The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Delapan bulan adalah simbol cantik keabadian sempurna. Melingkar tak putus, beralur tak henti.
Delapan buatku adalah angka Tuhan, karena tiada mula, tiada akhir, maka kupinjam angka ini untuk melengkapi garis-garis waktu, untuk menghitung kebaikanNya yang tak terbatas, untuk ada bersamamu hingga saat ini.


Akh, sayang. Aku bisa melihat raut raut cemas yang terbaca, ada terjal-terjal yang teraba. Kata-katamu terbata. 
Tidak usah payah kau redam, cinta. Aku bisa melihatnya. 
Dan setiap kali kamu bertanya, "Kok tahu?"
Aku akan selalu menjawab, "Masih istrimu, sayang. Aku tahu"


Kemarilah, sudah lama aku tidak memelukmu lama-lama seperti semalam. Mendekapmu dalam hangat sambil mengelus lembut kepalamu.
aku ingin bercertia tentang sesuatu. Tentang seikat benang. Berwarna merah. 
Red string of Fate.


Tentu kamu tahu ceritanya, sayang? Tentang seutas benang yang diikatkan ke jari kelingking masing-masing. Takdir. Jodoh. Semuanya.
Namun aku tak pernah mengikatnya padamu.


Aku tahu kamu tidak akan asal berasumsi bahwa aku tidak cinta. Tidak akan mengeluh karena aku tidak lagi mengikatnya padamu seperti yang kulakukan pada Sky.
Mari kuceritakan dulu, dan aku tau kamu pasti mau mendengarkan.


Benang itu, red string of fate, pernah kuikatkan begitu keras di jari kelingkingku yang mungil. Benang itu terpisah jarak yang panjang, sehingga benang itu sangat panjang, sehingga seringkali ia tersangkut disana-sini.
Kami kewalahan untuk mengurainya. Begitu kusut, begitu sulit dijangkau, begitu rentan putus. Maka ketika benang itu benar putus, sangat sulit bagiku menggulungnya, yang ternyata telah mengikat tubuhku, membungkusku sedemikian rupa.
Benang merah harapan yang paksa dirajut, menjadi sebuah kepompong, menjadi kosong.


Tahukah betapa nyamannya aku di dalam pupa? Kamu tak perlu mendengar suara yang memekakkan telinga, kamu tak perlu melihat cahaya yang menyilaukan mata, kamu bisa membangun kerajaan besar tempat kamu bisa tertidur pulas dan bermimpi indah.


Tapi untuk bersamamu sayang, aku menyiapkan diriku untuk terbang, dan untuk jatuh. Terbang dengan segala resiko untuk dimangsa, untuk melihat, untuk mendengar, dan untuk berubah.
Aku melepaskan benang yang lama kelamaan melekat seperti kulit, melepaskannya satu persatu dengan sekuat tenaga, mengoyak kerajaan mimpi dalam kepompong yang tebal, merobeknya, memaksa keluar dengan tubuh yang basah karena luka.


Untuk kamu. Untuk terbang, berubah menjadi sebuah kupu-kupu cantik, yang terbang mengitarimu. Aku mengambil resiko sebuah proses, sayang. Walaupun daur hidup kupu-kupu sangat singkat, walaupun setelah itu sayapku koyak, dengarlah.


Dengarlah kalau Tuhan sudah berbaik hati mengirimkan kamu untukku. Dengarlah bahwa kamu adalah tak terbatas.


Aku dan kamu adalah dua angka nol


Tetaplah bergenggaman, sayang. Karena ketika kita bersama, kita punya cinta yang tidak terbatas.




the Infinite, eight


Akhirnya aku bisa membiarkan malam berkunjung, tanpa ada embel-embel kabut galau. Yaa, butuh perjuangan berat memang.
Tapi terkadang ada saat-saat dimana aku teringat kamu. Seperti bergerak dengan dorongan alam bawah sadar, tanganku langsung mengetik namamu dalam halaman pencarian di situs twitter, dan

Voila! Segala update-an tentang mu langsung muncul.

Rasanya itu ibarat kamu sedang kegerahan di dalam angkot yang terjebak dalam kemacetan, setelah itu angkot melaju dengan kencang.
Angin segar dari jendela angkot langsung mendinginkan wajahmu.

Sama denganku. Rasanya angin segar langsung mengecup wajahku saat mendapat info terbaru tentang kamu.

Agak berlebihan memang, juga aneh. Di saat aku sudah memutuskan untuk mundur dalam misi PDKT dengan kamu, kenyataan tadi begitu menyedihkan, sebenarnya.
Ya, terlebih lagi ketika update-an yang aku lihat adalah tentang perasaanmu yang membuncah dan galau pada seseorang yang sangat spesial di hati kamu.

Ini makin menyedihkan.

Dan aku mulai menertawakan diriku sendiri (untuk yang kesekian kalinya, dalam konteks yang sama).

Aku sadar pada apa yang aku rasakan dan aku lakukan. Sebenarnya ini sangat bertolak belakang dengan tekadku untuk bisa benar-benar bersikap netral padamu.
Hal ini sering menjadi perdebatan alot dalam diri, terutama setelah aku melakukan kegiatan yang menyedihkan tadi.

Jujur, sebenarnya capek juga mikirin hal ini terus.

Mungkin.. ah bukan (tidak ada kata mungkin!).

Sekaranng lah saatnya untuk benar-benar berpindah dari kamu.

Berpindah bisa dioperasionalkan dengan

"tidak mengecek ­timeline kamu lagi dan tidak berlebihan membicarakan perasaanku ke kamu."

Errr.. It is quite hard, i think. But i really have to..


Ada bau manis yang menyeruak pagiku.
Aku berjingkrak-jingkrak keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk merah tipis yang melingkari tubuhku seadanya. 
Aku mencium bau hujan akan turun, namun tetap mengubek-ubek lemari bajuku dan menemukan warna merah muda di tumpukan baju.

Baiklah, hari ini merah muda nyala-nyala, dan waktu berjalan lebih santai dari biasanya. 
Kereta mengulur waktunya, bergerak lambat-lambat, akh, aku terlambat 15 menit, sepertinya. Tapi ternyata langkah-langkah kaki juga melambat, membiarkan hujan mengguyur dan menciumi bumi dengan nikmat. Dosen kelas baru masuk pukul 9 pagi, kelas asesmen klinis, dingin, dan mulai mengantuk. 
Aku tersenyum, hari ini aku sudah menelponmu pagi-pagi, dan aku masih bisa merasakan hangatnya suaramu di ujung telepon, membuka kembali kado berbungkus pink dan berpita besar. Akh, betapa di pagi seperti ini, aku ingin berguling lembut di tempat tidur dan memelukmu erat, menghabiskan waktu menciumi setiap inchi tubuhmu hingga lemas.

Tapi ternyata aku tersangkut disini, dan kamu disana, tapi kita selalu punya banyak hari-hari berdua. Sesak rasanya, karena aku masih bisa menciumi wangi lembutmu yang masih tersangkut di tiap inchi tubuhku.

Happy February 14th, honey. Masih ada happy February 15th, February 16th, karena setiap hari adalah hari-hari super spesial saat aku bersamamu.

*diam-diam ingin mencuri kecup pipimu

Semangkuk besar spicy chicken shinmen soup dihidangkan di meja kami. Duduk melingkar di tengah ramainya Bandung pada hari Sabtu apalagi yang mepet-mepet Valentine's Day ini, jalanan ke Paris van Java yang luar biasa macetnya, dan ramai, ugh, sangat, tidak menyurutkan langkah kaki kami untuk sampai ke tempat yang dituju.

Aku jadi teringat beberapa hari sebelumnya saat Nat uring-uringan dan aktif ber-ym ria untuk mengkonfirmasi deringan krang kring krang kring hotel mana yang mau di book, mulai dari kiara condong, pasteur, sampai ke dago, Vebe yang terus bertanya seperti Dora, "Mau kemana kita? Mau kemana kita? Mau kemana saja kita?" dan aku, si-yah-boleh-dibilang-Event-Organizer-acara-itu mendadak sakit parah, membuatku harus berpikir seribu kali untuk pergi ke Bandung, karena hari-hari sebelumnya aku sudah harus berguling-guling menahan perihnya lambung yang menjalar kemanapun sakitnya.

H-1, Jumat, aku masih tergeletak pasrah di rumah, lambungku masih meraung, sementara detak detik jarum jam berpacu cepat, meninggalkan aku di belakang dengan kebimbangan yang sangat. Maka pukul 6 sore, dengan menenggak obat lambung dan obat anti muntah, aku bertahan. Bertahan 3 jam duduk di bagian belakang bus Jakarta-Garut, smoking area yang panas, meringkuk, perempuan kecil yang bertahan sendirian demi mengajar bus tercepat ke Cileunyi, hanya ditemani sms khawatir nan baik hati nan bawel dari Robo.

Berkali-kali aku merenung, haruskah pergi? Ini sudah malam, namun serentetan janji telah dibuat, haruskah aku mengorbankan orang lain demi kepentinganku? Sementara aku telah mempersiapkan ini 3 minggu sebelumnya, bahkan Nat dan Vebe saja rela datang jauh dari Surabaya.

Jujur, aku sangat malas. Sudah malam, jauh, lelah. Aku sudah tidak berharap De Angelo akan menjemputku malam itu dan menginap bersama di jatinangor nan sempit itu. Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat aku tiba disana, mendapati diriku memang benci tidur sendirian dan kecewa, karena hari itu dia sibuk, sibuk, dan super sibuk.

Namun tidak bisa berhenti tersenyum saat ia membuka pintu dan memelukku malam itu. Dia benar-benar, menyebalkan, karena dia membuatku menangis kesal, namun sambil tersenyum senang diam-diam, dia datang...

Hari Sabtu keesokan harinya, kami masih terkantuk-kantuk saat memenuhi janji membuat sushi dan salad, waktu bergulir hingga pukul 2 siang setelah aku dan De Angelo selesai membuat dan menyantap sushi itu bersama teman-teman kami tercinta.

Nat, Vebe, dan Flash sudah mengirim sms beberapa kali. 

Dimana? Dimana?

Maka kami melangkahkan kaki kami, eh, ban mobil itu, ke area Taman hutan raya Juanda di dago pakar, menikmati gelapnya goa jepang yang malas kami masuki, hutan pinus yang sangat sangat penuh dengan buah pinus, dan lelahnya bejalan kaki dengan sepatu yang cantik.

dan kami melemparkan diri kami menerobos macetnya jalanan Bandung yang super sempit, dan dipenuhi plat B, untuk tersenyum dan bersenang-senang, terpisah beberapa kali, sampai akhirnya bertumpuk jadi satu, memulai ceritanya masing-masing.

terima kasih 
Ligx, Vebe, Nana, Nat, Dimii,  Flash Heart, Uya, Ferro, Cleo.

Selamat bertemu kembali kapan-kapan teman-teman.
Terima kasih mau bertemu dengan kami.

Salam penuh cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa dimana mana 
Hujan dan De Angelo
jangan bosan melihat kami yang begitu penuh cinta.


Sluurp....
Tenggakan terakhir spicy chicken tersisa di ujung bibirku.
"Sayang, mie aku udah abissssssss...", aku merengek manja

Soalnya ku mau minta semangkuk lagi cinta

In the living room