The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


5 month. pagi tadi aku mendengar suara setelah dering handphone berbunyi "Happy 5 month hujaaaaaaaaaan.... ", suara di sebrang sana terdengar senang. " Gw seneng banget ternyata gw bisa inget. Oh, iya, dateng dong ke endorse, di tebet, diskon 70 % loh, ada dress yang menurut gw cocok sama lo...".


Suara itu suara Robo, yang aku jawab dengan senyum yang tidak terlihat dari ujung telepon, "terima kasih"

Pagi ini, kelas hectic. Temu ilmiah menyebabkan ruang kelas dipindahkan tanpa penjelasan ba-bi-bu. Dosen terlambat, mood dosen rusak, mood kelas kacau. Sempurna.

Tadi pagi, setelah Sky tersenyum dan mengatakan "Wah, 5 bulan. Selamat! Selamat!", sambil menyalamiku dengan kaku, hangat, eh... keduanya.

Aku jadi teringat tadi malam, dan emm.. kemarin. Kukuku terpotong seperempat saat tengah meotong apel dan harus dibalut cantik dengan handsaplast coklat yang menyaingi balutan di jari tengahmu.

Hari itu aku lelah sekali. Pulang naik kereta, disambung bus, mandi, makan, dan istirahat. Namun jengah, pikiranku tidak bisa istirahat, tidak bisa diajak bekerjasama selain mata yang bisa menutup kelopaknya, itu saja, tapi aku tetap terjaga.

Huff, 2 jam lebih kita cemburu. Aku cemburu, kamu cemburu. Pada apapun, pada siapapun. Semua nama disebut.

Siapa?
Siapa!
Ya udah!
Suka-suka kamu!
Apa?
Kamu kan!
Aku!
Nggak!


Aku paling benci bertengkar ditelepon. Apalagi dalam LDR. Kamu bisa saja mematikan handphone begitu saja. Mengganti nomor handphone. Memutus semua jalur komunikasi. Dan bye. Bip. Kamu hilang.

Aku tidak bisa melihat ekspresimu. Nonverbalmu. Pokoknya marah. Kesal. Kecewa. Tapi tidak pernah tahu.

Aku dan kamu lelah, lelah sekali. Aku lelap, tidak ingat memasang alarm untuk bangun tengah malam dan berkata "happy anniversary"

Setelah seharian itu, setelah debat panjang di telepon, aku tertidur, akhirnya aku lelap.

Dua belas. Sudah jam dua belas malam, aku terbangun, tidak sanggup menulis surat, mengukir kata-kata, membuat sesuatu, apalagi mengirimkan hadiah.
Yang aku ingat ini sudah tanggal 24, dan handphone sudah berbunyi. 


De Angelove calling...

Maaf... maaf... maaf...
maaf ya...
iya... maaf..
nggak...
aku yang...


suaranya samar, suaraku juga. Hanya gaung senyap-senyap terdengar. Malam itu ditutup. Aku tidak ingat apa yang kami bicarakan.

Yang aku ingat, sebelum menutup pembicaraan singkat, ada jeda yang panjang diantara kita...

Jeda yang lama

...
...
...
I love you
...
...
...
I know...
...
...
I love you, too...

*Click
Happy 5 monthliversary.



Sayangku, sayangku, lihat, jari tengahmu itu terluka. Bukan, sayang, bukan aku khawatir ia tidak bisa membantumu memetik gitar setelah membangunkanku di tengah malam ketika sedang lelap, seperti putri tidur yang dikecup pangerannya di monthliversary kita.

Sayangku, lihat, lihat jari tengahmu terluka. Bukan, sayang, bukan aku khawatir ia tidak bisa membantumu menekan tuts piano untuk menyanyikan nada-nada di lagu yang sengaja kamu buatkan di hari-hari saat kamu merinduku.

Sayangku, kamu tahu aku sedang apa sekarang? Aku sedang merajut mimpi. Dari sejuta kecup-kecup rindu, dari sejuta kecup-kecup manis. Aku belum mampu merajut kata-kata seperti aku belum mampu merajutkan gumpalan benang-benang itu menjadi sesuatu.

Kecup sederhana, kecup kecil di jari tengahmu yang terluka, yang diselipkan doa di dalamnya.

Sayangku, yang aku khawatirkan adalah, aku tidak bisa tidak mencintaimu, bagaimanapun keadaanmu...

I love you, De Angelo


Lihat, jemariku! Jari telunjukku juga ikut dibalut handsaplast coklat mungil karena terpotong saat mengingatmu. ^^



AKU CINTA KAMU!
plak, tamparan spontan melayang ke pipimu.

Tapi tentunya tidak terlalu keras, itu hanyalah gerak reflek karena terlalu kaget ketika kamu, De Angelo sayangku, berteriak di tengah-tengah lingkaran dekat eskalator di PVJ.

Aku malu, bukan, sebenarnya bukan malu karena dia mengatakannya di depan umum, itu karena aku menantangnya saat kami sedang menyantap cumi saus butter corn dengan lahap di QUA-LI, dan aku pikir, dia tidak akan melakukannya. Ternyata, aku salah, dia memang rajanya nekat!

Seharian itu, aku menemanimu "jalan-jalan". Dari sehari sebelumnya. Menemuimu di klinik, pergi mencari jam, pergi ke sinshe, masuk ke klenteng, menghirup bau dupa dan lilin merah yang aku suka, selalu mengingatkanku pada rumah hantu, dan kamu, kamu yang selalu benci asap.

Lelahkah?
Tentu, ku akui kali ini aku lelah, sekali. Datang ke sana merupakan perjuangan berat bagi tubuhku yang sudah tidak ada tenaga untuk memaksakan diri menaiki kereta ekonomi, turun dan menaiki bus, turun lagi dan naik Primajasa untuk mencapai kotamu, sementara beban akademik dan organisasi menumpuk menjadi satu di tanggal itu, setelah sebelumnya aku berulang kali aku meminta maaf dan mengatakan bahwa aku tidak akan bisa datang, tidak mungkin datang.

Tapi tahukan? Siapa yang tidak akan berlari dan menangis ketika mendengar kamu sakit, sayang? Siapa yang tidak akan panik dan khawatir bahkan ketika mendengar kamu terjatuh dan terluka?

Maka tanpa ba-bi-bu, aku biarkan jam memutar waktunya lebih cepat daripada waktu untuk memikirkan semuanya, lebih cepat daripada handphoneku yang kupandangi tiap jam untuk melihat sisa baterainya yang tinggal sedikit, untuk tiba-tiba datang ke hadapanmu dan bertanya, 

"kamu baik-baik saja? bagaimana keadaanmu? dasar kamu, bodoh..."
sambil terengah-engah habis berlari, mengalahkan beberapa menit waktu yang ikut berlari bersamamu.

Maka hari itu aku yang sangat lelah ini hanya bisa tergeletak tertidur di kasur yang sepreinya entah sudah tertarik kanan kiri, tersenyum setiap kali melihatmu dan meyakinkan diriku kalau kamu baik-baik saja, tersenyum, ya, setidaknya kamu bersamaku saat itu.

Bisa menggurat senyum saat menonton Harry Potter yang bahkan bisa-bisanya membuatmu mengantuk, berpapasan dengan segerombolan teman kampusmu, menikmati yoghurt di Tutti-Frutti, yah, mungkin lebih tepatnya menikmati saat-saat menuang karamel dan menyimpul batang cherry.

Sambil sesekali was-was melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku hari itu, aku was-was waktu berjalan terlalu cepat.

Cepat sembuh, sayang. Aku sudah kembali ke jakarta, tertampar oleh banyaknya deadline yang kemarin sengaja aku lupakan. Aku masih rela melewati hujan menunggu Primajasa di tempat yang sama, karena nyatanya memang hujan tidak pernah menyakitiku, ia menemukan caranya untuk membuatku lebih lama menggenggam tanganmu.

Lagi-lagi, kita terpisah jarak, 170 km, terhubung oleh sebuah layar kecil 14 inch, dengan web camera, kembali ke Skype. Kembali mencecap udara di kala rindu memeluk terlalu erat.

Kembali merindu kamu, sayangku.



Pernahkah kamu merasa sendirian di rumah yang begitu besar untukmu?
Menunggu seseorang masuk kembali membawakan senyum dan tawa yang seperti biasa, karena rumah itu biasa ramai.

Ramai oleh tawa, tangis, bisik-bisik, kemarahan, teriakan, semuanya.
Dan kamu menanti di tempat yang sama, entah, membuka pintu-pintu kamar yang tidak lagi berpenghuni.

Duduk di ruang TV memegang remote namun pikiranmu dibawa kemana entah, karena tidak ada lagi yang akan menyembunyikan remote itu di bawah bantal atau merebutnya sambil menggelitikimu diam-diam untuk mengganti menjadi saluran tv kesukaannya. tidak ada wangi dan asap yang mengepul dari dapur, tidak ada bunyi sandal jepit yang basah, meja yang berderak, atau suara yang mengomel ketika kamu lewat sementara dia sedang menyapu rumah.

Iya, inilah lingkarbianglala sekarang.

Seperti pasar malam yang terlanjur larut, cahaya-cahayanya meredup, meninggalkan putaran bianglala yang tak bisa keluar dan menggelinding selain pada porosnya. aku disini, duduk, di ruang tamu yang kosong, kadang-kadang menempati ruangan yang sebelumnya terlalu hati-hati kumasuki.

Taman-taman yang rumputnya panjang dan belum disiangi.

Selamat datang, kawan.

Aku sendirian sekarang.
Dan menunggu, berharap.

Terlalu bosan dengan ke-aku-sendirianku.

Bagaimana dengan penghuni baru, katamu?

Tidak bisa
ini bukan rumah-ku.
ini rumah kami

Selalu jadi rumah kami, meskipun kunci ada di tanganku, aku hampir tidak pernah menguncinya lagi, setiap malam selalu bermimpi adanya tawa yang sama, atau orang yang diam-diam masuk lewat pintu pun tak apa, tak ada yang bisa dicuri dari rumah ini, karena rumah ini adalah kumpulan kenangan, jutaan gurat-gurat sederhana.

Maka suatu hari aku meninggalkan rumah ini untuk jangka waktu yang lama, berbulan-bulan, namun, setiap bulannya tetap saja aku kembali, berdiri di depan pagar yang mulai dipenuhi bunga mawar, bukan lagi lily seperti dulu.

Maka, setiap hari yang aku lakukan hanyalah pergi, ke sana, kemari, membangun rumah kecil yang lainnya, sambil berharap, ketika aku pulang, sudah ada seuntai senyum mengembang di rumah itu, lingkarbianglala.

Arco, Dimii, Sky, Luna.
Welcome (away) home.

selamat tinggal, selamat datang di rumah kalian masing-masing.

home is where your heart is, isn't it?

In the living room