"Happy birthday, my first love~"
Selamat ulang tahun, sayangku. Lelakiku tersayang, lihat aku masih mengingat tanggal lahirmu. Kau tahu aku selalu merindukanmu, kan?
Lelakiku, maaf hari ini aku tidak mengirimimu ucapan ulang tahun tepat jam 12 malam, karena aku tahu, kamu bukan pemilik nomor handphone yang kuhafal luar kepala itu lagi. Dan aku tidak rela lelaki lain membalas pesanku sebagai dirimu. Tidak ada yang pernah sama, sayangku. Dan lelaki yang bernama Herman yang meng-add aku di facebook, hanyalah menyisakan jurang betapa kamu begitu sempurna di mataku.
Lelakiku yang tampan, lelakiku yang sangat aku cintai. Usiamu beranjak 21, aku membayangkan postur tubuhmu yang tegap merangkul tubuhku yang ringkih. Aku sedang menangis, sayang. Kamu pasti tahu. Kamu pasti mendengar. Tapi kamu tidak datang dan memelukku saat ini. Kamu tidak pernah memelukku. Kita hanya menatap langit-langit dan berharap bisa menangkap gema satu sama lain. Kita, atau aku saja saat ini, aku tidak tahu.
Aku sedang menangis, sayang. Menangis karena jatuh cinta. Jatuh cinta kepadamu menyisakan ketegaran dan pencarian tiada akhir pada sosokmu, sosok yang lebih darimu. Namun, ketika aku berhenti mencari dan berhenti berharap, sosok itu datang. Sosok yang bisa membuatku jatuh cinta, sekuat aku mencintai dirimu, mendekapku dengan cintanya yang meluap-luap.
Sayangku, ingat saat kita LDR Jakarta-Bandung dahulu? Aku sangat menyesal kita tidak pernah bertemu. Karena itulah aku menebus kesalahanku kali ini, aku selalu datang padanya, menembus kantuk yang menghinggapi kaca bus antar kota, untuk menemukan kembali genggam tangan yang erat dan penuh cinta, pada tangan yang selalu menunggu genggamku.
Sayangku, kamu pasti akan menghentikanku menulis jika kamu melihat tanganku gemetar menekan tuts keyboard yang mulai terasa asing. Akankah kamu menarikku ketika tulisanku sudah mulai berbayang ketika air mata ini menggenang?
Lelakiku yang beralis setebal ulat bulu, kamu tahu bagaimana sakitnya aku ketika berpisah denganmu? Bagaimana aku harus menanggung rasa pedihku berpisah dengan sosok yang aku cintai kali ini? Sosok yang tidak pernah melebihi dirimu karena ia sungguh berbeda denganmu, sosok yang kucuri tatapan matanya ketika lelap, kudekap tubuhnya untuk terus merasa hangat, kusita suaranya untuk mengecap manis bibirnya.
Sekarang ia pergi, sayang. Pergi karena aku mengejar sesuatu yang sangat aku sukai. Pekerjaanku. Pekerjaan impianku. Pekerjaan masa depanku. Aku egois, kah?
Aku mungkin akan mengulangi kesalahan yang sama dengan saat itu, sayang. Saat dimana aku memilih mengikuti ujian dibandingkan bertemu denganmu dan menonton film taxi, sebuah kesalahan yang membuat aku selamanya tidak pernah mampu meraba bibir merah mudamu.
Bagaimana harus kukatakan? Kalau aku harus mengundur jam pertemuanku dengan kekasih yang sangat aku cintai sekarang, demi membuat diriku merasa berharga, sekali lagi, dengan melihat kembali stopwatch, buku-buku tes, lembar jawaban, respon, wajah-wajah yang mungkin akan kutemukan di kampus ternama.
Bagaimana harus kukatakan bahwa aku sangat mencintai pekerjaanku, di sisi lain aku juga mencintainya, dengan cara yang berbeda? Bahkan aku rela tidak menerima sebuah kertas tanda pembayaran gaji untuk mengerjakan pekerjaanku sekarang. Jujur, aku sangat kecewa... Terkadang aku merasakan ia tidak mengerti pekerjaanku, impianku menjadi tester, menjadi seorang psikolog. Kadang-kadang ia kurasa terlalu memaksakan pemikirannya, tidak asertif, dan tidak mampu menerimaku apa adanya.
Namun kali ini, aku benar-benar sedih. Rasanya seperti membayangkan menjadi ibu rumah tangga yang terkungkung di balik isu gender yang selama ini aku tentang. Ilmuku akan hanya sampai bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik, setebal buku 500 halaman, berisi teori tentang marriage, gender, menua, memahami orang lain, ketika pikiranku nantinya mulai digerogoti demensia. 4 tahunku terbuang cuma-cuma di mata kuliah teori, rasanya seperti seharusnya aku ikut kursus masak ala ibu-ibu rumah tangga, meronce, merajut, menyulam, mengasuh anak, suami, lalu mati. Kemudian ia datang dan memuji masakanku, meminta dipijat lelah bekerja, memberiku kartu kredit untuk berbelanja, kemudian menonton sinetron jika dia tidak ada, pergi jauh melaksanakan tugasnya, bercengkrama dengan orang lain dan berbagi pengetahuan, sedangkan aku akan berbicara pada dinding-dinding yang bertelinga, gosip ibu-ibu rumah tangga tentang si anu dan si itu. Sesuatu yang sudah bisa aku analisa lewat teori behavioral yang aku pelajari. Rasanya tangan dan kakiku sudah terantai habis saat aku menangis, sayang. Sudah kamu lihat amarah dalam kecewaku?
Sayangku, lelakiku. Bisakah kamu tetap mengatakan padanya bahwa aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya, lebih dari dirimu? Bahwa aku rela mengorbankan waktuku, dan diriku, hanya untuk membeli jam dimana aku bisa berkumpul bersamanya, lebih darimu yang tak pernah kutemui?
Aku sedang berharap sambil menatap layar kaca telepon genggam di tanganku. Berharap semuanya baik-baik saja, berharap ada nomor yang aku kenal memanggilku dari seberang sana, berharap dia menelponku dan mengembalikan nada suaranya yang manja, mesum, genit, nakal, bijak, tampan, manis, ketus, dan berkata padaku.. "Sayang..."
Katakan padanya bahwa aku mencintainya meskipun ia membenci aku bekerja. Katakan bahwa keinginan aku bekerja sama dengan keinginannya menjadi dokter yang hebat diluar sana. Katakan bahwa aku sudah menggantungkan mimpi yang sama sejak lama. Mimpi yang aku sandingkan berdekatan dengan mimpiku bersama dirinya, selamanya.
reminder
2 hari yang lalu
1 loves:
HBD A***a....
Bidadarimu sudah milik Angelo skg..
terjamin aman, damai sentosa bersama malaikatnya di sini.
good luck whereever you are..
Gbu
-Angelo-
Posting Komentar