Hujan. Sms pertama menanyakan tempat duduk yang kosong, Sms berikutnya membahas tokoh utama wanita yang dihubungkannya dengan si perempuan yang dia taksir akhir-akhir ini.

Aku tidak marah pada Hujan, tapi pada si A. Kenapa dia harus meng-sms Hujan, membahas hal yang menurutku tidak penting? Kenapa dia tidak ngobrol atau sms-an saja dengan orang lain untuk membahas hal itu? Kenapa harus di tengah-tengah acara screening film yang sudah lama aku harapkan bisa ku tonton bersama Hujan? Namun, kemarahan itu akhirnya menular juga dalam bentuk kekesalan pada Hujan. Kenapa sms-nya harus dibalas? Kalau memang merasa terganggu, kenapa tidak didiamkan saja? Kalau dibalas, kan, jelas si A akan mengirim sms balasan lagi!

Aku menegur Hujan, mengatakan bahwa sms si A tidak usah dibalas kalau memang merasa terganggu. Dua kali. Akhirnya, aku merasa kesal sepanjang film. Hanya mengiyakan permintaan maaf Hujan tetapi tidak menanggapi tangannya yang berusaha menggenggam tanganku ataupun kepalanya yang disandarkan padaku. Hingga film berakhir, aku tetap kesal. Mungkin pengaruh hormon karena aku sedang halangan. Mungkin pula karena akunya saja yang memang keras kepala.

Hal ini berujung pada sebuah pertengkaran antara aku dan Hujan selama sedikitnya dua jam di kampus. Hujan merasa aku tidak sadar bahwa selama ini dia cuma mencintai aku dan bahwa akhir-akhir ini dia selalu menyanyikan lagu Brown Eyes-nya Beyonce untukku. Aku bilang aku tidak meragukan perasaannya, tetapi sikapnya. Aku merasa kesal karena dia merasa perlu menanggapi sms tidak penting dari si A ketika sedang bersamaku. Sederhana memang, dan seharusnya aku tidak perlu bertengkar berjam-jam karena hal itu.

Namun, jujur, aku memang merasa sangat terancam. Kenapa? Karena si A laki-laki. Karena si A teman kampus. Karena si A baik, tampan, menarik, humoris, dan menyenangkan. Karena jika dia memang tertarik pada Hujan, aku tidak bisa datang ke hadapannya, menyuruhnya back off. Karena aku tidak bisa berteriak di depan mukanya mengatakan:

"HUJAN ITU PACAR GW, DAN GW GAK SUKA LU PERGI BERDUA ATAU SMS-AN DENGAN DIA!"

Karena aku bukan lelaki...

Ada sebaris kata-kata yang sudah sangat ingin aku lontarkan pada si A belakangan ini tetapi selalu aku tahan. Malam ini, ketika aku melihatnya di salah satu kantin sedang duduk di samping Luna, tanpa memedulikan pengunjung yang lain, kata-kata itu terucap.

"A, gw cuma pengen bilang satu hal."
Dia menoleh.
"Akhir-akhir ini gw benci banget sama lu. Jangan ngomong dulu sama gw, ya."

Dia dan Luna sama-sama bengong. Dia mungkin bingung tidak mengerti. Luna mungkin terkejut karena aku tiba-tiba mengatakan hal itu di depan wajah si A. Aku tidak peduli. Mungkin orang-orang berpikir bahwa aku tidak pantas berkata begitu pada si A. Orang yang tahu masalah di balik semuanya mungkin berpikir si A tidak seharusnya aku perlakukan seperti itu. Si A, kan, tidak tahu apa-apa. Sementara itu, orang-orang yang tidak tahu mungkin akan berpikir bahwa aku aneh, aku lesbian, dan aku tidak berhak marah hanya karena si A sms-an dengan Hujan. Namun, aku tidak peduli. Entah akan bagaimana jadinya kehidupanku di kampus besok. Aku tetap tidak peduli. Aku tahu ada sedikit puas dan lega ketika akhirnya ku ucapkan kata-kata itu, right on his face. Maaf. Tapi, ya. Aku puas.

Malam ini aku memaksa Hujan menginap di tempat Luna. Pertama karena dia memang sudah membuat janji dengan Luna. Kedua karena dia merasa tidak ingin berbaring di atas tempat tidur yang sama denganku malam ini. Dia butuh waktu untuk berpikir, untuk sendiri, dan untuk menjadi dirinya sendiri, katanya. Sebelum dia kembali menemuiku, dan behave. Tidak menjadi dirinya sendiri. Dia merasa tidak dapat hidup tanpaku, tetapi dia tidak merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersamaku. Jadi, dia butuh waktu untuk sendiri dulu. Untuk menjadi dirinya. Tanpaku.

Entah apa yang akan terjadi besok. Entah akan bagaimana hubungan antara aku dan Hujan. Aku tidak tahu. Aku hanya bisa berharap bahwa pertengkaran malam ini, seperti halnya pertengkaran yang sudah-sudah, dapat kami lewati. Lalu, kami akan bisa tertawa bersama lagi. Tapi, entahlah... Dengan semena-mena semua keputusan aku letakkan di tangan Hujan. Biarlah dia yang memilih: ingin tetap menggenang di awan, atau turun meninggalkan Langit...

(Oh, ya...malam ini aku kembali merasa ingin mati... Kira-kira cara mati yang bagaimana yang memberikan rasa sakit paling sedikit, ya...?)


November 11th, 2009
2.34 A.M.


"Separuh hati kuberikan pada Hujan. Separuh lagi untuk Luna," demikian kata langit beberapa saat setelah ijab kabul tersahkan. Aku menjadi pacar kedua wanita yang saling mencintai.

Hujan pun berkata hal yang sama.

Dan aku hanya bisa tersenyum dan tertawa canda di tengah diam seribu bahasa dalam hati. Bingung. Merasa tak pantas. Merasa tak sebanding.

Aku diberi setengah hati langit dan setengah hati hujan. Namun, aku pun tak lupa, aku telah lama memiliki satu hati dari Bumi. Rasanya terlalu banyak memiliki semuanya. Namun, egoku pun jelas tak rela jika harus melepasnya. Serakah. Sangat.

Bagaimana dengan hatiku?

Itulah sebenarnya yang menjadi beban dalam benakku. Maaf, aku tak sanggup meng-iya-kan atau sekedar mengangguk saat hujan mengatakan hatiku pun terbagi dua. Untuknya dan untuk langit, jadi semua impas. Maaf, tak se-simple itu, Sayang...

Saat ini, aku tengah mendekap erat-erat hatiku sendiri. Satu hati yang pernah kuberikan untuk Bumi. Hati yang telah kuambil kembali tanpa sepengetahuannya. Tanpa permisi padanya. Maafkan aku, Bumi. Kini kamu hanya dapat sekedar merasa memiliki hatiku.

Maafkan aku, Langit. Maafkan aku, Hujan. Maaf aku belum dapat membalas secuil pun setengah hati yang telah kalian berikan padaku. Maaf...


Hari ini Hujan jadian dengan Luna...

Whoaa...tunggu, tunggu. Tenang, Kawan-Kawan. Aku dan Hujan tidak putus, kok. Sama sekali tidak. Bahkan tidak ada pertengkaran atas peristiwa ini. Hee...telah gilakah aku membiarkan yang terkasih jadian dengan orang lain? Mantan sendiri pula! Hahaha....

Semua berawal dari sms iseng Hujan yang dikirim ke banyak orang. You know, tipe sms gombal yang digunakan untuk menghabiskan jatah sms gratis. Hal tersebut kemudian berlanjut ke adegan sms-an antara Hujan dan Luna. Di penghujung acara sms-an, entah bercanda entah serius, Hujan menyebut Luna sebagai "calon pacar" yang kemudian ditanggapi Luna dengan kata-kata yang bunyinya kira-kira seperti ini:

"Emang boleh? Minta izin sama Sky dulu sana!"

Lalu, hari ini, aku berkata tidak.

"Luna boleh menjadi selingkuhan tetapi tidak menjadi pacar...kecuali kalau dia boleh pacaran dengan aku juga!"

Hahahaha.... Gila memang. Tapi segalanya telah berakhir dengan kata "Deal!". Maka sempurnalah ijab kabul antara Hujan dan Sky atas status Luna (tanpa mengindahkan pendapat orangnya sama sekali, hahaha).

Aku sendiri tidak tahu apakah semua ini hanya akan berakhir sebagai candaan sekilas atau berubah serius. Aku juga belum tahu apakah suatu hari aku akan merasa cemburu ketika mereka menjadi semakin dekat. Hal yang aku tahu dan aku mengerti hanyalah bahwa aku mencintai Hujan yang menyayangi Luna yang menyayangiku. Bingung? Hehe...Bianglala yang melingkar memang akan selalu terlihat rumit. Jadi, Arco...kapan mau ikut mengubah status? Hahaha....



November 9th, 2009
11.18 P.M.


Aku cuma tidak mau lupa malam itu.

Malam minggu yang lebih manis dari sekedar duduk-duduk di cafe dan berpegangan tangan.

"Sst..."

.tiga bunga lily.

In the living room