The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

Selasa pagi hari . Pagi yang sudah memancarkan hangat sinar matahari. Hari pertama kuliah semester pendek. Agak malas ngampus, karena memang seharusnya libur kuliah selama tiga bulan. Kereta ekonomi yang kutumpangi tidak terlalu penuh, mungkin karena sudah terlalu siang untuk orang yang bekerja dan kuliah. Namun, aku tidak sedang terburu-buru pagi ini. Kuliah hari ini baru dimulai jam 10. Maka kunikmati dengan santai pagi yang agak panas ini.


Kali ini aku benar-benar ingin bersantai. Hmm, bermalas-malasan lebih tepatnya. Sesampainya di stasiun tujuan, aku berencana untuk menumpang bis yang beroperasi di dalam kampus untuk menuju kostan. Lebih baik aku menunggu lama bis itu di halte kampus, daripada harus menambah keringat karena jalan kaki menuju kost.


Namun, sepertinya apa yang aku alami di pagi ini bukan sebuah kebetulan, tapi memang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.


Wajah yang sudah tiga tahun tidak kulihat, tidak kuingat, tidak kupuja. Wajah yang dulu tidak akan kuabaikan walau Cuma sehari. Percaya tidak percaya aku melihatnya pagi ini di halte kampus. Selama beberapa detik aku tidak percaya pada sosok yang kulihat. Tapi, hati dan bibirku kompak mengucapkan namanya saat aku yakin itu memang dia. Dan kulihat dia juga melihat sekilas kearahku. Ekspresi mukanya menunjukan bahwa dia masih ingat padaku. Kulihat bibir kecilnya menyebut namaku dengan suara berbisik.


Dengan perasaan sebagai teman lama, tentu saja aku menyapanya.


Aku : Ya ampun, Rien ! (sebenarnya tanganku ingin menjabat tangannya, tapi kutahan)


Rien : Hei, Dimii.. Lo kuliah dimana?


Aku : Gw kuliah di p***o. Lo dimana, Ri?


Rien : Gw di p****k


Aku : ooo..ngambil apa?


Rien : akuntansi


Aku : eh, udah libur juga ? lagi SP ya?


Rien : wah boro-boro deh. UAS aja belum. Lo udah libur ya?


Aku : Hahaa.. iya nih. Ini gw mau SP (bingung mau bertanya apa lagi, padahal masih ingin ngobrol lama)


Eh, gw duluan ya. Gw kesana dulu. Daagh..


Rien : oo iya. Daagh.


Wah, klo boleh jujur, dia semakin cantik. Bukan karena mirip Dian Sastro, seperti yang aku pikirkan dulu. Walaupun dia semakin cantik, tetap saja aku tidak akan mungkin ada perasaan lagi padanya.


Selama dua tahun, saat sekolah menengah pertama, aku benar-benar mengidolakannya. Aku ingat alasan mengapa aku bisa mengidolakan seorang anak SMP dan sama sekali bukan artis itu: karena dia mirip dengan Dian Satro, artis pujaanku saat itu.


Saat itu, apa yang aku lakukan pada Rien dan perasaanku padanya, aku anggap itu semua normal, hanya sebatas nge-fans. Cuma nge-fans, titik. Tidak lebih. Padahal, apabila dipikir dengan akal sehat, semua tindakanku dan perasaan ku lebih dari sekedar rasa kagum seorang penggemar pada idolanya. Aku mengumpulkan foto-foto dirinya yang aku minta dari teman-temanku (maklum waktu itu blum zamannya kamera digital). Saat dia berulang tahun, Aku memberinya hadiah boneka beruang yang memegang tanda love dan kubungkus dengan kertas kado bermotif hati. Aku merasa bahagia sampai membuatku melayang saat dia tersenyum padaku. Aku selalu kangen padanya, ingin tau kabar dan kegiatannya. Aku sering mengirim sms padanya untuk mengajak ngobrol, namun tidak pernah dibalas. Aku misscall handphone-nya setiap berapa menit karena aku kangen padanya. Aku juga sangat bangga sampai aku ceritakan pada teman-temanku bahwa aku telah mentraktir dirinya dan temannya. Saat akan naik kelas tiga, aku berdoa agar bisa satu kelas dengannya. Ajaibnya, doaku terkabulkan.


Semua tindakan itu sukses membuat gosip tentang diriku. Anak-anak gaul yang kerjanya nongkrong dan sering kena hukuman karena baju ketat dan rok pendek itu memberiku label “lesbian”.


Lesbian. Lesbian. Lesbian.


Sungguh sakit perasaan ku saat itu. Harga diri sudah hilang. Nama baik sudah tercemar. Siapa yang ingin menjadi lesbi? Siapa yang ingin digosipkan lesbi? Aku kan cuma nge-fans. Ah, tapi percuma. Aku bilang seperti itu pun mereka tidak akan berubah pikiran.


Semua tindakanku itu memang sungguh-sungguh bodoh. Tolol. Gila. Sampai pada akhirnya aku benci padanya. Perasaanku kembali netral, dan aku bisa berpikir dengan jernih kembali. Jika mengingat masa-masa itu, aku jadi malu. Kakak curiga padaku setelah kejadian itu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubahku. Sungguh bodoh. Dulu aku memang belum sadar bahwa aku ini lesbian...atau jangan-jangan pikiran lesbian ini terbentuk setelah aku diberi label lesbian?


Pengalaman itu aku jadikan sebagai pelajaran. Untuk selanjutnya aku harus lebih bisa menjaga emosi dan perasaanku pada seseorang.Jangan sampai melakukan tindakan bodoh karena dibutakan oleh pesonanya.


Pertemuanku dengannya pagi ini menarikku sejenak ke masa lalu yang tidak mungkin aku lupakan.


Semuanya hanya tinggal kisah. Aku sudah menamatkannya. Aku tidak akan membuat kelanjutan kisah lama itu.

1 loves:

hahaha...
akhirnya bertemu lagi dengan "dian sastro"???nice...

ga sekalian cerita tentang kamuflasemu dimii???

In the living room