Kenangan itu, datangnya seperti popcorn yang meletup sekenanya di panci yang menyala.
Pop.pop.pop.pop.
Kenangan itu, rasanya seperti biji-biji jagung yang merekah sesukanya.
Pop.pop.pop.pop.
Kenangan itu, meledak seketika.
Saya harus pindah, untuk membuatnya lebih mudah.
Perpindahan memang makan waktu, mengepak barang yang sudah lama berdebu.
Belum lama, pada hari saya wisuda, Sky mengepak semua barang-barang saya yang tertinggal dalam kardus.
Dengan menitip pesan bahwa tidak akan ada lagi kenangan tentang kami.
Kadang kala saya yang terlalu lama berkompromi dengan kenangan. Ruang-ruang singkat yang semakin lama semakin menyusut. Kami semua sudah beranjak dari kehidupan kuliah, yang kadang masih saja mempertemukan kami dalam lingkup dan ruang yang sama. Saya pikir, saya seharusnya pergi, karena pada saat terakhir saya melepaskan toga dan segala pernah perniknya, saya tahu, kehidupan saya dimulai dari sini. Tentang bagaimana memperjuangkan mimpi ketika orang lain menginjak-injak harapanmu
Saya menyelesaikan tugas saya sebagai mahasiswa. Kemudian mengakhirinya dengan bangga. Apa perlu, saya tinggalkan rumah ini, rumah buah cinta jemari saya bersarang, kemudian pergi?
kau masih ingat bagaimana kita dulu membangun pilar dengan tangan-tangan mungil kita, tangan yang belum penuh gurat luka seperti sekarang.
rumah kita penuh dengan kaca yang memecahkan dirinya karena iri pada pasangan muda yang saling jatuh cinta, padahal setelahnya kita berlomba bunuh diri.
sudah berapa lama luka ditenggak? sudah berapa lama kita diam tak beranjak?
aku dan kamu berkali kali gagal hidup, kemudian berkali kali gagal mati.
malam ini aku menggurat diri lagi, karena kenangan demikian pekat, karena nafas demikian singkat.
karena luka, sudah mulai lupa rasa sakitnya
mungkin karena terlalu lama bersandar, kapalku lupa bagaimana caranya berlayar
mungkin karena terlalu lama berlabuh, aku lupa bagaimana caranya mengayuh
Sepagian tadi aku meramu rindu, tepat ketika kupu-kupu mencelup kakinya dalam putik bunga kenanga. Sudah lama kenangan pergi rupanya, sudah tidak bisa lagi dihitung jari. Sudah berjelaga mata, sudah beriak tumpah bulir mengalir dari ujungnya.
Fiuh... hela nafasku semakin berat, kalah cepat dengan detik waktu yang mengecup mataku.
Selamat tidur, cinta. Aku adalah, dan hanyalah pujangga yang kalah di medan laga.
Ada saat-saat, banyak bahkan, dimana rasanya membaca atau menulis rasanya luar biasa sulit, tidak perduli berapa buku yang dikunyah atau jurnal yang dilumat perlahan.
atau ketika kita kehilangan percaya pada kata,
berupaya mengeja kata demi kata, menyambung rima demi rima...
kemudian menangis
mungkin mataku dibutakan oleh kata yang berlompatan sekenanya
aku, hanya bisa meraba kata.
Sky! Luna!
aku memanggil mereka di tengah diskusiku dan menghentikannya. setelah mengangguk dan meminta izin dari partner diskusiku, aku beranjak menemui mereka yang hendak pergi.
Ini saatnya, sudah, beranikan saja.
mungkin kamu pikir ini adalah hal yang sepele, buatku tidak. memanggil mereka pertama kali, yang dibayanganku adalah seuntai senyum manis dan pelukan karena rasa rindu yang tak terbendung lagi, tapi sayangnya kali ini aku hanya mendapatkan sebuah senyum datar dan jabat tangan yang kaku tak terbayang.
Selamat ya~
hanya itu yang terucap.
aku berusaha membendung tangisku sendiri.
aku berbalik, menahan air mata dan menelan kekecewaanku sendiri.
kemudian berbisik, membangga banggakan diri
"aku yang menyalami dan menegur mereka duluan, loh."
lalu selanjutnya senyap.
aku kehilangan minat pada kata