Kelas dua SMP, di sebuah bimbingan belajar.
Mauren: Oh, ini yang namanya Bumi? Yang lagi ngejar Bulan yah?
Bumi: Iya.
Mauren: Udah pernah ngerasain bibir Bulan blom? Aku udah. Enak lho, rasa coklat. Hehehe…
Bumi: …
Sepenggal percakapan tersebut merupakan awal dari perkenalan Mauren dengan Bumi sekaligus awal dari keraguan Bumi akan orientasi seksualku.
* * * * *
Mauren. Ia adalah murid pindahan dari Jogja saat aku tengah duduk di kelas lima sekolah dasar. Tubuhnya agak gempal, kulitnya putih, dan rambutnya lurus sebahu. Dia pintar, supel, dan periang. Di hari pertamanya di sekolah dan kelasku, kami berkenalan. Kami berteman. Tak lama, kami pun menjadi dekat. Semakin dekat. Sangat dekat. Dengan lugu, aku menyebutnya sahabatku. Namun dia menyebutku lain. Pasangan lesbinya, itulah yang ia labelkan padaku. Tak mengerti arti kata tersebut, aku pun biasa saja menanggapinya. Bahkan tak jarang aku pun memperkenalkan dia pada orang lain dengan embel-embel tersebut.
Mengingatnya, turut membawa alam imajiku pada tempat favorit kami. Gardu reot di belakang sekolah kami. Hampir setiap jam istirahat sekolah kami mendatangi tempat tersebut bersama. Sambil saling bergenggaman tangan kami berjalan menuju dan meninggalkan tempat tersebut. Tawa, canda, cerita, bahkan tangis kami berdua telah menghiasi gardu tersebut lebih kurang dua tahun lamanya. Hah… masih kah gardu tersebut ada di sana?
Dua tahun bersama, tak satu pun konflik menghampiri hubungan kami. Tak ada sama sekali. Namun perpisahan kami saat lulus sekolah dasar tersebut, tak ayal sedikit demi sedikit menggerogoti kedekatan dan hubungan kami. Hingga kini, lebih kurang enam tahun sudah kami kehilangan kontak.
* * * * *
Mengenai pernyataan Mauren kepada Bumi, tak banyak yang dapat kuceritakan. Kenangan itu terlalu lama tersimpan di dalam memoriku dan berkasnya terlalu lapuk untuk kuuraikan kembali.
Seperti yang telah kuungkapkan sebelumnya, tak lama sejak perkenalan pertama kami di kelas lima SD, kami menjadi dekat, semakin dekat, dan sangat dekat. Karena itulah hampir tak ada batas antara kami saat sedang bercengkrama.
Suatu hari saat jam istirahat, kami hanya berdua di kelas. Aku yang sedang duduk di bangkuku, dipanggil oleh Mauren yang berjongkok di antara bangku pertama dan kedua dari pintu kelas. Sebatang coklat tersemat di bibirnya. Ia memintaku untuk menggigit coklat itu pada ujung satunya. Aku menurut. Coklat semakin pendek. Ia memintaku untuk menggigit coklat itu sekali lagi. Tak curiga apapun, aku pun kembali menurut. Tepat saat bibirku menyentuh ujung oklat itu, dengan cepat dan tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya kearahku. Aku terkejut. Shock. Mematung. Keterkejutanku yang luar biasa membuatku tak dapat merasakan apakah bibirnya telah menyentuh bibirku. Apakah kami telah berciuman? Hanya coklat yang melumer dalam mulutkulah yang terasa. Manis. Melihat ku yang mematung, Mauren tertawa nakal kemudian meninggalkanku begitu saja di kelas itu. Aku masih mematung. Dasar jail. Mauren yang jail. Hanya itu yang terpikirkan olehku seraya menenangkan diri.
Hingga kini, aku tak tahu apakah bibir Mauren yang tipis merah muda itu sempat menyentuh bibirku saat itu.
Mauren. Kamu dimana? Tak dapat kupungkiri, saat aku mengingatmu, aku merindukanmu, Mauren. Sahabatku. Pasangan lesbi pertamaku.
8 loves:
post kamu buat aku tersenyum..
senang bisa membuatmu tersenyum..
:)
tq my dear..
salam kenal dari saya..
-lin-
salam kenal juga, Lin..
wah, manis... mau nyoba juga dong, luna
dear, aku ga mau nyaingin manisnya bibir sky...hehehe..
dan lagi kalo kamu ketagihan gimana?kan repot..nyium pipi aku aja uda buat kamu ktegihan kan???hahahaha...
piiis, sky...
pasangan lesbi pertama???berarti sekarang udah ada yang ke dua or yang ketiga dunks,,,
wah..wah...dari SD yah....hebat...
Heemm... Aq jg pernah punya temen kecil begitu..
Love thiz..
Posting Komentar