The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Hujanku sedang sakit. Radang tenggorokannya semakin parah. Mungkin karena kondisi tubuhnya menurun, dia juga sedikit tertular sakit dari adik perempuannya. Setelah bernegosiasi dengan sang ayah kemarin, akhirnya dia bisa ke kampus hari ini. Tapi, menurutku dia juga sedikit memaksakan diri karena hari ini dia bahkan sedikit sulit untuk berdiri tanpa terhuyung. Dia demam. Tenggorokannya meradang hingga ia sering batuk-batuk parah. Aku memberikan sebutir vitamin, sepotong amoxicilin 500mg, dan sebuah tablet obat flu untuk dia minum siang tadi. Menyadari dia tidak flu, malam ini aku memberinya FG Troches dari Pelangi dan membiarkannya meminum satu tablet amoxicilin 500 mg setelah makan.

Sekarang Hujanku sedang tidur. Dengan keadaannya saat ini, aku tidak rela membiarkannya berdesakan di kereta sementara besok pagi dia harus kembali ke kampus. Maka, setelah mendapat telepon dari sang ayah dan memeroleh persetujuan untuk tinggal, jadilah dia menginap di kost-an malam ini. Di satu sisi, aku senang karena akhirnya aku bisa bersamanya lagi. Di sisi lain aku merasa sedih dan bersalah karena dia sakit tetapi tetap mau menunggu aku selesai mengajar hingga akhirnya menginap di kost-an.

Lelaplah dalam tidurmu, Hujanku. Biar besok kamu dapat terbangun dan merasa lebih baik. Cepatlah sembuh. Biarkan radang dan demam itu berpindah seiring meningkatnya suhu tubuhku.


July 16th 2009
9.30 P.M.
written by Sky, with a runny nose...

Biasanya Hujan turun nyaris setiap hari di kost-an ku... Namun, musim kemarau sudah mulai mengetuk pintu. Mungkin karena itu pula, Hujan tidak dapat sesering dulu menemaniku...

Minggu lalu, Langitku sepertinya Hujan tiap hari. Aku sempat menginap di rumahnya dua kali, dan pada saat aku tidak di sana, dia yang menginap di tempatku. Nyaris tidak ada waktu untuk tidak bertemu. Kecuali, tentu saja, ketika kuliah atau aku sedang mengajar di tempat les kecil nan jauh itu.

Namun, minggu ini dunia rasanya terbalik. Seiring semakin meningkatnya temperatur dan menghilangnya air selama beberapa hari di kost-an, Hujanku pun seakan lenyap. Tidak, kami tidak bertengkar. Hari Sabtu dan Minggu kemarin dia harus tinggal di rumah karena orangtuanya sedang tidak ada. Sementara itu, tadinya aku pikir aku akan pergi ke suatu tempat dengan teman dua hari itu, sudah janji dari dua minggu lalu. Namun, ternyata teman itu sakit. Jadilah dua hari itu aku bersih-bersih, mencuci, dan mengerjakan tugas kuliah dalam sepi sendiri.

Ketika Senin tiba, aku pikir kami bisa bersama. Namun, ternyata ibunya masih harus mengurus sesuatu di luar kota, yang pulang hanya sang ayah karena harus masuk kerja. Jadilah Hujanku harus menjaga rumah hingga sang adik pulang sekolah, lalu secepatnya ke kampus, berharap tidak terlambat. Tidak ada waktu untuk singgah ke kost-an. Setelah pulang kuliah hari itu, ada seorang teman yang ikut mengunjungi kost-an, sekalian menunggui Hujan agar dapat naik kereta bersama. Jujur aku kecewa.

Hari Selasa, Langit kembali sendiri. Hujan tidak ada jadwal kuliah dan masih belum dapat meninggalkan rumah. Aku menghabiskan waktu dengan online gila-gilaan setelah kelas, dan setelah mengajar. Sebenarnya tidak ada juga yang dapat aku lakukan di dunia maya, selain mengunjungi blog orang tanpa tujuan pasti, dan chat: berharap namanya akan muncul di layar messenger sambil ngobrol menghabiskan waktu dengan orang yang aku kenal secara online. Sepi dan sendiri mulai meracuniku, dan aku belum ingin mati sehingga aku mencari cara agar tidak lagi merasa sendiri.

Hari ini pun tiba. Rabu. Biasanya dia ada kelas, namun minggu ini kelas itu dipindah menjadi hari Kamis. Aku berkunjung ke rumah Hujan siang ini. Radang tenggorokannya kambuh sejak semalam. Hari ini, adik perempuannya demam tinggi. Setelah ngobrol sejenak, aku tahu bahwa ibunya mungkin baru pulang hari Minggu dan tidak ada yang dapat menggantikannya menjaga dua orang adik. Timbullah kemungkinan bahwa dia harus bolos kuliah besok. Kecewa kembali menggurat hati, tetapi aku sadar, aku harus sabar. Tidak mungkin memaksanya untuk ke kampus demi bersamaku jika harus meninggalkan sang adik sendiri. Itu egois namanya.

Aku harus pulang ke rumah tante hari Sabtu dan Minggu ini. Maka, satu-satunya harapanku hanyalah hari Jumat. Aku akan mengajar hingga pukul setengah dua belas. Dia harus mengikuti sebuah pelatihan hingga siang. Adik laki-lakinya tidak sekolah sehingga dapat menggantikannya berada di rumah. Yah, hanya bisa berharap dan berdoa agar semuanya dapat berjalan sesuai harapan ku.

Bila Hujan terlalu lama menyerapi tanah di bumi dan tidak naik kembali ke Langit, kemarau mungkin akan kembali memanggil sepi dan sendiri untuk meracuni hari.


July 15th 2009
9.37 P.M.

Mengingat sepenggal kisah lalu. Entah kapan tepatnya, tak dapat kuingat jelas. Aku memang tak pandai mengingat kronologis suatu peristiwa, bahkan peristiwa yang kualami sendiri.

Pintaku untuk maafmu, sang Matahari. Pinta yang tak sempat kuucap langsung padamu, namun kutitipkan pada langit bersama hujan dan pelangi. Maaf akan kesalahpahaman yang sempat kusematkan dalam benakmu. Maaf akan ketidaknyamanan yang sempat kusisipkan dalam hatimu.

Sinarmu begitu menarik perhatianku. Kau yang tak tersentuh, menggelitik asaku untuk lebih mendekat padamu. Meraih sebanyak-banyaknya sinarmu. Untuk menjadikanku purnama. Rayu pun paksa kutujukan padamu. Tak lain demi mendapat sinar persahabatan darimu.

Segalanya berubah saat kutahu kau justru semakin menjauh. Sembunyi di balik bumi. Selaksa gundah muncul, aku takut kau benar-benar membenamkan diri di balik bumi untuk menghindariku. Dan aku menjadi gerhana, tanpa sinarmu.

Beruntung aku memiliki langit dan pelangi sebagai perantara, serta hujan yang tak segan turun untuk membantu. Sehingga kini, aku dapat (setidaknya) tetap menerima sinarmu. Meski tak selalu purnama, at least tidak gerhana.

Terima kasih langit, hujan, dan pelangi atas apa yang telah kalian lakukan. Aku beruntung memiliki sahabat seperti kalian yang senantiasa merangkulku, menyadarkanku atas kesalahanku, bahkan membantuku mencari solusi atas keretakan yang telah kubuat.

Terima kasih matahari. Biar aku tak ucapkan langsung maafku, kau tetap memberi sinarmu untuk kupantulkan. Kuharap itu merupakan pertanda bahwa kau benar-benar telah memaafkanku.

Kini, aku tak kan lagi memaksa untuk menjadi sedekat mungkin denganmu. Aku akan berpuas atas sinar yang dengan ikhlas kau kirimkan padaku, walaupun itu hanya akan menjadikanku bulan sabit yang melengkung tipis.

-my room, 12072009, 02:58 AM-


Bulan, Nick itulah yang kedua sahabatku, Sky dan Hujan, anugrahkan kepadaku. Tak salah, kupikir. Bulan memang representasi yang sesuai untukku.

Kenapa?

Karena bulan tampak indah dengan caranya tersendiri. Tak seperti bintang, indahnya bulan bukan karena pancaran sinar dari dirinya. Berbeda dengan pelangi, indahnya bulan bukan karena membiasnya titik-titik hujan di langit oleh matahri. Bulan indah karena ia mampu memantulkan sinar yang datang padanya.

Bulan tampak indah dengan pantulan sinarnya di tengah gelap malam. Bulan tampak ramah dengan pantulan sinarnya yang lembut membelai mata. Bulan berpuas atas pantulan sinarnya. Dengannya, langit, hujan, matahari, dan pelangi hanya akan melihat keceriaan sang bulan.

Sungguh, bulan tak ada apa-apanya tanpa sinar yang jatuh kepadanya. Sungguh, bulan tidaklah seindah yang tampak dari kejauhan. Saat kau mampu melihat ku dengan teropong tercanggihmu, atau mendatangiku dengan Apollo kesekianmu, barulah kau dapat menemukan kesejatian diriku. Gelap. Dingin. Tandus.

Bulan tak berharap ada suatu pun yang meneropongnya. Bulan tak kan meminta suatu pun datang untuk menyelaminya. Bulan hanya ingin langit, hujan, matahari, dan pelangi menikmati pantulan sinarnya. Bulan hanya akan memantulkan sinar terlembut untuk kalian.

Anggaplah itu tanda cinta dari seorang bulan bagi kalian. Anggaplah itu untaian terima kasih yang tak selalu dapat kuucap untuk kalian, langit tempatku tersemat, hujan dan pelangi yang kerap menyambut kedatanganku kala senja, dan matahari yang dengan sinarnya aku dapat terlihat indah.
Love you all, my friends…
-my room, 12072009, 01:46am-

Kutemui kau saat aku sedang berloncatan dalam maya mencari kata-kata yang berserak di kolom-kolom yang warna. Pelan-pelan kutelusuri dirimu sebelum menyapa. Takut kamu sibuk, dengan tanda palang merah menyala. Tapi letup-letup ini masih menggedor dan belum mengendor, jadi kukuatkan jiwa raga sambil komat-kamit dalam dada.

"Hai", kusapa

Rasanya ingin kututup jendela dan kabur ke rumah tetangga, menikung di perempatan sambil mengintip diam-diam.. Adakah merpati kembali bertengger di kepalaku?

"Hai", jawabmu. Kulihat ada senyum merekah dalam tulisanmu.

Aku membuncah. Ruah. Tapi sebelum limpah kutahan, sambil kubicara sigap membahas telusurmu.

Tidak bisa
Aku gagap setengah mati
Kata-kata meluncur meledak di kepala

Maka saat keluar hanya berupa pecahan... Aku lupa bagaimana merangkainya.. Ya Tuhan, bagaimana kukembalikan pecahan yang berserak... kukirim juga padamu..

Kamu masih bertanya sedang apa

Bisa kamu menunggu?
Sebentar, aku ingin memperbaiki kataku.

Kau mulai lagi, menyapaku

Pecah, pecah lagi pecahan itu.. sudah tiada beda dengan bulir pasir.. tanganku tergores.
ingin menangis. Aku ingin bilang tiada kata lagi saja tidak bisa

Kugerakkan lentik ini ke papan-papanku.
Masih tergesa dan tergugu membaca mu.
Kusodorkan juga tanganku.

"Salam"

Doakan aku tidak pingsan kali ini.


Keberadaan pekerja anak merupakan suatu fenomena yang seharusnya dihapuskan. Itulah wacana yang sering diangkat di berbagai kompetisi debat hingga beberapa tahun yang lalu. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat memang menganggap bahwa anak seharusnya memperoleh cukup kasih sayang dan waktu untuk bermain sehingga tidak sepatutnya kondisi ekonomi keluarga ditopang oleh sang anak. Meskipun demikian, di negara-negara berkembang dan yang sedang mengalami perang, bekerja bukan hanya menjadi pilihan, melainkan juga jalan hidup bagi banyak anak-anak. Keadaan ini adalah salah satu hal yang digambarkan oleh film Turtle Can Fly yang disutradarai oleh Bahman Ghobadi.

Turtle Can Fly merupakan film bersama Iran-Irak yang menceritakan tentang Satellite alisa Soran, seorang anak yang bekerja memasang antena dari desa ke desa di Kurdi, perbatasan Irak-Turki. Selain itu, Satellite juga merupakan pemimpin bagi anak-anak desa maupun pengungsi, terutama yang telah kehilangan orangtua akibat perang. Di antara anak-anak tersebut, yang paling setia adalah Shirkooh yang sering menangis dan Pashow yang salah satu kakinya cacat.

Setiap hari, Satellite mencarikan dan menentukan di mana anak-anak desa dapat bekerja. Pekerjaan yang sering mereka lakukan untuk memeroleh uang adalah membersihkan ranjau Amerika kemudian menjualnya, dan menjadi kuli di shell field, tempat pengumpulan selongsong peluru dan bom. Tidak ada yang merasa dipaksa, mereka melakukannya dengan kesadaran penuh demi mendapatkan uang.

Suatu hari, seorang gadis bernama Agrin datang meminta tali pada Satellite. Gadis pengungsi itu selalu menggendong seorang balita bernama Riga. Selain itu, Agrin juga memiliki kakak laki-laki bernama Hengov. Kedua tangan Hengov buntung, tetapi dia mampu memprediksi masa depan.

Sebenarnya banyak hal menarik yang dapat diceritakan dari film ini. Namun, akan lebih menarik jika semua itu ditonton sendiri. Film yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun swasta dan tidak sengaja saya temukan di sebuah stand penjualan dvd ini telah memenangkan sejumlah penghargaan, seperti Concha del Oro dari San Sebastian Film Festival dan Silver Hugo dari Chicago Film Festival. Oh, ya, film ini menggunakan bahasa Kurdi. Selain itu, cukup depressing dan agak berat untuk dicerna. Meskipun demikian, setelah menonton sampai habis, pasti dapat membuat penonton menghela nafas.

Selamat menonton!


July 12th 2009
2.37 P.M.

Ahh.. semua aplikasi di facebook sedang heboh-hebohnya maintenance, seperti acara bersih-bersih rumah, mereka memperbaiki sistem, menghapus beberapa program yang tidak perlu, menata ulang, menambahkan sesuatu yang baru...

Supaya tidak sering-sering error loading lah...

Nah, aplikasi itu seperti layaknya hubungan.. harus di maintenance juga. Tapi tetap saja, tidak boleh sering, terlalu lama maintenance justru membuat hubungan ataupun aplikasi membosankan dan tidak berjalan.

Tapi, ngomong-ngomong... Perlukah menjadwalkan maintenance tersebut?

Menurut saya perlu, kira-kira di situasi masa kritis dan masa krisis contohnya, saya masih percaya ada sindrom 3 bulan dan seterusnya, dimana hubungan akan goyah dan pasti saja retak-retak mulai muncul, tiba-tiba saja membanyak seperti jerawat yang makin menjadi sebelum masa period kita datang
Tapi yah, yang namanya manusia seringkali lupa. Apalagi kalau sedang acara marah-marah dan kepala panas membara. 

Kalau sudah begitu, sih, nyenggol sedikit saja bisa jadi perkara.

Maintenance mungkin bahasanya akan sama dengan introspeksi diri
Tapi uh, mungkin caranya bukan bertapa di dalam gua, atau mendaki ke puncak gunung, apalagi ziarah ke makam keramat

Bukan, maintenance bukannya minta wangsit perbaikan, sista.

Maintenace ya itu tadi...
Memperbaiki, menambah, dan menghapus

Terdengar seperti resolusi tahun baru, ya?

Menurutku, tidak juga kok!

Maintenance bisa dilakukan sendirian. 

Kembali beribadah buat yang suka lupa (ups) atau paling mentok kalau tidak ada ide lagi ya membuat resolusi tahun baru. Tapi menurutku, resolusi tahun baru begitu klise, begitu samar ke depan dan beberapa mungkin belum juga diwujudkan sampai sekarang.

Namun, maintenace dalam hubungan bukan hanya dilakukan sendirian.
Namanya hubungan pasti ada yang terhubung, bukan?

Lakukanlah dengan pasangan, di sela-sela makan, contohnya. asal cukup sanggup menerima kenyataan saja yang ikut terhampar di meja makan, karena kemungkinan tersedak cukup besar.

Saya ?
Biasanya kami tidur berhadap-hadapan, dan sayapun memulai pertanyaan. Entahlah… Pertanyaan paling ngawur pun saya lontarkan, dan biasanya akan menjalar kemana-mana. Ke ciuman di kening, peluk erat yang hangat, bulir air mata yang tiba-tiba berlinang, sesenggukan kecil. Sehabis itu lega, tenang.

Atau dengan cara lain. Hubungan kan bukan masalah saya dan dia. Tapi mereka : orang lain, teman dekat, sahabat untuk menilik baik-baik. Kan, dunia bukan milik kita berdua saja
Atau… kita bisa membuat maintenance kita menjadi lebih asyik dan sehat

Dengan apa, ya.. kira-kira?

Akh… banyak sih ide berloncatan disini.. Tapi kupikir, bukannya setiap pasangan punya caranya sendiri, ya kan?

Harusnya aku senang hari ini. Setelah beberapa lama, akhirnya aku punya waktu untuk sendiri. 

Ada kesempatan untuk bersantai dengan caraku sendiri: bersih-bersih dan mencuci. Ada spasi di antara derasnya alir waktu untuk sekedar bernapas. Ada aku. 

Hanya aku.

Kadang ketika kita terlalu sering bersama, aku menantikan saat-saat seperti ini. Waktu di mana aku bisa diam dan menulis atau membiarkan pikiranku mengalir tanpa perlu diungkapkan. Saat di mana aku dapat diam seharian tanpa membuatmu merasa diacuhkan.

Namun, entah mengapa malam ini rasanya tidak menyenangkan sama sekali. Setelah semuanya usai aku kerjakan, tidak ada lagi yang dapat atau ingin aku lakukan.

Weekend. Kost-an kosong. Jalanan di sekitarnya lengang. Orang-orang berkumpul di kedua mall yang sering kita kunjungi itu. Masing-masing menggandeng tangan atau lengan pasangannya...  

Arrghh...! Kenapa aku memutuskan untuk pergi belanja malam ini? 

Keberadaan orang-orang itu malah membuatku semakin memikirkan dan merindukanmu. Padahal, tanpa mereka pun aku sudah sangat merindukanmu...

Ingin bersamamu malam ini. Berharap bisa menyentuh lembut kulitmu. Berkhayal bisa berbaring di sisimu. Ingin rasanya menggenggam tanganmu malam ini. Lalu membisikkan kata cinta dan rayu. Lalu menikmati diam. Berdua denganmu.

Namun, semua hanya khayalku. Mungkin sebaiknya aku segera tidur saja malam ini. Memimpikanmu...Hujanku.


July 11th 2009
9.43 P.M.

Mengapa segala sesuatu seringkali tidak ada justru ketika dibutuhkan, ya?

Aku terbangun sekitar pukul 10.30 atau 11.30 pagi ini. Semalam kantuk enggan menyambangi pelupuk mata. 

Karena itu, aku lantas menonton dvd Milk sampai pukul 4.30 pagi. Alarm pada jam meja dan kedua cell phone gagal membangunkan pemiliknya pada jam yang telah ditentukan.

Hari ini memang bukan hari kuliah. Sebuah rencana untuk pergi bersama seorang kawan ke suatu tempat batal karena sang kawan sudah seminggu ini sakit. Maka, tadinya aku berniat untuk mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan mood yang ada untuk mencuci pakaian dan membersihkan kamar yang sudah terlalu lama ditelantarkan. Namun, apa daya, insiden itu terjadi.

Aku baru saja selesai menyikat seember penuh pakaian ketika aku memutar keran dan tidak mendapatkan apa-pa kecuali tetesan-tetesan malas yang akhirnya berhenti. 

Arrrgghhh!!! Air di kost-an mati lagi. 

Ini sudah yang ketiga atau keempat kalinya dalam beberapa bulan. Air di kost-an seolah sudah punya jadwal tetap: mogok mengalir tepat ketika aku sedang mencuci.

Meskipun aku sudah melapor pada Pak K, penjaga kost-an, air di kamar mandi tetap ngambek.
"Sepertinya mesinnya rusak. Mbak mandi di kamar atas saja," ujar Pak K.

Air memang hanya berhenti mengalir di sisi kiri bangunan kost-an plus dapur. Jika membutuhkan air, aku dapat naik ke lantai dua dan mengambilnya dari kamar mandi sebuah kamar kosong di ujung.

Demi mewujudkan tekad untuk mencuci, mengepel, dan mandi, akhirnya aku bolak-balik empat kali sambil mengangkat dua ember penuh air dari kamar kosong di ujung utara lantai dua ke kamarku di ujung selatan lantai satu. Capeeeeeeek..."-_-)>;

Acara bersih-bersih dan mencuci yang dimulai pukul 11.30 itu akhirnya selesai sekitar pukul 17.00. Setelah itu, aku masih harus menyetrika cucian kering yang sudah menumpuk selama beberapa hari, mengingat lemari sudah tidak berisi baju kaos sama sekali.  

Tambah capeeeeeeek..."-_-)>;

Yah, tapi mau diapakan lagi? Terima nasib.


July 11th 2009
7.10 P.M.

Belum genap satu setengah bulan kertas kalender tersobek sejak hari pertamaku bekerja. Part-time memang hitungannya. Magang. Harusnya bukan menjadi hal yang utama dalam hari-hariku. Namun, tetap saja aku jalankan dengan usaha 115% dari yang seharusnya. Setidaknya, aku pikir begitu.

Pekerjaan itu awalnya terdengar mudah. Cukup dengan datang dua-tiga kali seminggu, berbagi pengetahuan dengan beberapa orang yang hampir semuanya jauh lebih tua daripada aku, lalu...voila! Uang tambahan sudah ada di dalam kantong.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Tempatnya cukup jauh. Gajinya cukup kecil. Meskipun setelah dipotong ongkos transport, jajan, dan sedikit ini itu masih ada untungnya, tetap saja rasanya tidak sepadan. Apalagi, sampai hari ini belum satu sen pun masuk ke dalam saku.  

Face it, Girl! You've got to work your butt off before you can get the freaking money!

Keadaan itu diperburuk dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Tidak peduli berapa banyak pun boardmarker yang dipinjamkan, hampir semuanya nyaris kosong ketika sampai di tanganku. Belum lagi penghapus papan tulis yang harus di-share dengan kelas sebelah. Absen yang kolomnya tidak sesuai, siswa yang dimasukkan di tengah-tengah level, panggilan untuk menggantikan pengajar lain di saat-saat terakhir...Arrgghh...rasanya ingin teriak saja.

Namun, entah mengapa aku tetap saja datang tiga kali seminggu. Aku juga tetap mengetik dan meng-copy berlembar-lembar kuis setiap minggu. Tetap memeriksa dan memasukkan nilai-nilai kuis meski tidak diminta. Tidak pula aku bolos meskipun uang di dalam saku benar-benar hanya cukup untuk bolak-balik naik angkot hari itu. Mengapa?

Mungkin semua itu karena keberadaan mereka yang tetap menunggu meski kadang aku telat hingga dua puluh menit. Mungkin pula karena senyum dan tawa yang hadir setiap kali aku melucu di tengah-tengah keseriusan mereka memperhatikan ucapanku. Bisa juga karena usaha orang-orang yang tadinya berada jauh di bawah untuk naik ke atas, tetap mencoba meski seringkali salah.

Jujur, sebelumnya aku tidak pernah mencita-citakan pekerjaan ini. Hal terjauh yang pernah aku pikirkan hanyalah menjadi guru BK di SMA almamaterku jauh di sana. Aku tidak pernah berpikir akan mau atau benar-benar menyukai profesi ini. Akan tetapi, setelah merasakannya sendiri, aku pikir aku mengerti. Gaji yang kecil, lelah yang besar, kerutan di dahi ketika tidak satupun orang mengerti mengenai hal yang telah berusaha dijelaskan berulang-ulang...semua itu tidak ada artinya dibandingkan sebuah ucapan terima kasih tulus dari dasar hati. Tidak perlu kata. Sekedar senyum atau sinar mata pun sudah cukup untuk menyampaikannya.


Terima kasih untuk semua guruku. Baru akhir-akhir inilah dapat aku hayati semua jasamu...


July 10th 2009
9.35 P.M.

In the living room