Pada remah-remah jelaga yang tersisa di matamu, aku terjaga. Pekat, seperti bayang-bayang pada tiap mimpi burukku.
Selepas kau membaca garis tanganku – katamu begitu, senja menapaki jalannya sendiri menuju jendelamu. Dia mengecup merahmu, menadah kaki-kaki kecilmu yang kadang-kadang terluka ketika kamu memanjat tangga-tangga malam.
Kamu lucu, kadang-kadang kamu kesal saat tergelincir dari tangga-tangga mimpi, karena itulah aku jarang membangunkanmu.
Kamu cantik, aku bisa memastikannya, karena rekah saja singgah di kecup merahmu. Dan bola mata hitammu, nyala ketika kerlip warna bintang-bintang palsu – dengan doa-doa malammu yang khusyuk, menyentuh retinamu.
Selepas kau membaca garis tanganku – katamu begitu, senja menapaki jalannya sendiri menuju jendelamu. Dia mengecup merahmu, menadah kaki-kaki kecilmu yang kadang-kadang terluka ketika kamu memanjat tangga-tangga malam.
Kamu lucu, kadang-kadang kamu kesal saat tergelincir dari tangga-tangga mimpi, karena itulah aku jarang membangunkanmu.
Kamu cantik, aku bisa memastikannya, karena rekah saja singgah di kecup merahmu. Dan bola mata hitammu, nyala ketika kerlip warna bintang-bintang palsu – dengan doa-doa malammu yang khusyuk, menyentuh retinamu.
Kamu nakal, tangan-tangan kecilmu seringkali menyentuh pipiku yang kembali merindu. Jari-jari kecil yang menari-nari diantara percik air, menyalakan sedikit lagi kehidupan, di dalam hitungan kala yang berbeda.
Kamu berbisik – sayangnya bukan padaku, pada tiap pasir pantai yang kita kumpulkan dalam botol-botol kaca. Pada kerikil yang kau susun satu-satu. Pada air yang seringkali membuatku tergelincir. Pada suatu tawa yang mampir mengetuk pintu kita tiap senja. Pada hangat, yang selalu memelukmu manja tiap jedanya.
Pada rinduku, yang akhir-akhir ini mencari jalannya sendiri untuk pulang ke singgahmu.
1 loves:
ini tulisannya bagus banget mbak... ^^
Posting Komentar