Sewaktu kecil, aku senang sekali bermain lego. Tumpukan semakin tinggi, dan semakin kuat. Namun yang aku bangun hanya itu-itu saja. Benteng, pagar, benteng, pagar, benteng, pagar.
Ya, aku membangun batas-batasku sendiri. Membuatnya sekokoh mungkin, membuatnya setinggi mungkin.
Aku susun supaya terlihat indah dari luar, berwarna warni, menarik. Cantik. Padahal di dalam, aku tengah menambal lorong-lorong yang hampir rubuh. Menahan dinding yang hampir luruh. Dan menangis.
Aku benci menangis. Meskipun aku seringkali gagal menahan bulir air mata meluncur turun dari pipiku. Menetes, atau bahkan membanjir. Dalam diam. Aku berusaha menangis dalam diam. Menelan sesenggukan. Menelan semua suara.
Dan malam ini aku luruh. Seperti tumpukan stacko yang tinggi sekali,
namun kemudian rubuh.
Aku kembali menangis. Dalam diam.
Kadang-kadang aku takut menangis. Eh, seringkali. Aku dipaksa diam, terpaksa diam, kemudian terbiasa diam.
Aku hebat, aku hebat, aku hebat, karenanya... tidak boleh menangis.
Aku keras kepala.
Aku egois
Aku...
Aku....
Kembali membangun tumpukan bata, menjadi benteng, pagar, benteng, pagar.
Sampai akhirnya aku benar-benar menangis.
Rindu.
Sangat rindu.
Maka aku membangun sebuah pintu,
dan jendela.
dan aku bersembunyi di balik tirai, dan berharap.
Ketuklah, ketuklah, ketuklah dan datanglah.
Carilah, carilah aku.
Aku rindu, sangat rindu.
Aku merobohkan semua bangunan benteng dan pagar, benteng dan pagar.
Sekarang hanya ada aku, sebuah pintu, dan sebuah jendela.
Aku rindu, Aku rindu.
Maaf, aku harus membukakan pintu.
Karena hanya dia yang membawa kuncinya.