Malam itu di kereta pulang.
Sehabis jengah seharian membakarnya dengan cemburu. Ia tertidur, pulas. Ia tertidur pulas di bahuku, bersender. Tidurnya sangat nyenyak sampai-sampai ia tidak tahu kalau aku telah bergeser.
Masinis memanggil-manggil. Kami sudah harus turun. Aku mengguncang bahunya. Dia tidak terbangun. Dia tengah tertidur. Sangat lelap. Aku panik. Aku mengecek jalan nafasnya. Masih disana. Aku mengguncang bahunya lebih keras. Aku pikir ia tengah bercanda. Aku melihat air mata mengaliri pipinya ketika ia tertidur. Kubangunkan ia dengan keras. Kupaksa ia bangkit berdiri, meninggalkan kereta, berjalan keluar pintunya.
Ia tersentak ketika ia menjejakkan kakinya di stasiun. Tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu seiring jantungnya memacu. Sangat cepat, sangat keras. Tubuhnya seperti gigil. Ia menangis. Tatapannya kosong. Ia mulai menangis. Tanpa suara.
Aku hanya bisa memeluknya. Mengambil semua peralatan, tas, barang bawaan yang masih melekat pada dirinya. Aku memeluk tubuhnya yang ringkih dan gemetar. Trembling. Gemetar. Aku panik.
Aku mengelus kepalanya. Menciumi pipinya. Tidak peduli berapa pasang mata menatap kami. Ia masih dalam pelukanku. Berdiri, gemetar, dan menangis tanpa suara.
Aku menggenggam semua barang bawaan kami ala kadarnya. Aku harus mampu memapahnya, menyebrangi rel kereta. Aku tidak boleh menangis. Ia kehilangan suaranya.
Aku mendudukkan dia di sebuah tempat duduk. Aku memanggil taxi sambil sesekali menatap ia yang sedang duduk terpaku. Aku minta ia menulis sesuatu. Yang ia tulis hanya 3 kata : I can't tell.
Aku bersusah payah memanggil taxi pada pertigaan Pegadegan yang sempit. Rintik menyapa. Dia masih duduk tergugu, tiba-tiba beranjak dan mengikutiku memanggil taxi. Aku memaksanya duduk sampai taxi berlogo burung biru itu muncul. Kududukkan dia di dalam. Kuhapus air matanya.
"Aku...aku cinta kamu, Rain"
Suaranya hilang, ia membuat isyarat cinta dengan kedua tangannya. Dan menambakan kedipan manis di akhir. Taxi mengantar kami ke depan pintu rumah. Aku masih harus membawanya ke kamar.
Ia terjatuh di dekat tempat tidur. Sepertinya ia tidak punya tenaga untuk berdiri. Aku memaksanya minum di gelas. Ia tidak berespon. Kutenggak isi gelas dan kutuangkan ke dalam mulutnya perlahan selagi aku mengecupnya. Air tertinggal di rongga mulutnya. Ia tidak mampu menelan apapun. Air membasahi bajunya. Mengalir keluar.
Aku menangis. Aku hanya bisa memohon maaf di kakinya. Aku hanya bisa mengatakan betapa aku mencintainya. Dia tidak berespon. Dia tidak mengerti.
Aku bersiap mengambil air yang lebih hangat ketika ia memanggilku dengan isyarat telunjuknya. Ia meminta air. Aku kembali menggambilkan gelas. Ia menggeleng. Ia meminta bibirku.
Aku menenggak air yang lebih hangat. Kutuangkan ke dalam rongga mulutnya. Sama. Tidak ada yang tertelan. Tangannya mengarahkanku mencengkram lehernya. Aku hanya mencengkram pinggir lehernya. Air mengalir masuk ke kerongkongannya.
"A...a...aa...", katanya terbata, berusaha menetralkan suaranya.
"Aku cinta kamu, Rain"
Nafasnya sudah lebih teratur. Ia masih berusaha menjernihkan suaranya,
"A...a...a...aku cinta kamu, Rain", katanya sambil tersenyum.
Aku membaringkan dirinya dalam lelap sekali lagi.
Aku tahu dia tidak akan ingat apa yang terjadi.
Sst...
Aku tahu, bahkan dalam tidur lelapnya, ia sangat mencintaiku
*this story is real. De Angelo tidak ingat apa-apa lagi ketika terbangun. Ia hanya tahu kepalanya sakit sekali dan sangat mengantuk. Aku berusaha menceritakan semuanya, tapi ia tidak percaya. Yah, akupun hanya menulis supaya aku tidak gila. Itu saja
0 loves:
Posting Komentar