The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Sejujurnya, I've never been proud to be a lesbian. Why? Karena, sebagai seseorang yang tetap memegang salah satu agama mayoritas, meskipun sering, gamang, saya tahu dan tetap percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa besar. Keluarga saya pun akan hancur hatinya bila mengetahui bahwa anak yang sangat mereka sayangi ternyata tidak memiliki orientasi seksual yang sama dengan mereka.

Namun, saya masih tetap bahagia berada dalam dosa yang ini, dan bukan yang lain.


I've never been proud to be a lesbian. But, I'm always be glad and proud to be a part of humanity that is free of hatred, fear, and homophobia. Here we are standing still.
How about you?



September 29th, 2010
06.59 P.M.


P.S.: Untuk semua yang menentang QFF 2010: Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk diurus, Kawan.


Picture source: http://multicultural.usf.edu/safesymbol.htm

Papipandaku sayang,

Akh... aku belum bosan, sayang. Belum bosan berdiri manis menunggu kepulanganmu di depan pintu rumah kita. Menempuh waktu, untuk kembali datang dan mengetuk pintu hatimu, lagi... dan tersenyum...

"aku pulang"


Poppa Bear, aku sangat merindu pulang, meskipun Skype yang baik mempertemukan kita tiap malam.

Kamu selalu bertanya, "lelahkah pulang, sayang?" dan aku menggeleng...

"Selama aku masih bisa pulang, ke pelukan paling hangat.
aku akan selalu ada,
selalu datang,
menyusup diam-diam,
seperti yang kamu lakukan.
Berdiam, di hati yang terdalam..."



p.s: terima kasih masih bersedia menemaniku hingga hari ini



happy 3rd monthliversary, sayangku.


Aku mengetikkan kembali kata cinta yang selama ini hanya tertelan begitu saja. Begitulah, kadangkala cinta membuatku kesal karena ia tak terdefinisi. Sedangkan aku, aku butuh kata untuk tetap dapat mengada.

Ada berapa tetes senja yang mampir ala kadarnya di pelupuk mata, tiba-tiba menggenang layaknya matahari yang hendak tenggelam, di matamu. Sedang malam belum juga selesai mempersiapkan dirinya menutup jingga, aku sudah harus gegas.

Aku masih harus menempelkan bintang-bintang nani malam, menghitung hujan dan menutup tirai gelap di pangkuan.

Jangan bersedih sayang, ada banyak kecupan yang aku simpan di saku celanamu. Kalau-kalau nanti kamu merindukanku, dan bibir merah mudaku.

Lihat sayang, tengadah ke langit. Aduh, sayapmu menguning perlahan karena hujan dan panas sedang bermain-main dengan girang. Lihat, bulu-bulu sayapmu berjatuhan, rontok perlahan.

Aku bersungut-sungut memunguti helai demi helainya. “Kalau begini, sayapmu bisa habis dan kamu tidak lagi bisa terbang!”

Akh, kamu malah tersenyum. Senyum yang selalu ingin aku bawa pulang. “Tidak apa, lagipula sekarang aku tidak butuh sayap”

“Tidak ada malaikat yang tidak butuh sayap. Tidak ada malaikat yang tidak punya sayap.”, kataku sambil cemberut.

Dia menarik tubuhku mendekat dan berbisik.
“Ada! Aku...”, katanya sambil mengelus rambutku yang terurai sampai bahu. Matanya meredup. “Malaikat butuh sayap untuk terbang. Seperti halnya burung-burung itu. Tapi dia juga butuh tempat untuk pulang. Untuk bersarang. Dia terbang untuk mencari dimana letak hatinya. Maka ketika dia menemukannya, dia tidak akan terbang. Ia akan duduk bersamamu dan berjalan bergandengan tangan. Ia akan menunggu di tempatmu pulang.”

Aku memamerkan senyum termanisku. “Kamu tetap harus terbang. Kamu harus membantu aku berjinjit-jinjit memasang hujan diantara teriknya siang. Mikail tetap harus terbang, harus tetap menurunkan hujan. Aku akan tetap menunggu disini, menunggu sampai tets-tetes itu kembali jatuh ke bumi, dan menunggumu, pulang.”

Maka kujahitkan helai demi helai sayapnya yang berwarna putih gading. Membiarkannya terbang. Menantinya pulang.

Untuk malaikat penurun hujanku,
Michael(angelo(ve)).

Tetaplah terbang. Cepatlah pulang.


Entah kenapa kita jadi punya banyak event yang disimbolkan oleh sebuah kamar yang kita sewa perbulan ala mahasiswa itu.

Masih ingat kapan akhirnya kita menetapkan hari resmi jadian, Sky?

Saat aku pertama kali tidur di sampingmu, di kost-an itu.

Ingat waktu kita putus, Sky? Dan akhirnya kamu, eh kita memilih untuk pindah kost-an, dan memutuskan untuk tinggal di kamar yang berbeda satu pintu, masing-masing memiliki kamarnya sendiri, karena katamu, kamu ingin aku mandiri, dan kamu ingin sendiri.

Huff... Ingat bagaimana waktu berlalu, Sky?
Dan ketika aku mulai bisa mengemasi diriku untuk belajar menjadi sendiri, aku juga mengemas barang-barangku pergi dari kost-an itu. Pulang, menuju rumahku yang hanya memakan waktu 30 menit dari sana.

Dan lihat sekarang, kepindahanmu ke kost-an Luna. Aih, manis sekali. Living together. Artinya kalian menarik kembali beberapa kata-katamu terdahulu untuk tinggal sendiri. Ah, klasik. Dasar penakut...

Huff... Simbolisasi yang cukup unik dan menamparku. Mungkin hanya kebetulan. Mungkin. Ah, sekarang aku memulai hidup baru yang lucu. Aku harus cari kost-an baru lagi ketika aku memulai semuanya. Atau begini lebih baik? Bertahan di kamar yang sudah kutempati bertahun-tahun, berbisik pada dinding biru mudanya.


Kunci kamar bergantung rapi di handphone-ku.
Kamarmu, Sky. Dan kamar De Angelo.

Sebentar lagi aku akan menyerahkan kuncinya padamu, sepertinya begitu. Simbolisasi manis dari sebuah senyuman ketika aku memelukmu dan berdoa demi kebahagianmu.

Dasar kamu bodoh, Sky. Aku menyayangimu, dan kamu tahu itu.
Aku menyayangi Luna. Dan sialnya, tak pernah bisa benar-benar benci padanya.
Hanya saja tolong ajari dia sedikti banyak kata-kata. Aku tidak bisa membaca bahasanya!



Rumah adalah dimana hatimu berada, ya kan?
Selamat pulang ke hati masing-masing!
move. move on. moving forward.


De Angelo, tunggu aku di rumah ya...


Aku berlari-lari ke sudut tanggalan. Membeli waktu, minggu, membeli detik untuk bertemu. Peduli apa. Membeli beberapa tiket untuk melaju ke tempatmu.

Aku berlari berapi-api. Mengitung lirikan detik yang menggelitik.

Aku berlari ke sudut-sudut sepi dalam minggu-minggu kelabu.

Sayang, aku tidak ingin jadi hujan, aku ingin jadi waktu. Tapi aku hanya hujan yang mengenggelamkan waktu-pun aku tak mampu. Maka aku menggenang di sudut-sudut matamu, mengalir seperti air ketika kita bertemu, dan berpisah.

Aku akan tetap mengejar waktu, detik-detik mengabu yang membiarkan aku bersembunyi di sela-sela jemari saat kita bisa bersatu.

Aku rindu, sangat rindu. Padahal baru tadi kita bertemu.

In the living room