Dear my Rain,
Aku tahu. Aku mengerti. Bahwa kamu butuh sebuah seremoni untuk setiap orang yang akan kamu lepaskan. Entah itu teman. Sahabat. Orang yang telah begitu baik kepadamu. Fans. Apalagi orang yang menyayangi atau kamu sayangi. Aku tahu. Aku mengerti. Maka aku berusaha memberi waktu. Memberi kesempatan. Bahkan setelah berkali-kali, mungkin tanpa sengaja, kau jatuhkan hatiku hingga pecah.
Aku tahu. Aku mengerti. Kerut tipis di gurat wajahmu dan kata-katamu berarti apa. Kau tak perlu mengatakannya secara langsung. Aku tahu apa yang kamu mau. Mungkin aku memang mulai menjadi psychic sehingga aku bisa membaca pikiranmu. Dan tak akan bisa kutepikan inginmu. Tak akan bisa kuacuhkan perihmu menahan ingin. Ku penuhi maumu. Bahkan ku suarakan asamu yang tak terkata. Lewat pita suaraku yang berusaha tegar. Meski sakit meremas-remas dada jadi sembilan ratus enam puluh tiga remah.
Ku temani kau ke tempat itu. Kuturuti asamu untuk makan di sana. Kumengerti dan kuberikan kau kata "Ayo," dan "Iya" untuk naik melalui eskalator yang akan membuatmu dapat melihatnya, bukan yang ingin kunaiki. Lagu Kotak Pelan-Pelan Saja seolah menjadi mars yang kuteriakkan bersama hatiku ketika kau tidak bisa tidak menoleh ke arahnya, bahkan mencari alasan untuk itu. Pura-pura tidak tahu. Padahal remah hati yang tersisa di dada sudah jauh lebih dari cukup untuk memberi tahu apa yang tak ingin aku tahu.
Kuberikan sebuah waktu. Kupersembahkan satu kesempatan. Bagimu. Membuat sebuah seremoni pelepasan. Untuknya. Ku silakan kau berbincang dengannya dalam waktu yang terasa menyiksa dan selamanya. Kusibukkan diriku dengan seorang teman di telepon agar aku bisa menahan diri untuk tidak mengganggumu. Setelah sekian waktu kamu akhirnya kembali dengan senyum yang begitu penuh dengan rasa terima kasih, ku berikan moment untukmu menerbangkan pesawat kertas itu. Pesawat kertas yang kau lipat sepenuh hati, kau tulisi "good bye", dan kau jadikan sebuah simbolisasi melepas dia dari hatimu.
Kita terbangkan setelah kita tertawa panik, nyaris benar-benar terkunci di tangga darurat. Jatuh di parkiran karena angin yang nakal dan kau yang melemparnya dengan cara yang menurutku salah. Dan kita tertawa. Dan tangan kita kembali saling genggam. Berusaha kabur dan tidak peduli pada pak satpam yang sepertinya bingung kenapa ada dua orang gadis berpelukan di parkiran lantai satu mall yang dijaganya.
Aku pikir semuanya selesai. Benar-benar berpikir semua itu cukup. Tapi ternyata aku salah.
Malam tadi, setelah aku kembali jauh darimu, setelah aku berusaha menerima dan bicara baik-baik tentang dia, tentang kamu, tentang aku, dan tentang perasaan masing-masing dari kita, aku dan kamu kembali bertengkar hebat di telepon. Karena inginmu. Karena realita yang sebenarnya kamu inginkan tapi belum kamu katakan. Karena katamu kamu sebenarnya ingin datang menemuinya sampai hari terakhir dia kerja di sana. Itu sebenarnya bentuk seremoni mu untuknya. Bahkan aku semakin membara dan luluh lantak ketika kau bilang sebenarnya kau ingin satu hariiiiii saja. Satu hariiiii saja. Untuk jalan berdua dengannya.
...
...
...
Hujanku, Dear... Apa yang sebenarnya kamu mau dariku? Tidak cukupkah sakit yang setengah mati aku tahan demi seremoni besarmu untuk melepasnya? Jika telah kau terbangkan, tak peduli jatuh di mana, kenapa kau ingin kembali dan mencari dan mengambil pesawat itu lagi? Sekarang kau tahu dia pun telah sakit melihatmu menggandengku. Apalagi yang kau mau? Mengapa aku merasa, sedikit demi sedikit kau meminta lebih dan lebih dan lebih lagi waktu, kesempatan untuk bersamanya, kau labeli "ceremonial", saat kau sudah bilang memilih aku dan mau melepasnya? Seolah sebenarnya kau belum rela...dan ingin dia... Jika benar, kenapa tidak lepas aku saja??? Padahal telah ku ulang dan ku ulang lagi mengatakan aku akan berusaha kuat, berusaha ikhlas, kalau kau memilih dia, melepas aku, daripada menyakiti kita bertiga.
Itu sekedar keinginan, katamu. Tidak akan kau realisasikan. Aku percaya. Tidak akan kau realisasikan jika tidak aku izinkan. Hanya keinginan. Tapi mana ada keinginanmu, bahkan yang menyakitiku sekalipun, yang tidak berusaha aku penuhi? Jika benar-benar mau kau jadikan sekedar ingin saja, kenapa tidak kau simpan sendiri? Kenapa harus kau angkat saat aku berusaha berkomunikasi pelan-pelan, baik-baik, denganmu? Tampaknya kau memang tidak mengerti bedanya...antara yang perlu kau katakan, dan yang harus kau simpan sendiri untuk menghindari bertambahnya sakitku...
Dan pertanyaan terbesarku sejak semalam hanya satu...
Kenapa dia?
Kenapa harus orang yang sms-an, fb-an, telepon2-an denganmu selama sembilan hari itu yang mau kau berikan seremoni terbesar dan terlama???
Sementara orang lain, teman-teman tiga tahunmu, delapan tahunmu, bertahun-tahunmu, cukup dengan seremoni sekedar berisi peluk dan tangis dan kata bye saja...
Jika dia memang begitu berarti bagimu lebih dari mereka, ku mohon berhentilah menyakiti aku, dirimu sendiri, dan dia. Kau tahu apa yang harus kau pilih.
Dalam kekecewaan dan sakit
yang masih teramat dalam menggigit,
Sky
January 7th, 2010
10.42 A.M.
Aku tahu. Aku mengerti. Bahwa kamu butuh sebuah seremoni untuk setiap orang yang akan kamu lepaskan. Entah itu teman. Sahabat. Orang yang telah begitu baik kepadamu. Fans. Apalagi orang yang menyayangi atau kamu sayangi. Aku tahu. Aku mengerti. Maka aku berusaha memberi waktu. Memberi kesempatan. Bahkan setelah berkali-kali, mungkin tanpa sengaja, kau jatuhkan hatiku hingga pecah.
Aku tahu. Aku mengerti. Kerut tipis di gurat wajahmu dan kata-katamu berarti apa. Kau tak perlu mengatakannya secara langsung. Aku tahu apa yang kamu mau. Mungkin aku memang mulai menjadi psychic sehingga aku bisa membaca pikiranmu. Dan tak akan bisa kutepikan inginmu. Tak akan bisa kuacuhkan perihmu menahan ingin. Ku penuhi maumu. Bahkan ku suarakan asamu yang tak terkata. Lewat pita suaraku yang berusaha tegar. Meski sakit meremas-remas dada jadi sembilan ratus enam puluh tiga remah.
Ku temani kau ke tempat itu. Kuturuti asamu untuk makan di sana. Kumengerti dan kuberikan kau kata "Ayo," dan "Iya" untuk naik melalui eskalator yang akan membuatmu dapat melihatnya, bukan yang ingin kunaiki. Lagu Kotak Pelan-Pelan Saja seolah menjadi mars yang kuteriakkan bersama hatiku ketika kau tidak bisa tidak menoleh ke arahnya, bahkan mencari alasan untuk itu. Pura-pura tidak tahu. Padahal remah hati yang tersisa di dada sudah jauh lebih dari cukup untuk memberi tahu apa yang tak ingin aku tahu.
Kuberikan sebuah waktu. Kupersembahkan satu kesempatan. Bagimu. Membuat sebuah seremoni pelepasan. Untuknya. Ku silakan kau berbincang dengannya dalam waktu yang terasa menyiksa dan selamanya. Kusibukkan diriku dengan seorang teman di telepon agar aku bisa menahan diri untuk tidak mengganggumu. Setelah sekian waktu kamu akhirnya kembali dengan senyum yang begitu penuh dengan rasa terima kasih, ku berikan moment untukmu menerbangkan pesawat kertas itu. Pesawat kertas yang kau lipat sepenuh hati, kau tulisi "good bye", dan kau jadikan sebuah simbolisasi melepas dia dari hatimu.
Kita terbangkan setelah kita tertawa panik, nyaris benar-benar terkunci di tangga darurat. Jatuh di parkiran karena angin yang nakal dan kau yang melemparnya dengan cara yang menurutku salah. Dan kita tertawa. Dan tangan kita kembali saling genggam. Berusaha kabur dan tidak peduli pada pak satpam yang sepertinya bingung kenapa ada dua orang gadis berpelukan di parkiran lantai satu mall yang dijaganya.
Aku pikir semuanya selesai. Benar-benar berpikir semua itu cukup. Tapi ternyata aku salah.
Malam tadi, setelah aku kembali jauh darimu, setelah aku berusaha menerima dan bicara baik-baik tentang dia, tentang kamu, tentang aku, dan tentang perasaan masing-masing dari kita, aku dan kamu kembali bertengkar hebat di telepon. Karena inginmu. Karena realita yang sebenarnya kamu inginkan tapi belum kamu katakan. Karena katamu kamu sebenarnya ingin datang menemuinya sampai hari terakhir dia kerja di sana. Itu sebenarnya bentuk seremoni mu untuknya. Bahkan aku semakin membara dan luluh lantak ketika kau bilang sebenarnya kau ingin satu hariiiiii saja. Satu hariiiii saja. Untuk jalan berdua dengannya.
...
...
...
Hujanku, Dear... Apa yang sebenarnya kamu mau dariku? Tidak cukupkah sakit yang setengah mati aku tahan demi seremoni besarmu untuk melepasnya? Jika telah kau terbangkan, tak peduli jatuh di mana, kenapa kau ingin kembali dan mencari dan mengambil pesawat itu lagi? Sekarang kau tahu dia pun telah sakit melihatmu menggandengku. Apalagi yang kau mau? Mengapa aku merasa, sedikit demi sedikit kau meminta lebih dan lebih dan lebih lagi waktu, kesempatan untuk bersamanya, kau labeli "ceremonial", saat kau sudah bilang memilih aku dan mau melepasnya? Seolah sebenarnya kau belum rela...dan ingin dia... Jika benar, kenapa tidak lepas aku saja??? Padahal telah ku ulang dan ku ulang lagi mengatakan aku akan berusaha kuat, berusaha ikhlas, kalau kau memilih dia, melepas aku, daripada menyakiti kita bertiga.
Itu sekedar keinginan, katamu. Tidak akan kau realisasikan. Aku percaya. Tidak akan kau realisasikan jika tidak aku izinkan. Hanya keinginan. Tapi mana ada keinginanmu, bahkan yang menyakitiku sekalipun, yang tidak berusaha aku penuhi? Jika benar-benar mau kau jadikan sekedar ingin saja, kenapa tidak kau simpan sendiri? Kenapa harus kau angkat saat aku berusaha berkomunikasi pelan-pelan, baik-baik, denganmu? Tampaknya kau memang tidak mengerti bedanya...antara yang perlu kau katakan, dan yang harus kau simpan sendiri untuk menghindari bertambahnya sakitku...
Dan pertanyaan terbesarku sejak semalam hanya satu...
Kenapa dia?
Kenapa harus orang yang sms-an, fb-an, telepon2-an denganmu selama sembilan hari itu yang mau kau berikan seremoni terbesar dan terlama???
Sementara orang lain, teman-teman tiga tahunmu, delapan tahunmu, bertahun-tahunmu, cukup dengan seremoni sekedar berisi peluk dan tangis dan kata bye saja...
Jika dia memang begitu berarti bagimu lebih dari mereka, ku mohon berhentilah menyakiti aku, dirimu sendiri, dan dia. Kau tahu apa yang harus kau pilih.
Dalam kekecewaan dan sakit
yang masih teramat dalam menggigit,
Sky
January 7th, 2010
10.42 A.M.
2 loves:
Dan pesawat kertas itu...Dan pengorbananku itu... Dan pertemuan itu...memang tidak menjadi seremoni... Karena meski dia mencoba meyakinkan,...Tetap pula ia meneruskan...
Seharusnya pertanyaan itu...
Tidak untuk diutarakan...
Karena jika diutarakan, atau bahkan terutarakan...
Menciptakan cermin 'ketidak ikhlas'...
Aku pernah punya pertanyaan seperti itu...
Banyak dan menari-nari...
Menyesak dan membelalak mata...
Insomnia berkepanjangan...
Hingga kini...
Untuk dia yang meninggalkan...
Setelah kebahagiaan yang diberi...
Hanya seumur jagung...
*) Cukup kamu dan DIA yang tau...
Perih itu... Mendewasakan...
Salam kenal...
Posting Komentar