The Sky is High

It's just a box of pieces of a puzzle about a small circle of friends. It's about the lives, the loves, and the hopes. One by one, part by part. Hung up in the sky along with prayers. Until each of them can fly higher by itself. The Sky the Rain the Rainbow the Sun the Moon. All are talking in their own way. Carving their small footsteps in the history of time. And now each of them can really fly higher by itself, and leave this house one by one...


sudah berapa yang kamu rasakan, sayang?


ada dua hal yang nyata adanya tapi belum pernah kami tuliskan.

angin, yang pernah, tengah berhembus perlahan, meniup pelan diam-diam, mengikut alur riuh rendahnya hujan ketika turun, berhembus kencang dalam badai.

dan sekarang awan. awan-ku.

kali ini langit dan hujan berpembatas nyata. awan pembatasnya. awan menyelimuti langit, menutupi bulan, dalam mendung, dalam terik, beriringan, berarak.

ada awan diantara langit dan hujan.
ada abu-abu sekarang menggantung di hati kami.

awan. mengaduk-aduk rasa. menyenandungkan duka.

langit bernaung.
awan bersenandung.

dan tiap hembus nafas, langit bergerak mengambil jarak.
menjauh...

hujan, menggelayut diantara abu-abu.

kalau kemarin Sky yang bersalah, sekarang giliran aku. aku bukannya bermaksud balas dendam. but, things happened, we didn't predict it, we couldn't, or we didn't want to. benang merah yang aku ikatkan begitu dekat sekarang menegang kencang, semakin aku dekatkan, semakin tegang dan rasa-rasanya benang itu akan putus begitu saja dan melempar kami ke belakang, terpental, jauh, jatuh. maka aku dan dia, mengulur benang merah yang kami ikatkan bersama sejauh mungkin...

(ya, kami yang mengikatnya. jika direntang mungkin kalihan bisa melihat berapa simpul setelah benang merah itu putus, dan kami berkejaran menyimpul pita, menyimpul tali, menyimpul cinta, membalutnya)

kami mengulur benang merah itu sejauh-jauhnya.
Benang merah itu tetap menyatukan kami, tapi mungkin kali ini benang itu akan nyangkut di tiang listrik, terinjak orang yang lalu lalang, terselip diantara kancing baju, ataupun kusut. tetapi benang merah itu ada.

dia sudah berhenti berharap.
aku harus kembali kepada realita,
aku juga harus berhenti berharap,
kembali ke masa kini.


aku menjadi tuhan dengan huruf kecil. menjadi apa bagi inginku.


You said...

In between your tears, your sobbing...


"I know that this will happen...I know that we'll be back to the last few months..."


Of us arguing almost everytime...

Then, there's only one thing crossed my mind...


...If you've known that it will be like this, then why did you still do the same thing that can trigger it to happen...?


Sorry to talk to you harshly...I just can't help it...

Happy New Year...



December 31st, 2009
8.45 A.M.


Maaf, ya, Dear... Aku telat menulisnya...

Sudah lima belas, Dear... Sudah bosan belum...?
Aku sudah berubah banyak. Ya, kan? Semakin kasar katamu. Semakin temperamental dan tidak sabar kataku. Semakin mirip dengan diriku sebelum bertemu kamu...

Rindukah kamu dengan aku yang dulu?

Jelas iya, ya? Aku yang dulu lebih menarik, lebih menyenangkan, dan lebih menunjukkan kasih sayangku padamu, kan? Maka kamu selalu merindukan aku yang dulu... Tapi inilah aku, Sayang. Dengan segala ke"kini"anku.

Aku juga rindu kamu yang dulu, Sayang. Kamu yang selalu menggoda aku. Kamu yang selalu mencoba menarik perhatian aku. Kamu yang memiliki mata berbinar-binar saat menatap aku dan bicara denganku. Kamu yang selalu meng-sms aku. Kamu yang selalu senang tiap aku telepon. Kamu yang tegar.

Sekarang kamu lebih sering terlihat rapuh ketika memandangku. Matamu tidak lagi berbinar-binar, tetapi berkaca-kaca. Bahkan ketika aku diam. Kamu ingin aku menghubungimu ketika kita jauh. Namun, ketika aku hubungi, sepertinya aku hanya mengganggu. Kamu seringkali tengah sibuk atau harus melakukan sesuatu...

Jangan salah paham, Sayang. Aku sayang kamu. Masih cinta kamu. Hingga detik ini. Aku rindu kamu yang dulu. Namun, aku juga cinta kamu yang sekarang. Mungkin waktunya saja yang tidak tepat. Aku lelah dan sibuk ketika kamu ingin perhatian dan kasih. Kamu juga sibuk ketika aku mencoba memberi perhatian dan kasih. Hanya berharap kita bisa kembali menyelaraskan jam pasir dalam hati dan hubungan kita lagi...

Manusia tidak pernah mengerti manusia lain, Sayang. Manusia bahkan sulit mengerti akan dirinya sendiri. Manusia sebenarnya tidak pernah cocok. Apa yang terjadi adalah manusia berusaha mengerti, berusaha mencocokkan diri, berusaha saling mengalah dengan berbagai alasan. Mungkin itu yang kurang aku lakukan akhir-akhir ini. Mungkin itu yang harusnya kembali aku lakukan...

Sayang, lima belas bulan... Beberapa kali kita sempat beristirahat karena lelah berjalan. Sudah lelah lagikah kamu? Atau kamu hanya merindukan aku yang dulu? Mungkin kamu ingin berbalik ke jalan yang telah kita lewati untuk mencari aku yang dulu yang mungkin terserak di jalan?

Hatiku saat ini penuh gurat, Sayang. Gurat dari pembicaraan kita di telepon. Gurat dari chat kita semalam. Gurat dari membaca wall-mu dan wall-nya yang kamu buatkan... Gurat dari merenungi diriku sendiri yang tidak sempurna pun tidak sebaik yang kamu inginkan...

Ketika Luna sempat bertanya, "Kamu tidak cemburu?", aku berbohong jika mengatakan tidak. Karena setiap memikirkanmu yang begitu bersemangat menceritakan orang lain, hatiku sakit. Aku hanya berusaha memberi space bagimu untuk bernafas. Memberi kesempatan bagi matamu untuk kembali berbinar. Memberi waktu bagi suaramu untuk mengandung excitement. Ketika kamu berkomunikasi dengan dia... Orang yang katamu mirip aku yang dulu... Berusaha...namun tetap tidak bisa berhenti egois...

Lima belas bulan, Sayang... Aku percaya, masih percaya ketika kamu bilang kamu sayang aku dan kamu cinta aku. Namun, aku tidak ingin memaksamu untuk terus berjalan ketika kamu sudah terlalu lelah... Kita punya waktu satu bulan, Sayang. Setidaknya satu-dua minggu sampai kita bertemu lagi. Pikirkanlah kembali baik-baik. Aku ingin tahu, sebenarnya mana yang lebih kamu cintai: aku yang sekarang kah, atau aku yang dulu, namun kamu tidak bisa lepas karena semua kenangan kita...

Aku di sini. Menunggu. Berpikir.
Pernah, tengah, dan masih berharap bisa mencintaimu unconditionally...

Happy 15th Monthliversary, My Rain-Dear...
I love you.



December 29th, 2009
5.00 P.M.


Lima belas, tidak ada yang terjaga pada tengah malam buta karena kantuk lebih dulu menyergap gelap. Tidak lagi lilin yang ditiup padam, tidak ada perayaan, tidak ada lagi kali ini. Liburan membekukan jarak, dan kali ini, aku mencoba mencairkannya, dengan menulis lagi disini.

Tidak ada lagi lilin yang menerangi jalan kita, namun rumah kita tetap tidaklah redup, rumah kita jadi berwarna-warni; hitam, putih, merah, biru, ungu, kuning, abu-abu, jingga, magenta, dan segala warna yang belum pernah ada sebelumnya.

Ombak besar kemarin, pasti membuat lubang-lubang saat menghantam kapal ini. Karena kapal kami bukan bahtera Nuh. Kapal kita hanyalah bahtera cinta. Tapi apa yang kamu harapkan dari bahtera cinta, sayang? Pasak-pasak rindu, cemburu, justru yang harusnya memperkuat kapal kita.

Lima belas bukan angka yang banyak, namun bukuanlah waktu yang sebentar. Masih kudekap baumu, masih meresap baunya ke paru-paruku. Masih kurindu suaramu; berbisik, marah, menangis. Masih ingin kuraba setiap harinya lekuk wajahmu yang mengurus, cekungan mata karena begadang setiap malam. Aku masih begitu candu pada bibirmu, sentuhanmu, marahmu, tawamu, senyummu, gerakmu, langkahmu. Aku candu dan tidak bisa berhenti berlari pergi tanpa kembali dan kembali.

Lima belas bulan aku singgah di peronmu, stasiunku. Lima belas bulan aku terdiam terpaku. Kereta tidak pernah punya tujuan, karena setiap stasiun hanyalah pemberhentiannya. Namun, siapa yang mampu memisahkan kereta dengan stasiunnya?

Happy 15th anniversary sayang, hatiku masih terpaut di lorong-lorong stasiunmu


jika aku bisa menulis puisi lagi, kutulis seribu kata cinta yang kukirim lewat pekatnya udara.

dan seribu kata cinta yang kutulis,

"kata apa, sayang? seribu getar lembut kukecup tinta"

bersama harmonika dan gitar, yang tadi malam kamu mainkan

"nyanyi apa, dear? sejuta lagu cinta akan kupersembahkan malam ini"


pada hati, yang terserak di jalan

jika kau pungut satu, bolehkah ia meminta secolek cintamu?


beritahu aku luka, mengapa angka membuat ragu padahal luka menyayat begitu lama?

beritahu aku, mengapa ada senang ketika perih menerjang kencang?

beritahu aku, apakah harus bertahan pada luka nganga yang pelan diusap garam, ataukah harus lari mengejar sendiri?

rindu, rindu, aku takut sendiri berjalan di gelap malam

rindu, rindu, aku rindu suara meski teriakmu memekakkan telinga

rindu-rindu, aku rindu ada, meski aku benci luka

haruskah aku berlari sendiri sementara kau takut berdiri
atau menggenggam kembali luka, sambil menahan perih dan pedih air mata

haruskah aku percaya?

haruskah aku pergi jika harap hanyalah seperti selubung asap tipis, dan cinta adalah senapan mengarah jantung?

ibu, pada siapa aku bercerita, padamu yang tak bisa bibir ini berkata
ibu, aku mau pulang ke pangku tanpa luka-mu


Senang

Kalian mau datang

Senang

Dapat melihat kalian bersama

Kalian baik-baik saja

Saling bergandengan tangan (lagi)

Tertawa (lagi)

Bercanda (lagi)

Manis sekali

Senang

Saat kalian kembali memelukku

Menghapus perihku

Mengusir kembali sakitku

Meredam emosi dan marahku

Emosi dan marah yang kutujukan untuk kalian

Pada kalian

Senang

Tapi

Semua berubah

Tetap berbeda

Aku harus tahu diri

Aku harus sadar diri

Aku tetap sendiri

Tak boleh terlena

Tak boleh kembali pada kesalahan yang sama

Hanya boleh sekedar mampir

Hanya boleh sekedar berkunjung

Mungkin menginap sesekali

Tapi tak setiap hari

Karena itu rumah kalian

Bukan rumahku

Aku sudah temukan rumahku (mungkin)

Kesendirianku

Kesepianku

Tak bilang kalau aku kan selamanya disini

Tak bilang bahwa aku betah disini

Tapi (mungkin) ini lebih baik

Aku tak mau mengganggu lagi

Aku tak mau merusak lagi

Kalaupun harus rusak

Biarkan aku rusak diriku sendiri

Biarkan kurusak rumahku sendiri

Biarkan kurusak hatiku sendiri

Bukan kalian

Bukan rumah kalian

Bukan hati kalian


Aku duduk dalam kerumunan
Mereka kukenal

Sangat kenal

Dekat

Sangat dekat

Tapi kali ini

Asing

Sangat asing

Mereka tertawa

Aku diam

Mereka bercanda

Aku tetap tak bergeming

Diam merasakan keterasingan

Keterasingan yang sejenak terlupakan

Saat aku sejenak merasakan kebersamaan

Bersama mereka

Yang kini dengan telak meledakkan aku

Mementalkan aku

Pada kesadaran

Bahwa aku sendiri

Bahwa kesendirianku adalah tempatku

Rumahku

Yang sejenak kutinggalkan

Untuk menjambangi rumah mereka

Beringsut masuk rumah mereka

Menumpang rumah mereka

Kerasan di rumah mereka

Nyaman dengan tak tahu dirinya berada di rumah mereka

Rumah yang tak semestinya aku tinggali

Rumah yang tak semestinya aku jambangi hingga aku merasa kerasan dengan lancangnya

Kini aku kembali

Kini aku pulang

Ke rumahku

Gubukku tepatnya

Tempat tinggalku

Sendiri

Sepi



Why did you start it?

...Why did I start what?

Why did you start this circle...?


Pertanyaan Hujan berputar di otakku. Pertanyaan itu dilontarkannya setengah berbisik ketika kami tengah bertengkar malam tadi di depan Luna. Aku telah menjawabnya. Namun, hingga kini pertanyaan itu dan jawabannya masih berputar-putar di dalam benak.

Kenapa, ya? Pertanyaannya benar. Kenapa aku memulai lingkaran ini...? Kenapa aku mulai menjadi kanvas atas lukisan Tuhan yang mempertemukan dan menyatukan Hujan, Bulan, Matahari, dan Pelangi?


Maybe it's because the Sky itself is so lonely... She just realized that she's been by herself for so long and still by herself right now...


Dari Langit memang turun Hujan. Namun, jika diperhatikan lagi baik-baik, Hujan turun dari awan. Dia sebenarnya berada di awan...

Saat malam tiba, Bulan memang terlihat di Langit. Namun, siapapun yang pernah membaca tentang benda langit tahu bahwa Bulan sebenarnya terletak dan berevolusi di orbitnya yang berjarak jutaan tahun cahaya dari atmosfer bumi yang disebut Langit...

Pada saat-saat tertentu, Pelangi mungkin akan hadir menemani Langit. Namun, pada dasarnya Pelangi adalah pembiasan cahaya: akan segera hilang begitu titik-titik air di udara berkurang...


The Sky is so lonely... for so long... that the loneliness bites so hard and had eaten her heart...chewing it since a long time ago...

Maybe that's why she's so blue... She's so sad in her loneliness...

Maybe that's why she's so wide... She's still looking for anyone to accompany her...


Langit paling senang melihat manusia... Karena manusia selalu berusaha menyentuh Langit... Berusaha mencapainya. Berusaha meraihnya. Menjulurkan tangan ke atas, menggapai-gapai... Meskipun tahu tak akan pernah sampai...


Have you ask me, whether you can borrow my girlfriend or not?
Did i say i lend her for you?

Then why did you take her?


and this is suck, i just can't say it!


jealousy is this simple, isn't it?


akh, aku lupa... sekarang kan global warming.
matahari menyala-nyala panas.
ekornya menghantam.

akh, aku lupa. anak kucing liar penuh luka yang kami temukan di jalan penuh debu, dan bermain bersama kami dalam perawatan yang kami usahakan sempurna, kini mulai mencakar sofa -dan hati kami-

akh, matahari bukan milik rumah kami lagi. Matahari pindah ke blok sebelah sana, jauh sekali dari rumah kami.

hanya hujan, bulan, langit, dan pelangi.
menyenandungkan lagu yang sama.

pada suatu ketika, aku datang, sebagai hujan yang mencari terik, mencari panas agar aku menguap.

tapi akh, ekornya menghantam pipiku, dan memukulku keras-keras, senyumnya menggores.
aku pulang sambil menangis, miris. hujan turun deras, makanya akhir-akhir ini sering ada badai.

bulan kesal, pelangi juga, langit murka.

maka kami tak peduli lagi, aku berusaha tak peduli, tapi tak bisa.

kuletakkan kunci itu di tangannya, dan aku pergi.
aku tak mau dengar, tak sanggup dengar.

tapi aku mau, rumahku, rumah ini, dan isinya, dan kami... bahagia...

maka dilepaskan kucing yang mulai menggigit itu kembali ke habitatnya.
Jalanan kasar, selokan, dan kembali luka-luka.

karena, aku juga terluka, matahari
kami terluka, Dimii

selamat tinggal, Dimii
selamat pergi mencari rumah lain yang kamu kehendaki.


hujan, hujan, hujan turun deras.
badai, badai, aku bisa mencium wangi angin badai.

dan kali ini, petir, petir, petir menyambar -mu-

In the living room