The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

dan... bagaimanapun aku marah padanya, entah kenapa aku tak pernah bisa melepaskan ia dari pelukku.

Tuhan, aku mau berdoa

Tuhan, aku ingin punya imam. Aku ingin punya imam saat aku bersujud kepada-Mu, saat aku mengangkat kedua tanganku dan menundukkan kepalaku saat berdoa, dan saat aku mencium tangan lembutnya sebelum melipat sajadahku. Atau saat menciumi kepala anak-anakku yang masih belajar mengeja A-Ba-Ta

Tuhan, aku ingin bangun sahur lebih awal untuk memasakkan makanan untuk suamiku dan anak-anakku. Aku ingin sibuk menyiapkan tajil sebelum suamiku pulang kerja, dan saat anak-anakku sibuk berebut remote TV menonton film kartun kesukaan mereka.

Aku ingin bisa melihat mereka manyun kelaparan saat melihat detak-detik jam yang melambat. Ingin menyiapkan sajadah sebelum mereka berlarian menuju masjid di dekat rumah untuk tarawih.

Ingin membangunkan mata-mata kecil yang menahan kantuk pada jam 3 pagi, dan menyuapi mereka perlahan-lahan, sampai menidurkan mereka kembali ke kamarnya masing-masing.

Aku ingin menemani mereka mengangkat bahan makanan --beras, minyak, mi, gula, kecap,
yang setiap tahun dibagikan untuk mengajarkan mereka berbagi dengan tulus dari rumah ke rumah.

dan mengajak mereka membuat kue kering, sambil mengganggu mereka dengan tepung dan gula di dekat pipi mereka yang bulat.

Aku mau mengajak mereka mengisi ketupat, meskipun beras berserakan dimana-mana, dan membangunkan pagi-pagi untuk menyantap makanan sebelum sholat ied berlangsung.

Aku akan menggandeng mereka pulang, dan membiarkan mereka mencicip kue lebaran satu per satu, setelah mereka menciumi kedua orangtuanya dan meminta maaf, seraya aku membelai lembut rambut mereka dan menciuminya tak henti.




Tuhan....


aku tak ingin mengamini doaku sendiri.

Luka di tangan karena pisau, luka di hati karena kata

Akh, aku payah.

Aku lebih senang ditampar daripada harus mendengar kata-kata kasar.




Puasa-buka-ngen***-besoknya puasa lagi.
Berasa suci aja.
Munafik.
Piaraan-piaraan kamu.
Kamu harusnya malu.
Muak.
Kamu memang... artis. 
Silakan olahraga ranjang bersamanya.
Good job, go get him, play with his d*ck
Kamu ga ada usaha. Lagi-lagi.
Maaf aku ga denger. Mungkin maknyanya ketutup sama segala jawaban dan argumen kamu.
Kamu ga perlu tau
Ngajak aku ke dance floor, dan aku mabok, ga tau lagi ngapain. Atau ngajak aku ke kamar.
Bullshit.
Putusin aja
Bajingan



 dan ketika semua kata-kata itu keluar dari bibir seseorang yang selalu aku sayang...

rasanya seperti...













entahlah...

Kalender di meja kerjaku sudah melapuk. Ah, sudah berapa lama aku tidak memeriksanya?
Bulan Juli sudah datang, waktu sudah terlalu lama mempermainkan aku rupanya...

Badai bulan Juni sudah berlalu. Mungkin beberapa tanaman akan koyak. Mungkin beberapa bahkan sudah tidak terselamatkan
atau mungkin beberapa benih akan tumbuh setelah dibawa badai jauh kemana

Aku ingat kalender harian di rumamu, kalender kertas zaman dulu dimana kamu harus menyobek halamanya setiap pergantian hari.
Sudah setahun, dan aku berupaya masih dengan setia menyobek rindu yang makin hari makin menumpuk dengan pekerjaan setumpuk.

Kamu ingat bunyi gemuruh yang tiba-tiba datang di tengah siang yang terik?

Rasanya seperti rindu yang bisa tiba-tiba menusukmu dari belakang.
Kamu hanya diam, membiarkannya menancap perlahan sembari merasakan perihnya perlahan.
Mungkin aku bisa mati karena merindumu.
Hanya karena merindumu.

Sudah setahun berlalu, sayang.
Apakah aku jadi lebih pemarah?
Apakah aku terlihat lebih cuek?
Atau kamu tidak bisa menemukan alasan kenapa aku menarik di matamu?
Apakah rasa melapuk seperti kertas kertas yang makin bertumpuk?
Atau tidak ada hal-hal kecil yang manis setiap hari?
Atau aku hanya tidak mengerti apapun tentangmu?
Mungkin aku tidak secantik waktu pertama kita bertemu, setahun lalu?

Aku menekan-nekan kepalaku yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menahan tangis ketika harus melambai pergi dari pelukanmu?

Sayang, ini bukanlah surat yang sempurna yang dibangun dengan kata-kata mutiara.
Aku tidak bisa.

Tidak bisa tidak mencintaimu.


Setahun lalu, genggam yang berbeda, cinta yang sama, bahkan lebih besar setiap harinya

In the living room