The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

Aku tengah berjalan dalam sebuah lorong tak terbatas. Setidaknya, aku belum melihat dimana ujungnya. Di lorong tersebut aku melihat banyak sekali pintu. Pintu-pintu itu berwarna putih gading dengan gagang berwarna coklat keemasan.


Beberapa pintu bertuliskan angka, beberapa lagi penuh dengan nama, beberapa ditulis dengan kata-kata yang aku tidak pernah lihat sebelumnya, beberapa lagi rasanya sangat dekat denganku, namun tidak tahu apa.

Aku berupaya menyeimbangkan langkahku melewati lorong panjang yang suram. Kadang aku menempelkan telingaku di pintu-pintu tersebut, berharap mendengarkan sesuatu apapun, setidaknya menghilangkan rasa penasaranku terhadap isi dibalik pintu tersebut. Kadang-kadang aku mendengar suara angin, kadang badai, kadang-kadang aku mendapati tetesan air di sekitar pintu. Aku berjalan limbung.

Beberapa kali aku mencoba membuka pintu-pintu yang berbeda. ada pintu yang tidak bisa dibuka sama sekali, ada pintu yang setelah dibuka hanya menyisakan tembok tebal, seperti hendak menipuku, dan ada pintu dimana aku melihat pintu-pintu lain membentang tak terbatas, ada pintu dimana aku mendapati sebuah kaca yang besar memantulkan bayangan diriku. Dan hal itu membuatku sangat takut.

Ada sebuah pintu yang bersinar-sinar. Ada pintu yang menyisakan aura kegelapan.
Aku hanya berani mengintip. Mengintip salju, mengintip luka, mengintip api, mengintip padang rumput, mengintip rumah, mengintip laut, mengintip bintang, bulan, meja, kamar, kuburan.

Pada akhirnya aku menutup semua pintu itu dan berjalan menyusuri lorong.

Pintu-pintu itu adalah memori.
Memoriku.

Dan aku menutupnya rapat-rapat. Meski kadang beberapa tertinggal nganga di belakang, menarikku untuk kembali.

Aku...

Aku...
hanya ingin sekali pulang.

Aku ingin sekali keluar dari basa-basi drama menyedihkan ala keluarga. Ups, salah... ala Mama
aku masih ingat rasanya meringkuk dengan mata berair di atas ranjangku semalam, bersama kedua adikku yang tengah jengah, dalam 1 ranjamg yang sama. Bejejer layaknya ikan asin sedang dijemur. Mama berhasil menguras habis keinginan kami untuk bergerak, sehingga kami memutuskan untuk tidak melihat apapun, tidak mendengar apapun. Kami memutuskan untuk tidur.

Aku bisa saja berpaling dan benar-benar pergi. Impian seorang gadis kecil sepertiku adalah dibawa pergi dari rumah. Wussh... Hilang. Aku bebas.

Aku selalu suka bertengkar dengan Mama. Rasanya seperti badai. Aku suka. Ini lebih menyenangkan daripada harus naik Hysteria atau Tornado. Ini seperti sinetron dengan pemain protagonis terjebak dalam drama peperangan dua kubu antagonis.

Tapi bukan pada saat seperti ini. Saat aku harus diam meringkuk di kamarku setelah selangkah lagi bersiap memindahkan barangku ke kost-an yang baru. Wajahnya murka, seperti dewi Durga yang menginjak suaminya, Siwa.

Ini hanya membuatku semakin terluka. Aku harus menahan diriku agar tidak jadi gila. Meskipun aku sangat menginginkannya.

Aku hanya ingin tidur nyenyak di kamarku sendiri. Aku ingin merasa kesepian. Aku ingin pergi. Sangat ingin.

Aku meringkuk dan menghapus airmataku sendiri. Mama selalu marah jika aku menangis. Aku tidak mau menangis, aku tertawa. Dia lebih marah lagi. Aku diam, melemparkan tatapanku kepadanya. Tak bergerak. Dia semakin marah. Aku melemparkan tatapanku ke arah lainnya, dengan seulas senyum tipis. Dia menjadi-jadi.

Aku bangga. Di satu sisi aku sangat terluka.

Aku merapikan rambutku yang menjuntai sampai ke punggung lewat kaca spion mobilnya. Kami baru saja sampai di sebuah Hotel bernama Grand Paradise. Malaikat tersayangku, membukakan pintu dan meminjamkan tangannya untuk membantuku turun. Udara lembang yang dingin terkalahkan dengan indahnya pemandangan hotel ini. Klasik, elegan, anggun.

Aku langsung menyukai tempat ini. Kami tengah melakukan survey untuk honeymoon kami yang entah sudah keberapa kali. Aku langsung mengangguk setelah disambut gerbang dengan pahatan dua dewa di kanan kirinya. Paradise. Tepat. Ini seperti surga.

Jalanan menurun dihiasi patung penyangga lampu. Malaikatku merangkul pinggangku sambil sesekali menatapku dengan tatapan cintanya. Jemariku menyusuri lekukan patung-patung yang terpahat di dinding. Agak kasar konturnya, namun konsepnya sudah baik


Menyusuri bagian dalam, menapaki satu tangga ke bawah, aku mendapati sebuah ruang makan, restauran. Dinding-dindingnya dihiasi berbagai pahatan: Da Vinci salah satunya. Langit-langitnya dihiasi berbagai lukisan. Meja panjangnya bening dengan hiasan pasir dan pernak-pernik laut. Kami dihidangkan dua gelas jus strawberry segar dengan selasih. Sementara kami duduk dan memesan makanan, angin bertiup dari sebelah kiri, tempat dimana kami bisa menikmati air terjun yang beradu dengan batuan. Aku makin menyukai tempat ini.

 Tepat sebelum mushroom soup disajikan ke mejaku, aku mengecup bibir malaikatku dengan lembut. Dia mengedipkan mata menggodaku. Pipiku panas. Aku malu.

Tepat sebelum matahari tenggelam, kami menuruni satu tangga lagi. Terhampar taman yang indah, serta kolam renang beserta perosotan peluncur yang tinggi. Di dalamnya terdapat kolam air panas. Lampu mulai dinyalakan. Tempat itu mulai terasa remang. Aku berdiri tepat dibawah sebuah patung yang sangat besar. Menengadah, menyaksikan sebuah patung besar yang aku tidak tahu namanya. Bukan chimera, bukan griffin, bukan sleipnir. Patung berbadan naga itu menjulang dari atas seperti merayap ke bawah. Berkepala kuda, berkaki bebek. Berwarna kuning keemasan dengan beberapa sisik naganya kehitaman. Cantik sekali

Well planned, baby. Can't wait till that day come.

In the living room