The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...

Ada penyakit tidak elit yang akhir akhir ini melanda kami.
Ya, bukannya berharap dapat penyakit yang lebih "elit" daripada ini sih, hanya saja aku bosan dengan penyakit ala anak kost-an ini.


Masuk angin.


Ya, baiklah, aku juga tidak akan membahas mengapa manusia bisa masuk angin dan bagaimana penyebabnya, karena pacarku bisa ngomel-ngomel nggak karuan kalau aku salah menyebutkan mekanismenya, hahaha...


Aku bosan. Iya. Bosan setengah mati dengan penyakit ini. Apa? Trapped wind? Enter the wind? Aku belum tahu penyakit ini bahasa Inggrisnya apa, atau apakah di Inggris ada penyakit ini.


"Say"
Ya..


"Aku sakit"
Sakit apa? Demam? Pusing? Mual? Udah makan? Jam berapa tidur tadi malam?


(Sudah panik setengah mati. Dia sakit. Dia sakit)


"Masuk angin"
... (speechless)


"Iya, pegel, pusing, mual, gak enak badan"
Ooh... (mulai datar)


"Say"
Iya, aku juga masuk angin.


"Yee... Sama aja, gimana sih"


Hah, yah, si calon dokter ku ini melirik setiap kali aku tanya kok calon dokter masuk angin melulu. Kadang-kadang, eh, seringkali aku berpikir, bosan juga ya dengan penyakit satu ini. Minum  air hangat, makan teratur, paracetamol, dan minum tolak angin (supaya pintar)


Bosan. Bosan. Bosan.
Ingin sekali-sekali pergi ke klinik dan bilang
"Dok, saya sakit. Masuk angin. Saya perlu obat."


Ah, sudah ah, gak enak badan nih, mual-mual, muntah..
Jadi nanti kalau ada yang tanya aku kenapa muntah-muntah, aku tinggal bilang


"Pregnant"
(hmm..sudah terdengar lebih elit belum ya?)


sembuh.sembuh.sembuh.
sembuh dong, bosan nih


Ingatkah dia akan hari ini?

Hari ini adalah 7th monthliversary kami.
Tidak ada sms atau telpon tengah malam, tidak ada sms selamat pagi, tidak ada kabar sama sekali sampai siang ini.

Aku berkali-kali melihat layar handphone-ku dengan sedikit berharap (baiklah... banyak berharap sebenarnya)

Kosong, hanya layar kosong dengan wallpaper yang tidak menarik hati.

Hanya sms kecil dariku mengingatkan dia untuk makan siang,
dan memang aku belum mengatakan apa-apa padanya tentang hari ini,
aku menunggu sampai ia menyelesaikan segala urusannya dengan ujiannya tercinta.

Aku tidak menuntut apa-apa, karena aku juga tahu.

Aku tidak akan membangunkannya tengah malam, karena esoknya ia harus menghadapi ujian besar, aku tidak mengharapkan selamat pagi karena dia pasti telah terbangun dan berpakaian rapi jauh sebelum aku terbangun.

Aku tidak mengharapkan kabar darinya karena mungkin saat ini dia tengah menunggu sambil beberapa kali melihat dan menghafalkan catatannya berulang-ulang.

Dan aku juga tidak minta hari ini diingat, karena mungkin hari ini hanyalah ritual, kami menjalani hari-hari cinta seperti biasa.

Namun aku tidak akan lupa, sebenarnya, karena ini yang ke tujuh.
Seven, dan dia sangat menyukai angka 7. Angka yang cantik, angka yang selalu bertengger pada password-nya, pada pintu kamarnya, dan padaku.

Padaku?
Lucky number seven.

Ya, aku sangat beruntung karena memiliki James Bond 007 yang selalu dikelilingi cewek-cewek cantik, tapi selalu pulang untuk mengecup keningku dan tersenyum.

Sudah tujuh rupanya? Aku anggap tujuh ini adalah lapisan yang luar biasa, lapisan cinta yang mampu bertahan dengan caranya.

Seventh Heaven.

Tulisan ini begitu sederhana, aku tahu. Tulisan sederhana yang mengawang-awang di angkasa, entah, mungkin aku belum mampu menangkap kata-kata.

Aku hanya tahu, waktu berjalan begitu cepat bersamamu, tidak terasa tujuh telah menangkupkan angkanya pada genggam tangan kita.
Masih terasa pelukmu yang erat dan wangi tengkukmu yang kusuka.
Masih banyak hari yang ingin aku bagi, masih banyak cerita yang ingin aku alami, masih banyak cinta yang ingin aku beri.


Masih dengan doa yang sama, puja puji dan rasa syukur tak henti.
I do, love you still, and always will.


You are my lucky number 7.
You are my Seventh Heaven.
Have a happy day, honey bear. You know I miss you so much, just too much.


Happy 7th monthliversary.
Hugs and kisses.


Your secret admirer,
Hujan.


Tidak ada yang lebih hebat dari jagoanku satu itu.
Tidak, aku tidak berlebihan.

Kalau ada satu orang yang aku tuliskan tentang apakah altruisme itu, aku dengan sangat, menggebu-gebu menuliskan namanya di deret pertama

Tidak ada seseorang yang rela menghabiskan waktunya bersamaku padahal esok harinya dia harus menempuh ujian kedokteran yang sulit.

Dan masih rela pulang cepat untuk menemuiku dan tersenyum, tidak menunjukkan betapa ia frustasi, hanya memelukku erat, kemudian baru bercerita.

Tidak, senyumnya tak akan lepas, meskipun aku sedang sakit, dia akan rela menguatkan badannya untuk merawatku, meskipun seringkali aku malas sekali makan, dia akan rela pergi membeli makanan apapun yang aku sukai, membalurkan minyak kayu putih ke tubuhku, dan memelukku hingga pulas.

Dia yang akan bangun pagi-pagi dan menghujaniku dengan kecupan manis setelah sarapannya siap, serta segelas susu hangat untukku.

Dia yang akan tahu betapa aku menginginkan es krim keju, meskipun aku sedang batuk, atau radang, dan tetap membelikannya, asal aku mau meminum obatku secara teratur.

Dia yang rela begadang sampai jam 2 pagi hanya untuk mendengarkanku berbicara, bercakap-cakap denganku, ataupun berdebat.

Dia akan terus menggenggam tanganku selama aku menginginkannya. Dia yang tidak akan ikutan ngambek ketika aku menolak sesuatu yang menjadi inginnya.

Dia yang akan tahan-tahan saja dengan segala kesibukanku dan tidak mengeluh.

Dia yang akan tetap berusaha keras demi aku.

Dia yang tidak akan marah ketika aku belum sempat melakukan apa-apa ketika dia pulang.

Dia yang akan tetap mengantarku hingga di dekat rumah, ya, hanya di dekat rumah, karena masalah pernah terjadi di rumahku, namun dia tetap menerimanya sebagai salah satu konsekuensi.

Dan hari ini dia sangat gila.

Sangat gila.

Dia mengantarku pulang, menghabiskan beratus-ratus ribu di bensin, tol, makanan, dan tenaga hanya untuk mengantarku pulang sampai rumahku, 2,5 jam! dan pulang setelah melihatku sampai di rumah dengan selamat, menempuh 160 km lebih lagi, 3 jam lagi untuk kembali menghadapi kemacetan di jalan tol, kembali menguras tenaga, padahal ujian yang besar masih menantinya di hari Senin.

Namun dialah yang akan menangis setiap kali aku harus pulang, namun tetap meyakinkan dirinya kalau aku harus pulang, kalau masih banyak yang membutuhkan aku.

Dia yang akan memelukku paling erat.

Mengetahui semua bagianku, anatomi tubuhku.

Dan jika aku harus menuliskan cinta, seribu kata. Aku yakin akan menuliskan namanya sepuluh ribu kata.





untuk De Angelo, sepuluh ribu cinta, seribu kata.

Kami tidak terbaring lemah tak berdaya di atas tempat tidur. Belum, mungkin. Akh, akhir-akhir ini penyakit menyergap secepat rindu melesat.

Mual, mual, mual.
Hanya itu.

Pusing, pusing, pusing.
Lagi-lagi itu.

Capek, lemas, lelah.
Berulang.


Aku dan dia, sedang sakit, di tempat berbeda.

Sama-sama sedang saling mengkhawatirkan.

Aduh, padahal malarindu saja sulit aku tangani, apalagi ini!


Makan yang teratur, asupan susu dan vitamin diperbanyak,
karena layaknya cinta yang mengintip dari jendela,
virus-virus mendaki setiap jengkal tubuhmu dan menggerogotinya satu persatu.



Sembuh, sembuh, sembuh.
Supaya aku bisa mengobati malarindu dan bertemu denganmu.


Whoosh... Pesawat kertas itu meluncur turun dari lantai 2 Depok Town Square, tidak terbang jauh, menukik, jatuh, dan terinjak.

Setahun, setahun sejak kita menutup buku, menghisap semua senyuman dan bahagia yang disusun bersama. Dikunci, ditutup rapat, dengan seribu satu kode yang tak terpecahkan. 
Lihat, lihat! Kita bahkan menyimpan seyum, canda, dan tawa. Tapi kita lupa menyimpan sakit dalam box yang berlipat ganda itu. Sehingga, kita lupa caranya bahagia bahkan saat hanya bertatap muka.

Langit merah, Sky
Aku selalu takut dengan langit yang berwarna merah. Langit yang merah, menghantuiku jika aku belum juga sampai di rumah, langit yang panas, langit yang penuh polusi dan debu, bukan langit senja malu-malu, hanya langit merah, langit refleksi api dan darah.

Tahukah kamu?

Aku sering bersembunyi dari langit yang berwarna merah, melirik tiap waktu seperti hampir terbakar.

Dan ternyata, langit merah memang mampu membakar.

Sky, ingat dompet coklat Planet Ocean-ku yang baru saja hilang? 
Mungkin itu persembahan dan perayaan untuk satu tahun kita berpisah. Semua foto kita, hilang, tidak tersisa sedikitpun setelah sekian lama aku mengumpulkannya dalam satu tempat.

Ingat kartu Mario Card yang bertuliskan inisial namaku, Freya? Kamu pasti tidak akan lupa, bagaimana aku berjam-jam jejingkrakan bermain game itu sementara mainanmu Time Crisis 4, dan aku sibuk mendapatkan piala-piala kecil sampai stage akhir. Ya, kartu itu hilang juga, kok.

Lengkap sudah.

Perayaan kita dirayakan oleh kebetulan kebetulan yang nyata.
Kita berubah, aku tahu, hanya jangan sampai aku melihat tirus di wajahmu yang sudah sangat kurus.

Sky yang sangat kusayangi. Aku tau kamu tak akan mengingat tanggalan esok hari, kalau perlu kamu buang jauh-jauh dari kalender, kamu bakar, biar aku yang meramunya dan mengingatnya seperti pesawat terbang kertas yang kuhembus.

Bahwa aku mampu melewati hari tanpamu, mengular melewati jembatan panjang, menyinggahkan hatiku ke stasiun yang lebih besar, ke tempat dimana aku bisa meletakkan hatiku dengan nyaman.

Sungguh, ini bukan ritual, ini juga tidak sakral. Aku hanya tidak bisa membencimu, hanya hati kita sudah sama-sama luka dan nganga untuk saling jatuh cinta. Aku sudah menghapus mimpi, janji, meniupnya lepas terbakar di langit merahmu.



The End.
hanya saja aku tidak bisa melupakanmu.




Keretaku tidak lagi pernah berhenti di stasiun itu, lagipula kita sudah sama-sama meninggalkan kenangan.

Kemarin, luka itu nganga, pada orang yang berbeda. Aku tersenyum, mengingat kisah lama kita.

Sky, langit merah.
Seperti katamu yang menyuruhku pergi dan melaju ke stasiun berikutnya.
Aku telah menitipkan hatiku, yang tidak merah sempurna, yang tidak lagi rata, kepada seseorang yang tetap mau menerimanya dengan lapang dada dan sukacita, merentangkan tangannya lapang-lapang saat aku memberikan hatiku yang penuh gurat kepadanya dan menangis.

Dan dia, De Angelo.
Dia hanya menghapus air mataku dan memelukku erat, dan berkata:

"Tidak apa-apa sayang, justru karena itu aku memilihmu, karena kamu sudah dewasa, sudah mau memahami, dan sudah mampu belajar."


Aku berhenti di tiap ujung jalan, aku berhenti di tiap sudut ruang, dan mencari. Ada kunang-kunang berkerlap, ada bayang-bayang berkerlip. Kunang-kunang yang tak bisa terbang karena tubuhnya yang mungil tersangkut di jaring laba-laba tipis, seperti bayang-bayang yang masih tertinggal di dalam kenangan.

Aku beranjak mendekat, kunang-kunang yang berkerlap lemah, dan mungkin laba-laba besar mengintipku di balik gelapnya semak kala malam. Aku mengoyak sarang laba-laba yang tipis yang mengikat kunang-kunang itu erat, benang putihnya menggantung di jemariku.
Sekarang kunang-kunang itu terayun, ke kiri, ke kanan, kemana entah. Aku senang, sangat senang, baru kali ini aku bisa menangkap kunang-kunang dengan tanganku sendiri. Baiklah, dibantu benang tipis sang laba-laba yang entah tengah menjelajah kemana.

Kunang-kunang dan bayang-bayang, kunang-kunang melayang, bayang-bayang berkubang. Sementara ia terayun, aku menatapnya seperti terhipnotis, kiri-kanan, kerlap-kerlip. Ada yang kurang. Ada yang hilang. Ada yang aku tidak temukan, ada kebahagiaan yang serentak reda, serentak sirna.

Aku menggigit bibir, meringis. Aku tidak menemukan kesenanganku lagi. Aku menemukan diriku dalam sosok mungil kunang-kunang kecil. Seperti sosok yang tersenyum dari mana entah, sendirian, berayun-ayun, meredup, meredam, terikat. Seperti aku yang terikat benang-benang tipis kenangan yang tak terlihat, namun aku tidak bisa bergerak, tersangkut, kembali ke dalam bayang-bayang tipis yang merantai tangan dan kakiku. Semakin aku memberontak, semakin aku tersangkut dan tertarik masuk, semakin benang-benang kenangan merantai hingga ke lengan, kemudian membalut sekujur tubuh, seperti laba-laba yang dengan tekun memintal tubuh kunang-kunang kecil itu menjadi pupa, sebelum habis disantapnya.

Akh, kenangan dan bayang-bayang. Sudah tidak ada yang akan mendengar tangisanmu lagi, sudah tidak ada yang akan mengelus kepalamu, atau memeluk tubuhmu yang menggigil, atau mengucapkan selamat malam dan selamat tidur, dan berharap malam ini akan memimpikanmu. 

Namun aku tau, tidak ada yang dapat menerimanya, termasuk kamu, maka kamu memberontak, dan semakin cepat kamu terikat, dan tenggelam. Kamu bahkan membantu memintal benang untuk menutupi keseluruhan tubuhmu, terapung-apung dalam bayang-bayang, menggantung harapan yang mempersempit ruangmu bernafas. Kamu mulai merajut mimpi-mimpi lagi, kamu mulai berangan-angan, dan kamu tertidur pulas. Lelap, sangat lelap dengan sisa oksigen yang semakin menipis, dan tak ingin terjaga. Karena kamu begitu mencintai bayang-bayang yang akan selalu membuatmu melayang, karena kamu terlalu mencintai bayang-bayang yang sebentar lagi menghilang.


Kunang-kunang kecil itu kulepaskan ke balik semak-semak yang benderang.
Ia mungkin saja mati karena sudah melupakan caranya terbang.

In the living room