kau masih ingat bagaimana kita dulu membangun pilar dengan tangan-tangan mungil kita, tangan yang belum penuh gurat luka seperti sekarang.
rumah kita penuh dengan kaca yang memecahkan dirinya karena iri pada pasangan muda yang saling jatuh cinta, padahal setelahnya kita berlomba bunuh diri.
sudah berapa lama luka ditenggak? sudah berapa lama kita diam tak beranjak?
aku dan kamu berkali kali gagal hidup, kemudian berkali kali gagal mati.
malam ini aku menggurat diri lagi, karena kenangan demikian pekat, karena nafas demikian singkat.
karena luka, sudah mulai lupa rasa sakitnya
mungkin karena terlalu lama bersandar, kapalku lupa bagaimana caranya berlayar
mungkin karena terlalu lama berlabuh, aku lupa bagaimana caranya mengayuh
Sepagian tadi aku meramu rindu, tepat ketika kupu-kupu mencelup kakinya dalam putik bunga kenanga. Sudah lama kenangan pergi rupanya, sudah tidak bisa lagi dihitung jari. Sudah berjelaga mata, sudah beriak tumpah bulir mengalir dari ujungnya.
Fiuh... hela nafasku semakin berat, kalah cepat dengan detik waktu yang mengecup mataku.
Selamat tidur, cinta. Aku adalah, dan hanyalah pujangga yang kalah di medan laga.
Ada saat-saat, banyak bahkan, dimana rasanya membaca atau menulis rasanya luar biasa sulit, tidak perduli berapa buku yang dikunyah atau jurnal yang dilumat perlahan.
atau ketika kita kehilangan percaya pada kata,
berupaya mengeja kata demi kata, menyambung rima demi rima...
kemudian menangis
mungkin mataku dibutakan oleh kata yang berlompatan sekenanya
aku, hanya bisa meraba kata.
Sky! Luna!
aku memanggil mereka di tengah diskusiku dan menghentikannya. setelah mengangguk dan meminta izin dari partner diskusiku, aku beranjak menemui mereka yang hendak pergi.
Ini saatnya, sudah, beranikan saja.
mungkin kamu pikir ini adalah hal yang sepele, buatku tidak. memanggil mereka pertama kali, yang dibayanganku adalah seuntai senyum manis dan pelukan karena rasa rindu yang tak terbendung lagi, tapi sayangnya kali ini aku hanya mendapatkan sebuah senyum datar dan jabat tangan yang kaku tak terbayang.
Selamat ya~
hanya itu yang terucap.
aku berusaha membendung tangisku sendiri.
aku berbalik, menahan air mata dan menelan kekecewaanku sendiri.
kemudian berbisik, membangga banggakan diri
"aku yang menyalami dan menegur mereka duluan, loh."
lalu selanjutnya senyap.
aku kehilangan minat pada kata