The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...




Beta. Begitu awalnya aku menyebutnya. Nama belakang Sky aku tambahkan kemudian ketika aku merasa dia agak mirip denganku: sering sekali tidur, diam, kadang iseng, tapi tidak suka menyerang duluan. Sayangnya, mungkin sikapnya yang terakhir itu yang membuatnya keras-kaku begitu cepat. Usianya baru dua bulan sepuluh hari. Dia mati.

Awalnya, dia hidup dengan tenang dalam satu kandang bersama saudara kembarnya, Alfa dan Gamma. Namun, setelah usia satu bulan terlewati, jenis kelamin yang sama mendorong insting bersaing keluar dari dalam dirinya. Sibling-rivalry yang cukup parah dimulai ketika Alfa mulai menyerangnya hingga pada akhirnya aku harus membeli kandang baru untuk memisahkan mereka. Setelah Beta tersingkir, Alfa pindah menyerang Gamma. Mereka pun akhirnya harus dipisahkan.

Namun, atas nama prokreasi, dan demi mengingat minimnya dana yang tidak memungkinkan aku untuk membeli kandang baru, akhirnya Gamma aku masukkan ke kandang Beta-Sky, sedangkan dia aku coba satukan dengan seekor jantan yang juga aku pisahkan sebulan sebelumnya karena diserang betinanya. Di antara ketiga saudara kembar, Beta memang satu-satunya yang diterima tanpa serangan oleh si jantan.

Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Sekitar sebulan setelah disatukan, entah kenapa mereka berkelahi hingga saling melukai. Padahal, sebelumnya tidak pernah demikian. Karena masih belum bisa membeli kandang baru, aku akhirnya menggunakan sebuah majalah bekas yang agak tebal untuk memisahkan keduanya di dalam kandang yang sama. Setelah dua hari, aku menyingkirkan pemisah tersebut, dan ternyata mereka tidak saling-serang lagi. Namun, dua hari kemudian, kejadian berulang sehingga aku akhirnya memasang pemisah yang sama kembali.

Namun, rupanya hamster memang hewan yang pintar. Dalam waktu singkat, Beta berhasil menemukan cara untuk melintasi pemisah tanpa aku ketahui. Hasilnya, saat pulang ke kost-an di malam hari dan ingin meberi mereka makan, aku malah menemukan Beta-Sky yang sedang terluka parah di sisi kandang si jantan. Kedua matanya tertutup rapat, lekat karena luka. Tubuhnya terbaring miring dan berdarah. Hidungnya koyak. Pemisah tetap berdiri tegak, tidak rusak. Aku stress.

Akhirnya, dengan menggunakan wadah bekas Popmie goreng, aku membawa Beta ke kost-an Luna untuk dirawat intensif. Beberapa waktu belakangan ini, para hamster memang cenderung lebih menurut pada Luna daripada aku. Malam itu, kami berusaha menyuapi Beta dengan air dan makanan karena ia tidak mau atau mungkin tidak sanggup melakukannya sendiri. Kami juga membersihkan lukanya dengan usapan cotton bud yang dibasahi air. Beberapa waktu kemudian, Beta-Sky mulai bisa membuka kedua matanya dan berjalan meskipun masih lemah. Dia melangkah pelan dan bersembunyi di antara kaki yang sedang kulipat duduk sila. Lalu, dia tidur.

Aku dan Luna senang melihat keadaannya yang mulai membaik. Kami pikir, sedikit-banyak, dia mulai sembuh. Sayangnya, kami salah. Setelah diistirahatkan semalaman di dalam wadah Popmie, nyawanya tidak tertolong lagi. Beta-Sky telah kaku ketika aku cek paginya. Masa hidupnya telah habis.

Luna menangis. Aku belum. Aku masih sempat menelepon untuk mengabari Hujan. Dia juga terisak di telepon. Aku masih belum. Aku merasa sedih tetapi tidak merasa ingin menangis. Namun, saat akhirnya aku menyentuh dan membelai bulu di tubuh kakunya, aku menangis. Airmataku mengalir lebih banyak dan cepat daripada Luna. Raungku lebih keras daripada isak Hujan. Akan tetapi, Beta-Sky memang sudah tidak bergerak lagi.

Saat itu tanggal 24 Juli pagi hari. Aku dan Luna akhirnya menguburkannya malam hari setelah aku pulang mengajar.

Selamat jalan Beta-Sky-ku sayang. Maaf, ya, aku tidak merawatmu dengan lebih baik. Maaf, ya. Maaf... Maaf...



July 30th, 2010
00.04 P.M.
Untuk July 24th, 2010

Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena bulan lalu, ketika aku terlambat sehari untuk mengucapkan selamat, aku berjanji untuk mengucapkan ini tepat pada tanggal 24 setiap bulan kalian bersama. Namun, banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini sehingga sulit bagiku untuk menarikan jari-jari di atas keyboard laptop dan mengetikkan ucapan selamat bagi kalian.

Happy 1st Monthliversary for Hujan & De Angelo.

Maaf, ya, terlambat hampir seminggu. Meski begitu, doaku selalu untuk kalian berdua. Semoga bisa terus bersama selama yang kalian bisa. Semoga bisa lebih toleran dan sabar satu sama lain. Lebih terbuka dalam berkomunikasi, sambil tetap memperhatikan diksi. Selalu ingat, ada sesuatu yang mungkin kita anggap penting, tetapi dianggap remeh oleh orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Hal yang sama bisa muncul dalam hubungan. Oleh karena itu, dalam usaha mempertahankan kejujuran, perlu tetap ada kehati-hatian dalam bertingkah dan berucap. Hubungan akan benar-benar menjadi hubungan jika dan hanya jika ada stimulus dua arah. Jadi, usahakan semuanya tetap bisa seimbang. Jika yang satu bisa terbuka menunjukkan dirinya, yang lain juga harus berusaha. Jika yang satu boleh marah sesukanya, yang lain juga perlu diberi kesempatan mengeluarkan kekesalan hatinya. Jika yang satu tidak senang pasangannya dekat dengan orang tertentu, dia pun perlu introspeksi dan mengevaluasi dirinya sendiri.

Seorang pengunjung yang baik berkata bahwa entah kenapa dia merasa aku meragukan hubungan kalian. Bagi aku, itu tidak benar. Aku tidak pernah meragukan hubungan kalian. Tidak pernah meragukan bahwa kalian bisa bersama. Bahkan, aku mungkin orang pertama yang bisa melihat sedikit lebih jauh di depan bahwa pada akhirnya kalian akan jadian, sejak Hujan menceritakan tentang De Angelo untuk pertama kalinya. Hanya saja, sebagai seseorang teman baik yang telah mengenal Hujan cukup lama, aku pikir aku tahu bahwa menjalin sebuah hubungan, terutama hubungan yang berimbang itu memang sulit. Apalagi dengan adanya jarak yang jauh. Perlu usaha, kesabaran, kehati-hatian, empati, toleransi, keikhlasan, dan kesiapan yang besar. Padahal, hanya hubungan berimbang itulah yang bisa bertahan lama.

Meskipun demikian, bukan berarti semuanya tidak mungkin. Selama kalian mengusahakan semuanya dengan baik, saling mendengarkan, baik kata yang tersurat verbal maupun yang tersirat nonverbal, kalian tidak perlu peduli kata-kata orang. Semuanya akan bisa dijalani dengan baik. Aku percaya itu.

Dan doaku. Selalu. Untuk kalian berdua.



July 30th, 2010
11.10 A.M.
Untuk July 24th 2010


Satu.
Satu selalu jadi awal mula. Satu selalu jadi angka yang diagungkan dalam gema. Dan disini juga ada aku, memulai menuliskan halaman pertama sebuah cerita. Dari sebuah kata. Dari sebuah nama.

Satu adalah angka kecil yang menggema begitu kencang. Satu adalah kamu dan aku. Satu adalah kita. Genggam tangan yang menyatu. Dua bibir yang bertemu. Satu.

Kita baru saja memulainya. Berjalan langkah demi langkah, satu demi satu.

Satu adalah aku. Satu adalah kamu. Satu adalah cinta yang pelan-pelan dirajut dengan benang-benang tipis berwarna putih.

Satu adalah senyum kecilku. Sebuah kecupan manis untuk bangkit dari ke-terpuruk-an. Satu hari di kotaku dan satu minggu di kotamu.

Satu cinta. Dengan satu juta bentuk dan rupa.

Sekarang aku menungkup tanganku menjadi satu. Duduk bersimpuh dan berdoa dalam tunduk harap yang khidmat. Mengucap doa, melafal satu nama. Nama-mu.


Happy 1 month anniversary, De Angelo.
Terima kasih masih ada disini....

Mychaelangelove. My Michael, My Angel. My Love.

Sky.
Terus terang aku ragu menekan tombol publish di tulisan ini. Mengetikkannya pun ragu. Namun menuliskan kejujuran memanglah pahit, dan kadang-kadang kebohongan memang lebih manis. Namun aku ingin menenggak pil pahit dan mengunyahnya perlahan, agar setelah itu, aku bisa mengecap rasa manis dengan benar.


Sky. Aku gaung tiap membaca namamu. Aku gamang tiap menatap matamu. Aku berkaca-kaca tiap mendengar suaramu. Karena kamu masih disini. Bayangkan! Kita masih ada di rumah yang sama. Masih mengetikkan berberapa kata, masih saling bercerita, di tempat yang sama! Dan segala puja puji syukur aku masih panjatkan, bersama tutur doa yang terus kulafalkan.

Kamu tidak mungkin tidak tahu triangular theory of love, Stenberg. Kita harus sudah bisa menyimpulkannya di luar kepala! Terima kasih telah menjalani segala bentuk cinta dan kasih sayang dengan cara yang berbeda. Terima kasih telah menjadi teman, sahabat, kekasih, dosen, tetangga, mantan, saudara, adik, kakak, all-in-one buddies. Bahkan matras, tangga, parasut, galah, payung maupun batu loncatan...

Aku masih sangat menyayangimu Sky. Rasa sayang yang berubah bentuk dengan sangat perlahan tapi cantik. Aku sangat ingin memelukmu saat ini juga dan berkata, “Selamat berjuang, sayangku.”

Sayang, karena kamu memang selalu kusayang. Karenanya aku harap masih ada peluk erat yang biasa kamu hadirkan. Kuharap masih ada senyum manis yang menggembang dari wajahmu yang semakin lama semakin cantik.

Banyak janji-janji kita dulu, Sky. Tapi aku benar-benar berharap kamu akan mengingat janji kita yang paling aku suka. Kita akan bertemu 8 atau 10 tahun lagi, dengan keluarga masing-masing. Kamu bisa melihat betapa cantiknya anak-anakku, persis seperti mamanya. Dan aku bisa melihat kamu, kali ini, dan memperkenalkan kamu pada anak-anakku.

Hanya itu saja, sekali itu saja. Dan kehidupan akan berjalan seperti biasa. Kamu dengan kehidupanmu. Aku dengan kehidupanku. Hanya lafal doa demi kebaikan masing-masing.

Sebenarnya aku mau protes dengan bentuk kasih sayang yang baru ini. Bukan, bukan mau meminta lebih dari hubungan saudara. Kamu tahu rumah manapun selalu terbuka untukmu. Termasuk rumahku. Kamu selalu menjadi anak kesayangan Mama di rumah. Aku mau protes karena sekarang aku harus memanggilmu Kakak!

Selamat berjuang, Kak. (Cocok tidak, ya? Biasanya aku yang jadi kakaknya...)
Semoga kamu suka dengan gelar barumu!

Aku pamit dulu...
Pamit mau pacaran dulu, ya Kak!
De Angelo sudah menunggu di depan rumah ini.

Ragu. Ya. Beberapa kali aku sempat ragu apakah menuliskan semua ini dan menge-post-nya di blog adalah keputusan yang bijaksana. Namun, akhirnya aku tetapkan bahwa aku ingin memberitahukan fakta kecil ini pada banyak orang. Tanpa peduli apakah di antara mereka ada yang ingin atau tidak ingin tahu.


Aku sedang menyukai seseorang.


Sangat menyukai. Menyayangi. Bahkan telah belajar untuk mencintainya selama beberapa bulan ini.
Bukan. Bukan Hujan. Aku pernah bilang pada Hujan, dan mungkin juga di blog ini bahwa I take no rebound. Kata-kata itu sempat aku langgar beberapa kali dengan memberi Hujan kesempatan lagi dan lagi saat aku memaafkan dan melebarkan rentangan tanganku untuk menerimanya kembali. Namun, kali ini aku sudah tidak akan melakukannya. Hujan sekarang telah berjalan di depan dengan seseorang yang katanya mencintainya. Seperti apapun naik-turun hubungan yang dijalani, itu kepentingan mereka yang sudah seharusnya tidak aku campuri lagi.

Bukannya aku sudah tidak menyayangi Hujan. Aku masih sangat menyayangi dia, dan justru karena rasa sayang yang begitu besar itulah aku tidak lagi membebani langkahnya dan memilih mengayunkan langkahku sendiri. Aku masih akan menjadi tangan bersahabat yang terulur ketika dia membutuhkan bantuan atau bahu untuk menangis. Namun, tidak akan lagi menjadi matras untuk menahannya ketika jatuh, terutama jika jatuh itu merupakan konsekuensi yang harus dia tanggung atas keputusan yang diambilnya sendiri. Aku ingin tetap menjadi sahabat yang baik. Tidak lebih.

Mengapa? Karena seperti yang sudah aku katakan tadi: aku sedang menyukai seseorang. Dia selalu ada untukku, bahkan di banyak saat aku tidak ada untuknya. Dia menjadi matras yang menangkap ketika aku jatuh, bahkan meski aku tidak pernah menjadi matras yang menahan jatuhnya. Dia adalah wadah yang menampung airmataku saat dia sendiri menyembunyikan airmatanya. Berusaha mengobati sakitku, meski nyaris tak pernah ingin aku tahu sakitnya. Dan dengan sabar dia menunggu hingga aku bisa bersamanya. Bahkan setelah aku putus dengan Hujan hingga saat ini, dia masih menunggu.

Dia tidak pernah ingin mengambilku dari Hujan. Tidak pernah bermaksud demikian. Tidak ingin melakukan demikian. Oleh sebab itulah, bahkan hingga kini, di saat aku sebenarnya bukan milik siapa-siapa lagi, dia juga tidak meraihku. Dia masih menunggu. Dia tidak ingin aku membohongi diriku sendiri dan menghampirinya di saat pikiranku masih dipenuhi oleh kenangan dan bayangan bersama Hujan. Dia tidak ingin menjadi pelarian dan aku pun tidak ingin menjadikannya pelarian. Maka, meski telah beberapa kali aku memintanya menerima cinta yang kupikir telah tumbuh, berkali-kali itu pula dia menolak, dan tetap menunggu.

Apa yang sebenarnya dia tunggu? Dia menunggu hingga aku siap. Hingga aku sampai di ujung tangga. Hingga aku bisa benar-benar bangkit dari jatuhku. Hingga aku bisa benar-benar menjalankan dan menunjukkan apapun yang aku katakan. Dia menunggu. Hingga aku dapat benar-benar melepas remah-remah kenang, bayang, dan rasa yang masih aku genggam. Hingga saat ku bisa benar-benar memeluknya tanpa disibukkan oleh pikiran yang melayang-layang. Menunggu hingga aku siap. Hingga dia pun siap.

Dia dan penantiannya mendorong aku untuk terus berjalan ke depan. Terus naik hingga anak tangga teratas. Tidak peduli seberapa berat beban yang mengikat kaki, tangan, bahkan seluruh tubuh. Dan itulah yang sedang aku lakukan saat ini. Agar aku bisa tiba di puncak tangga sebelum kesabaran dan waktunya untuk menunggu habis.

Aku sedang menyukainya. Sedang sangat menyukainya.


July 15th, 2010
3.35 P.M.

Keeps moving on!



Tiga kata sederhana itu laksana tasbih yang ku-dzikir-kan di setiap langkahku. Ya. Meskipun waktu telah sekian lama berlalu, aku saat ini masih berada dalam proses. Proses apa? Ya, proses moving on itu tadi. Proses menjadi diriku sendiri yang baru dan lebih baik daripada sebelumnya. Sulitkah? Tentu saja. Jika tidak, tentu saat ini aku sudah berada di garis finish dan menikmati hasil. Bukan masih berproses.

Aku juga ingin bisa maju. Hujan telah membuktikan bahwa dia mampu. Luna bahkan sudah lama menjelma Pluto yang, konon katanya, merupakan satelit yang melepaskan diri dari orbit planetnya. Aku ingin bisa seperti mereka berdua. Aku tidak ingin terus tertinggal.


Aku ingin maju. Meninggalkan masa lalu. Namun, tidak melupakannya. Kenapa? Karena masa lalu terlalu berharga. Terlalu mahal. Tidak terhitung banyaknya tetes airmata, tikam sakit, dan teriak amarah yang telah kukeluarkan untuk mendapatkannya. Masa sekarang mau dibuang begitu saja? Selain itu, yang lebih penting, masa lalu tidak boleh dilupakan agar bisa dipelajari. Semua orang tentu tahu bahwa masa lalu tidak mungkin diperbaiki. Hal yang bisa dilakukan adalah belajar dari kesalahan di masa lalu dan berusaha tidak mengulanginya di masa depan. Namun, saat sebagian besar orang hanya bisa berkata-kata dan berteori tentangnya, aku berusaha menjalankannya. Walk the talk! Tidak mudah memang. Namun, bukannya tidak mungkin bisa, right?

Maka, di sinilah aku. Terus men-dzikir-kan mantraku sambil melangkah menaiki tangga kehidupan. Harus terus naik, sebab tangga turun takkan membawaku ke tujuan akhir. Di sana, entah sejauh apa, ada seseorang yang sedang menunggu dengan sepotong cinta di tangannya. Wanginya telah memanggil-manggilku sejak lama, namun mungkin aku yang terlalu bodoh sehingga tidak berusaha menggapainya.

Di sinilah aku. Menaiki tangga kehidupan sambil terus men-dzikir-kan mantraku. Masa bodoh lah kalau ada yang bilang aku sesat. Yah, mudah-mudahan saja tidak ada ormas yang lantas berdemo dan mengobrak-abrik kamarku. Hei, pembawa cinta! Tunggu aku, ya! Entah berapa lama baru aku bisa sampai ke tempatmu. Entah berapa langkah lagi hingga aku bisa menemukan dan menatap matamu. Tapi, tunggu, ya! Aku sekarang sedang berusaha, lho!


July 5th, 2010
2.13 A.M.


Aku sudah pasti akan menuliskanmu, di sebuah lembaran yang dikata entah di dalam gulungan perkamen yang kusimpan baik-baik di hatiku... Bukan, ini bukan lagi sebuah seserahan suci perjanjian manis itu. Ini adalah sebuah... Umm... Entahlah... tapi mungkin bahkan belum layak diartikan sebagai hadiah.

Suatu hari aku menengadahkan tangan ke atas langit ketika hujan mulai merintik. Menciumi wangi hujan yang singgah ke paru-paruku. Yang aku ingat hanyalah sekali lagi malaikat memberikan kemurahan hatinya padaku... Ia menunaikan tugasnya dengan baik. Menurunkan hujan.
Namun bukankah ini musim kemarau?
Ya, ini adalah musim kemarau dimana kering kerontang mulai menjalari hari-hariku yang pelan-pelan digerogoti sepi. Mikha’il – atau yang kausebut Michael sepertinya sedang beristirahat dari kerjanya menurunkan hujan – di hatiku.

Maka ketika pintu itu diketuk, akau hanya berteriak kesal. Bukan. Bukan Mikail yang datang mengetuk dengan sayap rupa-rupa cahaya. Hanya seseorang mengaku malaikat penjaga yang bahkan warna sayapnya pun tak putih sempurna. Broken white, katanya setelah kutanya.
Tidak. Sayapnya tidak sehalus sutra. Dan tak dibentangkannya pula lebar-lebar menuntut angkasa. Beberapa bulunya telah koyak dan luka. Lecet disana-sini. Guratannya masih dapat kau sentuh dan kau lihat. Sinar matanya meredup ketika aku mulai bertanya dengan gusar.

Ia terlihat amat lelah dengan wajah pucat yang menunduk pasrah. Kata-katanya singkat. Sangat singkat. Terputus-putus. Seringkali kami hanya larut dalam jeda. Diam.
Kerut di dahinya mulai hilang ketika aku mulai menyapanya. Senyumnya yang merekah malu-malu membuat ia seperti anak kucing lucu dengan mata berbinar, namun tetap gagah seperti singa.

Maka sejak itulah hujan-hujan kecil yang rintik perlahan mulai turun menetes di hatinya. Membasahi sudut-sudutnya yang kering, melindungi aku yang mulai bisa tertawa dan berlarian, memelukku dari dingin yang menusuk atau panas yang membakar.

Ia datang setiap hari. Setiap pagi mengetuk pintu hatiku dengan tersenyum manis. Rekah-rekahnya masih bisa kau lihat di ujung bibirnya saat ia mengucap namaku. Begitupun saat aku berusaha mengeja namanya, yang berasa hanyalah senyum paling manis yang bisa kuberikan padanya.

Mon ange gardien – my guardian angel.

In the living room