The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


Delapan bulan adalah simbol cantik keabadian sempurna. Melingkar tak putus, beralur tak henti.
Delapan buatku adalah angka Tuhan, karena tiada mula, tiada akhir, maka kupinjam angka ini untuk melengkapi garis-garis waktu, untuk menghitung kebaikanNya yang tak terbatas, untuk ada bersamamu hingga saat ini.


Akh, sayang. Aku bisa melihat raut raut cemas yang terbaca, ada terjal-terjal yang teraba. Kata-katamu terbata. 
Tidak usah payah kau redam, cinta. Aku bisa melihatnya. 
Dan setiap kali kamu bertanya, "Kok tahu?"
Aku akan selalu menjawab, "Masih istrimu, sayang. Aku tahu"


Kemarilah, sudah lama aku tidak memelukmu lama-lama seperti semalam. Mendekapmu dalam hangat sambil mengelus lembut kepalamu.
aku ingin bercertia tentang sesuatu. Tentang seikat benang. Berwarna merah. 
Red string of Fate.


Tentu kamu tahu ceritanya, sayang? Tentang seutas benang yang diikatkan ke jari kelingking masing-masing. Takdir. Jodoh. Semuanya.
Namun aku tak pernah mengikatnya padamu.


Aku tahu kamu tidak akan asal berasumsi bahwa aku tidak cinta. Tidak akan mengeluh karena aku tidak lagi mengikatnya padamu seperti yang kulakukan pada Sky.
Mari kuceritakan dulu, dan aku tau kamu pasti mau mendengarkan.


Benang itu, red string of fate, pernah kuikatkan begitu keras di jari kelingkingku yang mungil. Benang itu terpisah jarak yang panjang, sehingga benang itu sangat panjang, sehingga seringkali ia tersangkut disana-sini.
Kami kewalahan untuk mengurainya. Begitu kusut, begitu sulit dijangkau, begitu rentan putus. Maka ketika benang itu benar putus, sangat sulit bagiku menggulungnya, yang ternyata telah mengikat tubuhku, membungkusku sedemikian rupa.
Benang merah harapan yang paksa dirajut, menjadi sebuah kepompong, menjadi kosong.


Tahukah betapa nyamannya aku di dalam pupa? Kamu tak perlu mendengar suara yang memekakkan telinga, kamu tak perlu melihat cahaya yang menyilaukan mata, kamu bisa membangun kerajaan besar tempat kamu bisa tertidur pulas dan bermimpi indah.


Tapi untuk bersamamu sayang, aku menyiapkan diriku untuk terbang, dan untuk jatuh. Terbang dengan segala resiko untuk dimangsa, untuk melihat, untuk mendengar, dan untuk berubah.
Aku melepaskan benang yang lama kelamaan melekat seperti kulit, melepaskannya satu persatu dengan sekuat tenaga, mengoyak kerajaan mimpi dalam kepompong yang tebal, merobeknya, memaksa keluar dengan tubuh yang basah karena luka.


Untuk kamu. Untuk terbang, berubah menjadi sebuah kupu-kupu cantik, yang terbang mengitarimu. Aku mengambil resiko sebuah proses, sayang. Walaupun daur hidup kupu-kupu sangat singkat, walaupun setelah itu sayapku koyak, dengarlah.


Dengarlah kalau Tuhan sudah berbaik hati mengirimkan kamu untukku. Dengarlah bahwa kamu adalah tak terbatas.


Aku dan kamu adalah dua angka nol


Tetaplah bergenggaman, sayang. Karena ketika kita bersama, kita punya cinta yang tidak terbatas.




the Infinite, eight


Akhirnya aku bisa membiarkan malam berkunjung, tanpa ada embel-embel kabut galau. Yaa, butuh perjuangan berat memang.
Tapi terkadang ada saat-saat dimana aku teringat kamu. Seperti bergerak dengan dorongan alam bawah sadar, tanganku langsung mengetik namamu dalam halaman pencarian di situs twitter, dan

Voila! Segala update-an tentang mu langsung muncul.

Rasanya itu ibarat kamu sedang kegerahan di dalam angkot yang terjebak dalam kemacetan, setelah itu angkot melaju dengan kencang.
Angin segar dari jendela angkot langsung mendinginkan wajahmu.

Sama denganku. Rasanya angin segar langsung mengecup wajahku saat mendapat info terbaru tentang kamu.

Agak berlebihan memang, juga aneh. Di saat aku sudah memutuskan untuk mundur dalam misi PDKT dengan kamu, kenyataan tadi begitu menyedihkan, sebenarnya.
Ya, terlebih lagi ketika update-an yang aku lihat adalah tentang perasaanmu yang membuncah dan galau pada seseorang yang sangat spesial di hati kamu.

Ini makin menyedihkan.

Dan aku mulai menertawakan diriku sendiri (untuk yang kesekian kalinya, dalam konteks yang sama).

Aku sadar pada apa yang aku rasakan dan aku lakukan. Sebenarnya ini sangat bertolak belakang dengan tekadku untuk bisa benar-benar bersikap netral padamu.
Hal ini sering menjadi perdebatan alot dalam diri, terutama setelah aku melakukan kegiatan yang menyedihkan tadi.

Jujur, sebenarnya capek juga mikirin hal ini terus.

Mungkin.. ah bukan (tidak ada kata mungkin!).

Sekaranng lah saatnya untuk benar-benar berpindah dari kamu.

Berpindah bisa dioperasionalkan dengan

"tidak mengecek ­timeline kamu lagi dan tidak berlebihan membicarakan perasaanku ke kamu."

Errr.. It is quite hard, i think. But i really have to..


Ada bau manis yang menyeruak pagiku.
Aku berjingkrak-jingkrak keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk merah tipis yang melingkari tubuhku seadanya. 
Aku mencium bau hujan akan turun, namun tetap mengubek-ubek lemari bajuku dan menemukan warna merah muda di tumpukan baju.

Baiklah, hari ini merah muda nyala-nyala, dan waktu berjalan lebih santai dari biasanya. 
Kereta mengulur waktunya, bergerak lambat-lambat, akh, aku terlambat 15 menit, sepertinya. Tapi ternyata langkah-langkah kaki juga melambat, membiarkan hujan mengguyur dan menciumi bumi dengan nikmat. Dosen kelas baru masuk pukul 9 pagi, kelas asesmen klinis, dingin, dan mulai mengantuk. 
Aku tersenyum, hari ini aku sudah menelponmu pagi-pagi, dan aku masih bisa merasakan hangatnya suaramu di ujung telepon, membuka kembali kado berbungkus pink dan berpita besar. Akh, betapa di pagi seperti ini, aku ingin berguling lembut di tempat tidur dan memelukmu erat, menghabiskan waktu menciumi setiap inchi tubuhmu hingga lemas.

Tapi ternyata aku tersangkut disini, dan kamu disana, tapi kita selalu punya banyak hari-hari berdua. Sesak rasanya, karena aku masih bisa menciumi wangi lembutmu yang masih tersangkut di tiap inchi tubuhku.

Happy February 14th, honey. Masih ada happy February 15th, February 16th, karena setiap hari adalah hari-hari super spesial saat aku bersamamu.

*diam-diam ingin mencuri kecup pipimu

Semangkuk besar spicy chicken shinmen soup dihidangkan di meja kami. Duduk melingkar di tengah ramainya Bandung pada hari Sabtu apalagi yang mepet-mepet Valentine's Day ini, jalanan ke Paris van Java yang luar biasa macetnya, dan ramai, ugh, sangat, tidak menyurutkan langkah kaki kami untuk sampai ke tempat yang dituju.

Aku jadi teringat beberapa hari sebelumnya saat Nat uring-uringan dan aktif ber-ym ria untuk mengkonfirmasi deringan krang kring krang kring hotel mana yang mau di book, mulai dari kiara condong, pasteur, sampai ke dago, Vebe yang terus bertanya seperti Dora, "Mau kemana kita? Mau kemana kita? Mau kemana saja kita?" dan aku, si-yah-boleh-dibilang-Event-Organizer-acara-itu mendadak sakit parah, membuatku harus berpikir seribu kali untuk pergi ke Bandung, karena hari-hari sebelumnya aku sudah harus berguling-guling menahan perihnya lambung yang menjalar kemanapun sakitnya.

H-1, Jumat, aku masih tergeletak pasrah di rumah, lambungku masih meraung, sementara detak detik jarum jam berpacu cepat, meninggalkan aku di belakang dengan kebimbangan yang sangat. Maka pukul 6 sore, dengan menenggak obat lambung dan obat anti muntah, aku bertahan. Bertahan 3 jam duduk di bagian belakang bus Jakarta-Garut, smoking area yang panas, meringkuk, perempuan kecil yang bertahan sendirian demi mengajar bus tercepat ke Cileunyi, hanya ditemani sms khawatir nan baik hati nan bawel dari Robo.

Berkali-kali aku merenung, haruskah pergi? Ini sudah malam, namun serentetan janji telah dibuat, haruskah aku mengorbankan orang lain demi kepentinganku? Sementara aku telah mempersiapkan ini 3 minggu sebelumnya, bahkan Nat dan Vebe saja rela datang jauh dari Surabaya.

Jujur, aku sangat malas. Sudah malam, jauh, lelah. Aku sudah tidak berharap De Angelo akan menjemputku malam itu dan menginap bersama di jatinangor nan sempit itu. Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat aku tiba disana, mendapati diriku memang benci tidur sendirian dan kecewa, karena hari itu dia sibuk, sibuk, dan super sibuk.

Namun tidak bisa berhenti tersenyum saat ia membuka pintu dan memelukku malam itu. Dia benar-benar, menyebalkan, karena dia membuatku menangis kesal, namun sambil tersenyum senang diam-diam, dia datang...

Hari Sabtu keesokan harinya, kami masih terkantuk-kantuk saat memenuhi janji membuat sushi dan salad, waktu bergulir hingga pukul 2 siang setelah aku dan De Angelo selesai membuat dan menyantap sushi itu bersama teman-teman kami tercinta.

Nat, Vebe, dan Flash sudah mengirim sms beberapa kali. 

Dimana? Dimana?

Maka kami melangkahkan kaki kami, eh, ban mobil itu, ke area Taman hutan raya Juanda di dago pakar, menikmati gelapnya goa jepang yang malas kami masuki, hutan pinus yang sangat sangat penuh dengan buah pinus, dan lelahnya bejalan kaki dengan sepatu yang cantik.

dan kami melemparkan diri kami menerobos macetnya jalanan Bandung yang super sempit, dan dipenuhi plat B, untuk tersenyum dan bersenang-senang, terpisah beberapa kali, sampai akhirnya bertumpuk jadi satu, memulai ceritanya masing-masing.

terima kasih 
Ligx, Vebe, Nana, Nat, Dimii,  Flash Heart, Uya, Ferro, Cleo.

Selamat bertemu kembali kapan-kapan teman-teman.
Terima kasih mau bertemu dengan kami.

Salam penuh cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa dimana mana 
Hujan dan De Angelo
jangan bosan melihat kami yang begitu penuh cinta.


Sluurp....
Tenggakan terakhir spicy chicken tersisa di ujung bibirku.
"Sayang, mie aku udah abissssssss...", aku merengek manja

Soalnya ku mau minta semangkuk lagi cinta

Ada penyakit tidak elit yang akhir akhir ini melanda kami.
Ya, bukannya berharap dapat penyakit yang lebih "elit" daripada ini sih, hanya saja aku bosan dengan penyakit ala anak kost-an ini.


Masuk angin.


Ya, baiklah, aku juga tidak akan membahas mengapa manusia bisa masuk angin dan bagaimana penyebabnya, karena pacarku bisa ngomel-ngomel nggak karuan kalau aku salah menyebutkan mekanismenya, hahaha...


Aku bosan. Iya. Bosan setengah mati dengan penyakit ini. Apa? Trapped wind? Enter the wind? Aku belum tahu penyakit ini bahasa Inggrisnya apa, atau apakah di Inggris ada penyakit ini.


"Say"
Ya..


"Aku sakit"
Sakit apa? Demam? Pusing? Mual? Udah makan? Jam berapa tidur tadi malam?


(Sudah panik setengah mati. Dia sakit. Dia sakit)


"Masuk angin"
... (speechless)


"Iya, pegel, pusing, mual, gak enak badan"
Ooh... (mulai datar)


"Say"
Iya, aku juga masuk angin.


"Yee... Sama aja, gimana sih"


Hah, yah, si calon dokter ku ini melirik setiap kali aku tanya kok calon dokter masuk angin melulu. Kadang-kadang, eh, seringkali aku berpikir, bosan juga ya dengan penyakit satu ini. Minum  air hangat, makan teratur, paracetamol, dan minum tolak angin (supaya pintar)


Bosan. Bosan. Bosan.
Ingin sekali-sekali pergi ke klinik dan bilang
"Dok, saya sakit. Masuk angin. Saya perlu obat."


Ah, sudah ah, gak enak badan nih, mual-mual, muntah..
Jadi nanti kalau ada yang tanya aku kenapa muntah-muntah, aku tinggal bilang


"Pregnant"
(hmm..sudah terdengar lebih elit belum ya?)


sembuh.sembuh.sembuh.
sembuh dong, bosan nih


Ingatkah dia akan hari ini?

Hari ini adalah 7th monthliversary kami.
Tidak ada sms atau telpon tengah malam, tidak ada sms selamat pagi, tidak ada kabar sama sekali sampai siang ini.

Aku berkali-kali melihat layar handphone-ku dengan sedikit berharap (baiklah... banyak berharap sebenarnya)

Kosong, hanya layar kosong dengan wallpaper yang tidak menarik hati.

Hanya sms kecil dariku mengingatkan dia untuk makan siang,
dan memang aku belum mengatakan apa-apa padanya tentang hari ini,
aku menunggu sampai ia menyelesaikan segala urusannya dengan ujiannya tercinta.

Aku tidak menuntut apa-apa, karena aku juga tahu.

Aku tidak akan membangunkannya tengah malam, karena esoknya ia harus menghadapi ujian besar, aku tidak mengharapkan selamat pagi karena dia pasti telah terbangun dan berpakaian rapi jauh sebelum aku terbangun.

Aku tidak mengharapkan kabar darinya karena mungkin saat ini dia tengah menunggu sambil beberapa kali melihat dan menghafalkan catatannya berulang-ulang.

Dan aku juga tidak minta hari ini diingat, karena mungkin hari ini hanyalah ritual, kami menjalani hari-hari cinta seperti biasa.

Namun aku tidak akan lupa, sebenarnya, karena ini yang ke tujuh.
Seven, dan dia sangat menyukai angka 7. Angka yang cantik, angka yang selalu bertengger pada password-nya, pada pintu kamarnya, dan padaku.

Padaku?
Lucky number seven.

Ya, aku sangat beruntung karena memiliki James Bond 007 yang selalu dikelilingi cewek-cewek cantik, tapi selalu pulang untuk mengecup keningku dan tersenyum.

Sudah tujuh rupanya? Aku anggap tujuh ini adalah lapisan yang luar biasa, lapisan cinta yang mampu bertahan dengan caranya.

Seventh Heaven.

Tulisan ini begitu sederhana, aku tahu. Tulisan sederhana yang mengawang-awang di angkasa, entah, mungkin aku belum mampu menangkap kata-kata.

Aku hanya tahu, waktu berjalan begitu cepat bersamamu, tidak terasa tujuh telah menangkupkan angkanya pada genggam tangan kita.
Masih terasa pelukmu yang erat dan wangi tengkukmu yang kusuka.
Masih banyak hari yang ingin aku bagi, masih banyak cerita yang ingin aku alami, masih banyak cinta yang ingin aku beri.


Masih dengan doa yang sama, puja puji dan rasa syukur tak henti.
I do, love you still, and always will.


You are my lucky number 7.
You are my Seventh Heaven.
Have a happy day, honey bear. You know I miss you so much, just too much.


Happy 7th monthliversary.
Hugs and kisses.


Your secret admirer,
Hujan.


Tidak ada yang lebih hebat dari jagoanku satu itu.
Tidak, aku tidak berlebihan.

Kalau ada satu orang yang aku tuliskan tentang apakah altruisme itu, aku dengan sangat, menggebu-gebu menuliskan namanya di deret pertama

Tidak ada seseorang yang rela menghabiskan waktunya bersamaku padahal esok harinya dia harus menempuh ujian kedokteran yang sulit.

Dan masih rela pulang cepat untuk menemuiku dan tersenyum, tidak menunjukkan betapa ia frustasi, hanya memelukku erat, kemudian baru bercerita.

Tidak, senyumnya tak akan lepas, meskipun aku sedang sakit, dia akan rela menguatkan badannya untuk merawatku, meskipun seringkali aku malas sekali makan, dia akan rela pergi membeli makanan apapun yang aku sukai, membalurkan minyak kayu putih ke tubuhku, dan memelukku hingga pulas.

Dia yang akan bangun pagi-pagi dan menghujaniku dengan kecupan manis setelah sarapannya siap, serta segelas susu hangat untukku.

Dia yang akan tahu betapa aku menginginkan es krim keju, meskipun aku sedang batuk, atau radang, dan tetap membelikannya, asal aku mau meminum obatku secara teratur.

Dia yang rela begadang sampai jam 2 pagi hanya untuk mendengarkanku berbicara, bercakap-cakap denganku, ataupun berdebat.

Dia akan terus menggenggam tanganku selama aku menginginkannya. Dia yang tidak akan ikutan ngambek ketika aku menolak sesuatu yang menjadi inginnya.

Dia yang akan tahan-tahan saja dengan segala kesibukanku dan tidak mengeluh.

Dia yang akan tetap berusaha keras demi aku.

Dia yang tidak akan marah ketika aku belum sempat melakukan apa-apa ketika dia pulang.

Dia yang akan tetap mengantarku hingga di dekat rumah, ya, hanya di dekat rumah, karena masalah pernah terjadi di rumahku, namun dia tetap menerimanya sebagai salah satu konsekuensi.

Dan hari ini dia sangat gila.

Sangat gila.

Dia mengantarku pulang, menghabiskan beratus-ratus ribu di bensin, tol, makanan, dan tenaga hanya untuk mengantarku pulang sampai rumahku, 2,5 jam! dan pulang setelah melihatku sampai di rumah dengan selamat, menempuh 160 km lebih lagi, 3 jam lagi untuk kembali menghadapi kemacetan di jalan tol, kembali menguras tenaga, padahal ujian yang besar masih menantinya di hari Senin.

Namun dialah yang akan menangis setiap kali aku harus pulang, namun tetap meyakinkan dirinya kalau aku harus pulang, kalau masih banyak yang membutuhkan aku.

Dia yang akan memelukku paling erat.

Mengetahui semua bagianku, anatomi tubuhku.

Dan jika aku harus menuliskan cinta, seribu kata. Aku yakin akan menuliskan namanya sepuluh ribu kata.





untuk De Angelo, sepuluh ribu cinta, seribu kata.

Kami tidak terbaring lemah tak berdaya di atas tempat tidur. Belum, mungkin. Akh, akhir-akhir ini penyakit menyergap secepat rindu melesat.

Mual, mual, mual.
Hanya itu.

Pusing, pusing, pusing.
Lagi-lagi itu.

Capek, lemas, lelah.
Berulang.


Aku dan dia, sedang sakit, di tempat berbeda.

Sama-sama sedang saling mengkhawatirkan.

Aduh, padahal malarindu saja sulit aku tangani, apalagi ini!


Makan yang teratur, asupan susu dan vitamin diperbanyak,
karena layaknya cinta yang mengintip dari jendela,
virus-virus mendaki setiap jengkal tubuhmu dan menggerogotinya satu persatu.



Sembuh, sembuh, sembuh.
Supaya aku bisa mengobati malarindu dan bertemu denganmu.


Whoosh... Pesawat kertas itu meluncur turun dari lantai 2 Depok Town Square, tidak terbang jauh, menukik, jatuh, dan terinjak.

Setahun, setahun sejak kita menutup buku, menghisap semua senyuman dan bahagia yang disusun bersama. Dikunci, ditutup rapat, dengan seribu satu kode yang tak terpecahkan. 
Lihat, lihat! Kita bahkan menyimpan seyum, canda, dan tawa. Tapi kita lupa menyimpan sakit dalam box yang berlipat ganda itu. Sehingga, kita lupa caranya bahagia bahkan saat hanya bertatap muka.

Langit merah, Sky
Aku selalu takut dengan langit yang berwarna merah. Langit yang merah, menghantuiku jika aku belum juga sampai di rumah, langit yang panas, langit yang penuh polusi dan debu, bukan langit senja malu-malu, hanya langit merah, langit refleksi api dan darah.

Tahukah kamu?

Aku sering bersembunyi dari langit yang berwarna merah, melirik tiap waktu seperti hampir terbakar.

Dan ternyata, langit merah memang mampu membakar.

Sky, ingat dompet coklat Planet Ocean-ku yang baru saja hilang? 
Mungkin itu persembahan dan perayaan untuk satu tahun kita berpisah. Semua foto kita, hilang, tidak tersisa sedikitpun setelah sekian lama aku mengumpulkannya dalam satu tempat.

Ingat kartu Mario Card yang bertuliskan inisial namaku, Freya? Kamu pasti tidak akan lupa, bagaimana aku berjam-jam jejingkrakan bermain game itu sementara mainanmu Time Crisis 4, dan aku sibuk mendapatkan piala-piala kecil sampai stage akhir. Ya, kartu itu hilang juga, kok.

Lengkap sudah.

Perayaan kita dirayakan oleh kebetulan kebetulan yang nyata.
Kita berubah, aku tahu, hanya jangan sampai aku melihat tirus di wajahmu yang sudah sangat kurus.

Sky yang sangat kusayangi. Aku tau kamu tak akan mengingat tanggalan esok hari, kalau perlu kamu buang jauh-jauh dari kalender, kamu bakar, biar aku yang meramunya dan mengingatnya seperti pesawat terbang kertas yang kuhembus.

Bahwa aku mampu melewati hari tanpamu, mengular melewati jembatan panjang, menyinggahkan hatiku ke stasiun yang lebih besar, ke tempat dimana aku bisa meletakkan hatiku dengan nyaman.

Sungguh, ini bukan ritual, ini juga tidak sakral. Aku hanya tidak bisa membencimu, hanya hati kita sudah sama-sama luka dan nganga untuk saling jatuh cinta. Aku sudah menghapus mimpi, janji, meniupnya lepas terbakar di langit merahmu.



The End.
hanya saja aku tidak bisa melupakanmu.




Keretaku tidak lagi pernah berhenti di stasiun itu, lagipula kita sudah sama-sama meninggalkan kenangan.

Kemarin, luka itu nganga, pada orang yang berbeda. Aku tersenyum, mengingat kisah lama kita.

Sky, langit merah.
Seperti katamu yang menyuruhku pergi dan melaju ke stasiun berikutnya.
Aku telah menitipkan hatiku, yang tidak merah sempurna, yang tidak lagi rata, kepada seseorang yang tetap mau menerimanya dengan lapang dada dan sukacita, merentangkan tangannya lapang-lapang saat aku memberikan hatiku yang penuh gurat kepadanya dan menangis.

Dan dia, De Angelo.
Dia hanya menghapus air mataku dan memelukku erat, dan berkata:

"Tidak apa-apa sayang, justru karena itu aku memilihmu, karena kamu sudah dewasa, sudah mau memahami, dan sudah mampu belajar."


Aku berhenti di tiap ujung jalan, aku berhenti di tiap sudut ruang, dan mencari. Ada kunang-kunang berkerlap, ada bayang-bayang berkerlip. Kunang-kunang yang tak bisa terbang karena tubuhnya yang mungil tersangkut di jaring laba-laba tipis, seperti bayang-bayang yang masih tertinggal di dalam kenangan.

Aku beranjak mendekat, kunang-kunang yang berkerlap lemah, dan mungkin laba-laba besar mengintipku di balik gelapnya semak kala malam. Aku mengoyak sarang laba-laba yang tipis yang mengikat kunang-kunang itu erat, benang putihnya menggantung di jemariku.
Sekarang kunang-kunang itu terayun, ke kiri, ke kanan, kemana entah. Aku senang, sangat senang, baru kali ini aku bisa menangkap kunang-kunang dengan tanganku sendiri. Baiklah, dibantu benang tipis sang laba-laba yang entah tengah menjelajah kemana.

Kunang-kunang dan bayang-bayang, kunang-kunang melayang, bayang-bayang berkubang. Sementara ia terayun, aku menatapnya seperti terhipnotis, kiri-kanan, kerlap-kerlip. Ada yang kurang. Ada yang hilang. Ada yang aku tidak temukan, ada kebahagiaan yang serentak reda, serentak sirna.

Aku menggigit bibir, meringis. Aku tidak menemukan kesenanganku lagi. Aku menemukan diriku dalam sosok mungil kunang-kunang kecil. Seperti sosok yang tersenyum dari mana entah, sendirian, berayun-ayun, meredup, meredam, terikat. Seperti aku yang terikat benang-benang tipis kenangan yang tak terlihat, namun aku tidak bisa bergerak, tersangkut, kembali ke dalam bayang-bayang tipis yang merantai tangan dan kakiku. Semakin aku memberontak, semakin aku tersangkut dan tertarik masuk, semakin benang-benang kenangan merantai hingga ke lengan, kemudian membalut sekujur tubuh, seperti laba-laba yang dengan tekun memintal tubuh kunang-kunang kecil itu menjadi pupa, sebelum habis disantapnya.

Akh, kenangan dan bayang-bayang. Sudah tidak ada yang akan mendengar tangisanmu lagi, sudah tidak ada yang akan mengelus kepalamu, atau memeluk tubuhmu yang menggigil, atau mengucapkan selamat malam dan selamat tidur, dan berharap malam ini akan memimpikanmu. 

Namun aku tau, tidak ada yang dapat menerimanya, termasuk kamu, maka kamu memberontak, dan semakin cepat kamu terikat, dan tenggelam. Kamu bahkan membantu memintal benang untuk menutupi keseluruhan tubuhmu, terapung-apung dalam bayang-bayang, menggantung harapan yang mempersempit ruangmu bernafas. Kamu mulai merajut mimpi-mimpi lagi, kamu mulai berangan-angan, dan kamu tertidur pulas. Lelap, sangat lelap dengan sisa oksigen yang semakin menipis, dan tak ingin terjaga. Karena kamu begitu mencintai bayang-bayang yang akan selalu membuatmu melayang, karena kamu terlalu mencintai bayang-bayang yang sebentar lagi menghilang.


Kunang-kunang kecil itu kulepaskan ke balik semak-semak yang benderang.
Ia mungkin saja mati karena sudah melupakan caranya terbang.

In the living room