The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Hari ini sebenarnya sangat menyenangkan, jika saja tidak ditutup dengan malam yang mengesalkan.

Sore tadi, setelah menyelesaikan sejumlah keperluan, aku memutuskan untuk buka bersama dengan beberapa teman di sebuah resto di Atrium. Meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh serta terpaksa buka di atas bus transjakarta, kami cukup terhibur dengan menu porsi besar yang enak di resto tujuan...:-D


Dengan perut yang masih agak kekenyangan, kami memutuskan untuk pulang dengan menyusuri kembali rute yang kami ambil menuju Atrium. Di atas bus transjakarta yang tidak terlalu penuh, kami pun berdiri. Namun, salah seorang teman kemudian merasa tidak enak badan. Entah karena kekenyangan, entah karena sejak semalam dia memang sempat demam, teman itu merasa agak pusing dan mual.


Ketika beberapa orang turun, kami pun mendapat tempat duduk. Nah, di sinilah insiden tidak menyenangkan itu bermula.


Begitu mendapat tempat duduk, teman yang merasa tidak enak badan itu pun mengambil posisi bersila. Mungkin itu memang posisi ternyaman baginya saat itu. Namun, melihat hal tersebut, seorang petugas bus berbaju koko yang berdiri di dekat pintu datang mendekat dan menegur. Aku, yang berpikir bahwa mungkin posisi duduk si teman memang dapat mengganggu penumpang lain, ikut memintanya menurunkan kaki.


”Turunin aja kakinya.”


Aku pikir, segalanya akan berakhir dengan baik karena si teman langsung mengubah posisi duduknya. Sayangnya, si abang-abang petugas busway justru melanjutkan dengan ucapan tidak menyenangkan.


”Mbak ’kan berjilbab, tapi kelakuannya tidak sesuai.”


(Catatan: kalimatnya masih ada lanjutannya. Hanya saja karena suaranya kecil, aku tidak bisa mendengar lebih banyak).


Mataku langsung melotot, siap memasang tampang nyolot. Br*ngs*k, nih, orang! Apa-apaan, sih? Kayak dirinya orang paling alim dan paling benar di dunia saja! Aku yang biasanya diam langsung mengumpat dalam hati. Jujur, aku paling tidak suka dengan orang yang membawa-bawa atribut keagamaan untuk menyindir orang lain. Ingin rasanya berteriak di depan wajah orang seperti itu: Emangnya lo siapa, sih? Ngaca dulu, Bang! Baru nyela orang lain! Sayangnya, temanku yang biasanya paling cepat emosi itu hanya diam. Aku pun menahan diri untuk tidak marah sebelum dia.


Aku tidak habis pikir. Menurutku, sebagai seorang petugas sarana dan pelayanan umum, orang itu bisa lebih mengontrol diri dan sopan. Temanku mungkin salah dengan posisi duduknya, dan tindakan dia menegur menurutku memang pantas. Namun, sambungan kalimatnya itu sangat tidak pantas diutarakan oleh siapapun, apalagi petugas layanan masyarakat seperti dia.


Ketika akhirnya bus transjakarta tiba di tempat tujuan, aku berusaha turun lewat pintu yang lain. Malas banget kalau harus turun melewati abang-abang busway yang itu! Namun, si teman malah mengajak turun melalui pintu yang dijaga olehnya. Lalu, sambil menjejakkan kakinya di terminal bus, si teman tidak lupa memberi tip pada petugas itu.


”Mas, habis buka puasa omongannya nggak dijaga, ya?”


Aku langsung nyengir puas.



August 28th 2009

11.15 P.M.

5 loves:

lihat siapa yang tertawa belakangan!

hihihii...
sabarr bang...
>.<

Hajar Sky
-Nico-

mulut tak bayar insurance mungkin...

ahahaha.. wajar deh kalo orang lebih enak buat ngeritik org lain drpd ngeliat sisi negatif dirinya sendiri. harusnya kamu/temen kamu ngasih dia KACA. hahahaha.. :D

nice blog, thanks for allowing me visiting your page. :)

In the living room