The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Begitulah aku.
Pelangi, katanya.
Membias.
Diantara para-yang-terang.
Dan tercipta karena perpaduan para-yang-terang.

Jika Hujan bisa turun deras semaunya,
Jika Langit selalu melindungi bumi,
Jika Mentari menyinari kapanpun,
Jika Bulan berbentuk sekehendaknya,
maka,
Aku tidak.

Aku ada karena perpaduan mereka.
Yaa, para-yang-terang.

Tapi bukan berarti aku tergantung pada mereka.
Aku memiliki duniaku sendiri.
Dunia penuh warna yang mungkin tak bisa semua orang sentuh.
Saat tak ada mereka, Aku hanya bias yang tak berwujud dan tak berwarna.
Hanya kadang orang terlalu tabu dengan sesuatu yang tidak berwujud.
Sehingga seolah Aku selalu tak nampak.

Tapi Aku tak memungkiri.
Aku butuh mereka untuk aktualisasi diriku.
Aku butuh mereka untuk berbagi banyak hal.
Dan Aku butuh melindungi mereka.
Karena tanpa Aku, takkan ada lingkaran yang mempererat.

Tapi ketika mereka begitu eksis dengan kejumawaannya masing-masing,
Aku hanya bisa berpendar di sekelilingnya.
Berharap mereka tahu bahwa Aku akan selalu ada untuk mereka.
Meski dalam keadaan tak berwujud.

Ya. Aku akan selalu ada untuk mereka.
Untuk para-yang-terang.
Dalam keberwujudan ataupun kenihilan.

Apakah kalian masih ingat kalau aku dulu bersikap agak angkuh pada kalian? Apakah kalian masih ingat kalau dulu aku suka menjaga jarak pada kalian? Atau apakah kalian masih ingat pada sikap marahku karena tidak suka dengan cara bercanda kalian padaku?

Aku heran, apa sih yang kalian lihat dariku? Aku sudah jahat pada kalian, namun kalian masih mau berteman denganku. Terlebih lagi saat aku berulang tahun, kalian lah orang pertama yang memberi kejutan untukku. Ketika kulihat kalian membawa kue lalu memberikannya padaku, aku masih berpikir

"Apa sih maunya kalian? Ngapain kalian melakukan ini padaku? Padahal selama ini aku tidak memberikan respon baik pada kalian"

Mungkin aku sering membuat kalian bingung dengan sikap anehku ini. Sebenarnya saat itu aku tidak benci pada kalian. Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya takut dan bingung. Aku takut jika berteman dekat dengan kalian, teman-teman akan melihat aku sebagai perempuan yang “sama” dengan kalian. Aku takut akan terbawa gosip yang sedang beredar di kampus saat itu. Aku pun sedang dilanda perasaan bingung. Mungkin kalian akan menyebutnya dengan masa denial.

Yaa mungkin bisa dibilang begitu. Aku masih bingung pada diriku sendiri karena hati dan pikiranku sering berdebat mengenai orientasi seksualku. Karena itu lah aku menjadi orang yang tertutup pada kalian, tidak ingin dekat-dekat dengan kalian, sebab aku masih tidak siap pada apa yang terjadi dalam diriku.

Sekarang keadaan sudah berbeda. Sekarang aku berteman baik dengan kalian, begitu juga dengan rainbow dan moon. Walaupun terkadang, aku masih susah untuk diajak pergi jika hanya pergi berempat dengan kalian tanpa ditemani rainbow. Aku juga masih enggan apabila diajak menginap bersama kalian, aku harap kalian mau menerima keadaan ku yang memegang prinsip itu.

Kalau dipikir-pikir apa sih yang bisa membuat ku berubah sikap pada kalian? Aku telah memikirkan hal ini sejak lama dan ternyata jawabannya adalah karena aku telah berdamai dengan hatiku. Mungkin kalian bertanya, jadi kamu sudah menerima atau mengidentifikasi bahwa dirimu adalah seorang L?

Hmm, sepertinya begitu, tapi lebih tepatnya adalah aku ini telah membebaskan hatiku ingin memilih siapa yang disukainya, bisa pada laki-laki dan sangat tidak menutup kemungkinan apabila hatiku memilih seorang wanita.

Itulah yang membuat ku nyaman berteman dengan kalian, karena aku telah nyaman dengan diriku sendiri.

Kebaikan kalian padaku tentu saja juga termasuk faktor luluhnya hatiku untuk menjalin pertemanan dengan kalian. Tentunya aku beruntung bisa berteman dengan kalian. Dengan kalian, aku bisa curhat mengenai hal-hal tentang dunia L, meracuni kalian dengan serial TV favorit kita : The L Word dan saling pinjam film atau buku bertema L . Selain itu, aku juga mebuat kalian (terutama Sky) ketagihan pada SepociKopi dan Camilannya. Sejak menemukan blog ini, aku sudah sangat ingin membaginya dengan kalian, tapi saat itu aku masih ragu apakah ini suatu tindakan yang tepat. Namun, seiring berjalannya pertemanan kita, aku menjadi yakin harus memberitahu blog yang super keren ini pada kalian.

Sky dan Hujan, kalian lah teman pertama ku di dalam dunia L, bukan dari dunia maya, tapi benar ada di dunia nyata. Terkadang sikapku memang masih suka membuat kalian bingung atau mengesalkan. Namun, aku berharap dengan segenap pengertian dari kalian agar mau menerima prinsip-prinsip atau aturan yang aku punya. Karena hanya di dalam pertemanan inilah aku bisa menjadi diriku sendiri.

Love you sist.

Aku tak mengizinkanmu menjadi penulis SepociKopi karena aku baru saja menenggak segelas kopi pahit tanpa gula. Aku tidak suka kopi, lagi.

Ya, dulu aku penikmat kopi bubuk panas di malam hari, dan tidurku langsung pulas setelahnya.

Tapi kini kamu dengan seenaknya memasuki dunia kopi pahit tanpa gula, apalagi creamer atau susu. Hanya satu sendok makan kopi bubuk dan segelas air panas. Pahit dan pekat hingga rasanya pun maut sangat akrab.

Aku tidak apa kamu tidak menjadi penulis SepociKopi. Aku tidak mau melihat kamu begadang tiap malam menulis artikel di tengah riuhnya makalah dan tugas kuliah kita yang menjengah. Aku tidak mau mendengar kamu terkunci di luar kost-an karena berada di warnet terlalu lama. Aku tidak mau kamu membawa laptop yang begitu berat di tas punggungmu yang talinya hampir putus itu. Tapi sungguh, aku tidak mau melihatnya.

Tapi ternyata yang kamu lihat adalah binar di mataku. Binar ketika melihat namamu, Sky. Namamu yang terpampang di internet. Namamu yang bersinar dan berkilauan. Lalu aku kesal sejadi-jadinya kesal. Kamu bahkan belum menulis sepatah katapun untuk sinopsis bukuku. Padahal kamu sudah janji padaku.

Okay, kamu menangis mendengarnya. Kamu bilang semua tulisan itu untukku. Demi melihat aku yang antusias membuka laptopmu dan membaca persatu kata-kata yang kamu tuliskan, kemudian tersenyum lebar kearahmu.

Ya, rasanya memang manis. Tapi tetap saja aku tak puas.
 
"Tutup saja semua email-nya. Blog-nya. Aku tidak akan menulis lagi di sepocikopi."Katamu, di sela bulir yang mengaliri kita.

Aku tadinya ingin mengangguk, setuju.

Tapi masih terlintas di benakku. Ada seseorang juga yang berloncatan di ujung telepon saat mendengar ceritaku. Ada seseorang yang mengantarkan kami pada sebuah meja tunggu dengan sepocikopi di tangannya. Dan dia menuang kopi tersebut dengan penuh kehati-hatian.

Sky, itu orang yang pernah kamu genggam tangannya dulu.

Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Karena kamu menyayanginya

Aku ajarkan kamu lagi untuk tidak egois. Ruang di hati kita kupikir cukup besar untuk menampung beberapa orang sekaligus. Tapi kamu menggeleng lemah. Dan dalam isakanmu yang tersembunyi di balik bantal kamarku, kamu bicara padaku : 
“Cuma buat kamu. Cuma kamu, sayang. Aku menulis untuk kamu. Tidak sedikitpun untuk aku”

Aku menggeleng. Menulislah. Menulislah, untuk kamu dan untuk aku. Karena apapun yang aku katakan ternyata telah resap di dirimu. Seperti saat kita berlomba untuk mati bunuh diri.
Seperti itu, dan aku harus bersiap-siap. Pecinta kopi sejati menikmati kopi pahit tanpa gula. Aku akan menenggak kopi pahit tanpa gula itu sampai ke ampasnya.

Namaku Langit. Aku suka warna biru mudaku. Aku suka putih awan. Namun, yang paling aku sukai adalah bening Hujan karena dia dapat membiaskan kuning Mentari menjadi Pelangi. Hujan juga dapat memanggil awan menutupi Bulan di kala malam. Hujan hebat. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari itu.

Orang-orang malah memujaku. Aku tinggi. Aku tak terjangkau meski hanya seujung jari. Aku biru. Aku luas dan lapang, seolah mampu menerima apapun yang ingin digantungkan manusia di antara bintang-bintangku. Mimpi, harap, doa... Semua berputar dan melayang, digantungkan tinggi di atas pundakku. Mereka tidak sadar, bahwa aku juga dapat merasa berat. Ketika itu terjadi, awan akan menurunkan Hujan untuk menghiburku. Namun, aku tetap takut bahwa suatu saat nanti, akuakan jatuh runtuh, tidak kuat lagi menahan semua asa yang disematkan di dadaku yang lapang.

Aku langit. Aku bisa biru, ungu, bahkan bisa kelabu. Namun aku paling suka menjadi merah jingga di belakang awan kelabu. Sebab, ketika itu aku bisa bersama Hujan menyambut Pelangi yang dilahirkan bias-bias sinar Mentari sambil menunggu datangnya senyum Bulan. Sayang, hal itu tidak bisa terjadi setiap hari.

Aku adalah langit. Aku tinggi. Aku sendiri. Selalu menanti Hujan turun menemani.

July 8th 2009
10.39 A.M.

Sky, aku sudah bilang kan?
semakin aku cinta semakin aku iri
semakin cinta semakin iri

Maka karena cinta dan kamu yang selalu bilang "jangan terlalu excited", membuatku semakin gagap

Terisak
Perutku melilit

Seperti saat kamu menegurku dan menegur dia, yang memuja memuji sambil mengeluarkan sumpah serapah

Aku izin absen...
Aku mau menangis, mau muntah

Karena lagi-lagi cintaku meluap-luap
sebelum hati dan kepalaku siap!

Aku mau menulis apa ya sekarang ini?
Akh, iya... kenalkan... namaku Hujan...
yang gerimis, yang menitik rintik
yang menderu deras

Mengapa harus hujan?
karena langit selalu baik padaku.
hujanlah yang selalu mengerti aku.
 
Kamu mau tahu?
Saat aku menangis karena bertengkar dengannya, hujan turun deras dan berangin.
 
Saat aku merasa hari telalu panas, gerimis turun perlahan-lahan.
 
Kemudian muncul pelangi, yang sibuk melengkung dan membias, setelah tangan kami bergenggaman bergitu erat.

Aku juga kereta.
Karena aku selalu datang dan pergi ke dalam peluk kekasihku dengan kereta;
yang kadang penuh sesak, kadang sepi lengang
 
Aku kereta, yang akan berhenti satu stasiun setelah tempatku seharusnya berhenti.
aku akan melewatkan satu stasiun itu untuk sampai di tempat kekasihku, di stasiun tempat biasa dia menungguku. saat aku datang, saat aku pulang.

Jadi aku kereta hujan
yang akan melingkar dan melaju
di rel yang sama, di tempat yang berbeda.

Akh, iya... aku tidak munafik.
keretaku memang tidak egois,
tidak berhenti di satu tempat saja.
 
Karena aku harus pergi, maka aku harus juga pulang.
tapi di stasiun tempatnya menunggu itulah kurasa tempatku kembali dalam dekapan paling hangat dan cinta paling manisku tertinggal.

Aku tidak tahu kisah cinta seperti apa yang akan aku miliki. Dulu mungkin aku seperti Donna... Rentan jatuh suka, meski tidak sampai benar-benar cinta. Gemar menghinggapi satu hati ke hati lainnya, juga membiarkan banyak hati menghinggapi hatiku, bersama atau bergantian. Kehidupan cinta yang tidak begitu jelas. Kehidupan yang penuh dengan petualangan rasa. Belasan nama berputar bahlan sebelum usiaku terhitung dewasa. Namun, tentu saja hanya bertepuk sebelah tangan. Bagaimana aku bisa coming out dan menyatakan cinta pada mereka jika ketika itu aku pun masih berusaha membuka mataku sendiri?

Saat ini, hidupku mungkin sedikit mirip dengan Bee. Namun, hanya sedikit saja. Memiliki seseorang yang bisa digandeng, bisa dipeluk, bisa diajak berbagi kasih, seperti masa ketika hubungan Bee dan Eve masih begitu hangat. Kadang, aku juga jealous dengan mantan-mantan sang kekasih. Beberapa masih menjalin kontak dengannya. Sang kekasih bersikap permisif pada telepon, sms, ataupun wall Facebook mereka. Yah, mungkin benar bahwa setiap orang butuh space tersendiri. Sisi kehidupan tanpaku adalah space-nya untuk bernapas, mengambil udara sebelum menyelam menemuiku lagi. Namun, bagaimana jika space bernapasku justru kehadirannya? Jika ia terlambat datang, mungkin aku sudah kehabisan udara, megap-megap dalam himpitan dunia nyata yang aku selami tanpanya.

Suatu hari nanti, kehidupan cintaku mungkin seperti Brownies. Akan siapkah aku pada hari pernikahanmu, Kekasih? Mungkin tidak. Tentu akan kuhirup wangimu yang tertinggal di bantal, di seprai, di pakaianku yang sempat kau kenakan, di boneka beruang yang kita dapatkan dari mesin game itu, dan di setiap sudut kamar kost-ku. Wangimu tertinggal di setiap lekuk tubuhku yang masih ingin lama memelukmu. Bayangmu akan menari-nari setiap kali aku berkaca pada cermin favorit kita berdua. Airmataku akan tumpah ketika mengecupmu untuk terakhir kalinya. Namun, aku akan terus berjalan tegak. Akan aku antarkan genggam jemarimu padanya, lelaki yang jauh lebih beruntung daripadaku karena dia terlahir sebagai lelaki dan boleh menikahimu. Akan aku bisikkan doa di setiap langkah kakimu beranjak dariku. Semoga kau selalu bahagia.

p.s.: Jangan menoleh lagi, Kekasih. Langkahku sudah cukup berat karena harus menyeret bayangku menjauh darimu
June 22nd 2009
3.23 A.M.
Setelah habis membaca Camilan SepociKopi

Just done watching Brokeback Mountain. 

Yeah, I know, it’s been such an old movie. It’s at least three or four years old. But I just found and watched it tonight

The story flows so slowly. There’s no action scene at all but a few flashbacks or imagination flashes about Jack Twist being murdered by some men. 

I cannot say that I really like the movie. I think it’s quite boring. You have to watch the whole movie and wait until it ends to understand what happen. But the view of Brokeback Mountain is very beautiful. The soundtrack and the music for the back sounds are nice, too. I especially love one scene, near the end of the movie, where Ennis Del Mar smell Jack’s shirts with all of his heart, realizing that Jack is nowhere to be found anymore.

After all, it’s quite good to watch if you like drama movies, and if you want to be patient watching it, of course. It shows how sexual orientation can be switched to different line when it triggered by the loneliness. It also gives a picture of how homosexuals in the United States were treated in during the 60’s to the 80’s. Man, if people see how much freedom and rights granted to the homosexuals in the State of California today, one can’t probably imagine that Americans used to torture someone like that to death.

July 4th 2009

1.51 A.M.

Are you afraid of fish?
No. Of course not. I love fish.
Really?
Yeah, I love it. Especially when it's right beside my rice on a plate


Itu hanyalah percakapan konyol yang melintas di otakku. But it's true. Aku suka ikan... untuk dimakan. Keadaannya akan berbeda jika pertanyaannya menjadi:

"Do you like touching the fish?" 

Aku pernah menyentuh ikan tetapi saat itu si ikan sudah tidak bernyawa lagi. Aku tidak pernah berpikir untuk menyentuh ikan hidup.  

Ngapain coba? 

Namun, itulah tantangan yang harus aku hadapi ketika ikut ke tambak keluarga kekasih di sebuah desa dekat Cikampek.

"Sana ikutan turun!" kata mama sang kekasih. 

Saat itu masih pagi, sekitar pukul tujuh. Para pekerja telah dikerahkan sejak tadi untuk menebar dan menyangkutkan jaring di tambak. Sekarang mereka sudah siap untuk turun dan melepas ikan yang tersangkut di jaring-jaring tersebut. 

Otakku berputar cepat:
1) Aku tidak bisa berenang;
2) Ikan-ikan itu masih menggelepar;
3) Entah apa yang akan aku injak di dasar tambak.


Bagaimana kalau aku digigit dan dimakan ikan?
Bagaimana kalau aku tenggelam?  
Argghhh...tidak...!

Namun, wajah sang kekasih yang sudah senyum-senyum dari tadi akhirnya meluluhkan hati. Aku dan dia pun ikut turun, mencoba melepaskan sejumlah Bandeng, Belanak, Mujair, dan Kerong-Kerong dari jaring.
 
Awalnya cukup menakutkan. Namun, lama-lama rasanya seru juga. Kami sama-sama gregetan dengan Belanak yang selalu menggelepar-gelepar dengan hiperaktif ketika akan dilepaskan. Ketika berhadapan dengan Mujair, aku angkat tangan, sang kekasih yang akhirnya harus tertusuk duri, mencoba melepaskannya dari jaring (maaf, ya, Dear...).

Semuanya tambah menyenangkan dengan acara bakar-bakaran di tepi tambak. Hm...enak!!! Hehehe... Sayang, ikan yang dipanen kali ini tidak sebesar biasanya. Mamanya jadi agak kecewa. 

Setelah makan, kami kembali menjelajahi tambak. Baju yang basah, lumpur lengket yang mengotori kaki, tunggak kayu yang membuat tersandung, semuanya kalah oleh tangan yang diam-diam saling gengam di dalam air. Sorenya, kami pulang dengan kepala berat karena berendam di dalam tambak selama lebih kurang lima jam ditemani matahari yang bersinar panas menyengat kepala. 

However, it's so much fun! 

Terima kasih, Hujanku Sayang, karena sudah mau mengajak aku ikut saat panen kemarin.
Love you! Hehehe...


So, do you like touching the fish?
"Yes, of course!"



July 3rd 2009
Tentang June 27th-28th 2009

Kamu mau tahu, sayang?

Apa yang kadang membuatku sangat rindu?

Aku rindu saat bertengkar denganmu, eh?

Iya, aku rindu hal itu ketika hidup ini terlalu menyenangkan; sama menyenangkannya saat kamu menang resensi camilan SepociKopi, sama menyenangkannya saat Laksmi meng-email kamu, sama menyenangkannya dengan waktu yang kita habiskan diam-diam di sudut-sudut lift di kampus.

Aku kadang sangat rindu saat saat kita bertengkar; saat kamu dan aku bisa saling melupa dan marah-marah, diam seribu bahasa sepertimu atau aku yang acuh luar biasa sambil membanting-banting barang.

Tapi kita ingat hal itu, bukan?
Kemudian kita diam seribu bahasa, mencoba menjaga jarak satu sama lain padahal dalam hati tanganku juga berupaya mencari letak tanganmu, berharap juga tanganmu bisa menemukan hatiku kembali.

Lalu bantal, kasur, seprai, kamar mandi, pintu, semua buktinya duduk tergugu bersama kita. diantara kucuran air shower yang menerpa aku yang terduduk menahan gigil. Dibalik dekapan bantal dan guling dan air mata yang menetes per satu, atau isakan sesak hingga membuat nafas kita berdua hampir habis, dada kita sama sesaknya, berlembar-lembar tisu yang menggunung menjadi gumpalan dalam basah.

Kemudian mata kita bengkak, sembab, wajah kita kusam, kemudian kita mulai mencari tangan yang lain, untuk mengisi ruang kosong di jemari kita, untuk mengisi ruang kosong di hati kita.

Sayang, bukan aku ingin terus-terusan bertengkar denganmu. tapi kadang aku rindu, melihat tulisan kita yang kabur karena terkena tetesan air mata, atau saat aku mengetik tulisan ini dengan perlahan karena mataku berkaca-kaca.

Aku rindu, karena setelah itu, kita saling mengkhawatirkan satu sama lain, saling memeluk, dan dalam dekap yang erat, cinta ini terasa semakin hangat.

In the living room