“Pikir donk, Yang!!!”
“Pake logika donk!!!”
“Ga wajar tau gak!!!”
“Kamu tuh ga punya hati!!!”
Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam benakku. Mengusik tenangku. Mengacaukan pikirku, hatiku. Muak. Muak mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya, merasuk dalam telinga dan banakku, menjelajah hingga menggerogoti hatiku. Entah sudah berapa kali kata-kata itu menghujam telingaku, pikiranku, hatiku. Entah sudah berapa lama aku menahan ketersinggungan egoku.
Kini ku sampai pada klimaksku. Aku meledak. Kuputuskan untuk tidak lagi bertahan dalam sakit hatiku ini. Sakit hati akan segala hina yang ia pernah dan sering lontarkan padaku. Aku putuskan untuk tidak lagi mengeluarkan air mata atas segala bentak yang terlontar dari mulutnya. Bentaknya yang kian lama membuat hatiku semakin ciut untuk sekedar berbicara menyuarakan isi pikiran dan hatiku. Menyesakkan dadaku dan memaksaku untuk menerima kembali luka yang ia buat.
Aku meledak. Aku meneriakinya. Ku keluarkan segala uneg yang mengganjal dalam hatiku selama ini. Ku buat ia diam untuk mendengarku, mendengar isi pikiranku, mendengar isi hatiku. Kuungkap segala sakit hati yang kuderita karenanya. Aku menjerit. Aku menangis. Bahkan aku tertawa. Tertawa dengan air mata yang terus mengalir dari mataku. Air mata yang tak mampu kubendung. Gila. Ya… Aku menjadi gila karenanya. Ku ekspresikan segala perih hatiku hingga aku tak tahu lagi batasan waras dan gilaku, sadar dan tak sadarku. Aku pun tak peduli dengan itu. Yang aku mau hanyalah ia tau apa yang selama ini tersimpan dalam diamku, luka dalam hatiku, muak akan kata-katanya yang menggebrak jiwaku.
“Istighfar, Yang…”
Ia berbicara dengan suaranya yang bergetar. Nadanya lembut mengajak, bahkan terdengar sedikit memelas. Kasihankah ia padaku? Sadarkah ia akan sakit yang tengah kucoba buka untuk ia lihat? Ajaknya dan pikirku tadi tak cukup menenangkanku.
“Waktu kamu bentak aku dengan kata-kata itu, apa kamu istighfar? Hah? Sekarang, kamu aja yang istighfar!!!” balasku dengan nada yang tak kunjung tenang.
Sayup kudengar ia istighfar dibalik telepon genggamnya. Nadanya semakin lemah dan bergetar. Menangis. Ya.. Ia menangis entah kenapa. Menangiskah ia karena terpuruknya keadaanku? Atau karena ia tengah menyadari perbuatannya kepadaku? Menyesalkah ia akan keadaanku?
Selanjutnya… Ia hanya diam mendengar ocehku. Oceh tak jelasku. Masih dengan sakit yang kubuka untuk ia lihat.
-31052009, 08:06pm-