The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

Belum genap satu setengah bulan kertas kalender tersobek sejak hari pertamaku bekerja. Part-time memang hitungannya. Magang. Harusnya bukan menjadi hal yang utama dalam hari-hariku. Namun, tetap saja aku jalankan dengan usaha 115% dari yang seharusnya. Setidaknya, aku pikir begitu.

Pekerjaan itu awalnya terdengar mudah. Cukup dengan datang dua-tiga kali seminggu, berbagi pengetahuan dengan beberapa orang yang hampir semuanya jauh lebih tua daripada aku, lalu...voila! Uang tambahan sudah ada di dalam kantong.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Tempatnya cukup jauh. Gajinya cukup kecil. Meskipun setelah dipotong ongkos transport, jajan, dan sedikit ini itu masih ada untungnya, tetap saja rasanya tidak sepadan. Apalagi, sampai hari ini belum satu sen pun masuk ke dalam saku.  

Face it, Girl! You've got to work your butt off before you can get the freaking money!

Keadaan itu diperburuk dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Tidak peduli berapa banyak pun boardmarker yang dipinjamkan, hampir semuanya nyaris kosong ketika sampai di tanganku. Belum lagi penghapus papan tulis yang harus di-share dengan kelas sebelah. Absen yang kolomnya tidak sesuai, siswa yang dimasukkan di tengah-tengah level, panggilan untuk menggantikan pengajar lain di saat-saat terakhir...Arrgghh...rasanya ingin teriak saja.

Namun, entah mengapa aku tetap saja datang tiga kali seminggu. Aku juga tetap mengetik dan meng-copy berlembar-lembar kuis setiap minggu. Tetap memeriksa dan memasukkan nilai-nilai kuis meski tidak diminta. Tidak pula aku bolos meskipun uang di dalam saku benar-benar hanya cukup untuk bolak-balik naik angkot hari itu. Mengapa?

Mungkin semua itu karena keberadaan mereka yang tetap menunggu meski kadang aku telat hingga dua puluh menit. Mungkin pula karena senyum dan tawa yang hadir setiap kali aku melucu di tengah-tengah keseriusan mereka memperhatikan ucapanku. Bisa juga karena usaha orang-orang yang tadinya berada jauh di bawah untuk naik ke atas, tetap mencoba meski seringkali salah.

Jujur, sebelumnya aku tidak pernah mencita-citakan pekerjaan ini. Hal terjauh yang pernah aku pikirkan hanyalah menjadi guru BK di SMA almamaterku jauh di sana. Aku tidak pernah berpikir akan mau atau benar-benar menyukai profesi ini. Akan tetapi, setelah merasakannya sendiri, aku pikir aku mengerti. Gaji yang kecil, lelah yang besar, kerutan di dahi ketika tidak satupun orang mengerti mengenai hal yang telah berusaha dijelaskan berulang-ulang...semua itu tidak ada artinya dibandingkan sebuah ucapan terima kasih tulus dari dasar hati. Tidak perlu kata. Sekedar senyum atau sinar mata pun sudah cukup untuk menyampaikannya.


Terima kasih untuk semua guruku. Baru akhir-akhir inilah dapat aku hayati semua jasamu...


July 10th 2009
9.35 P.M.

4 loves:

gue sebenernya bingung mau komen apa.
yaa, tapi lo tau lah curahan hati gue waktu kita ngobrol di kosan gue.

hmm.
walaupun gue mengalami hal yang sama (mengerti bagaimana susahnya jadi guru), tapi gue justru sadar itu bukan bidang gue banget.

Hahaha... Setiap orang punya minat dan kesan masing2, Kawan.
Tidak apa2.
Ini hanya seperti saya bercerita penuh semangat tentang ikan asin sementara kamu lebih suka spaghetti carbonara.
Hehehe...

SIAL.
bukan berarti gue gak suka makanan Indonesia yaa... hahaha.

sabar yaa... di akhir nanti kita toast pake wine... gaji pertama kamu :)

In the living room